Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.
Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.
Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35
Lobi stasiun Image Fiction TV pagi itu ramai, seperti biasa. Ruangannya luas dan modern, dengan langit-langit tinggi yang membuat suara langkah kaki dan percakapan orang-orang memantul pelan. Dinding-dinding kaca memperlihatkan lalu-lalang karyawan yang sibuk, beberapa memegang clipboard, beberapa sedang bicara lewat headset, sementara peserta acara YAMI bolak-balik mengecek penampilan mereka. Aroma kopi dari kedai kecil di pojok ruangan bercampur dengan hawa dingin AC yang menusuk dari pintu masuk otomatis.
Di tengah keramaian itu, Arka berdiri bersama Nisa, Shanaz, dan Meta. Mereka berkumpul di dekat pot tanaman besar yang sengaja diletakkan sebagai dekorasi, meski diam-diam Meta merasa tanaman itu tampak seperti sedang menilai gaya pakaian mereka.
“Nggak tau kenapa, dia nggak ngomong sama gue seharian, kemaren,” keluh Arka sambil mengusap tengkuknya. Suaranya sedikit tenggelam oleh pengumuman yang diputar di speaker lobi.
Nisa mengernyit. “Gara-gara aku pernah nemenin kamu latihan?” tanyanya, ragu. Nada suaranya seperti orang yang sedang berusaha mengingat apakah dirinya benar-benar sudah membuat kesalahan besar.
Meta langsung memutar badan dengan dramatis. “Elo pernah nemenin Arka latihan, Nis?” tanyanya tak percaya, seolah Nisa baru saja mengaku mencuri ayam tetangga.
“Kebetulan aja, aku lagi deket rumahnya Arka,” jelas Nisa buru-buru. “Lagian Quin nggak bilang kalau dia mau latihan. Aku kan nggak tau.”
Arka mengangguk mengiyakan. “Tapi kan abis itu kita ajak dia latihan bareng juga.”
Shanaz, yang dari tadi sibuk memperhatikan orang-orang lewat, tiba-tiba memelototi dirinya sendiri. “Kayaknya bukan cuma soal itu deh. Orang-orang di sini kaya ngeliat kita aneh nggak sih?” Ia menatap bajunya—kaos simple, jaket denim, dan celana jeans. “Emang aku salah pake baju ya?”
“Nggak lah,” jawab Meta. “Lo tuh selalu ngerasa kaya salah kostum padahal orang nggak peduli.”
“Aku sempet ada yang DM,” sela Nisa sambil mengeluarkan hapenya. “Nanyain sebenernya pacarnya Quin siapa? Tapi nggak aku bales.”
Meta mendekat, ikut mengintip layar. “Astaga… stalker banget.”
Sebelum ada yang bisa menanggapi lagi, seorang karyawan IF TV berseragam hitam muncul di dekat mereka sambil membawa clipboard. “Untuk para peserta dan penonton, silakan bersiap masuk ke studio.”
Gerombolan orang mulai bergerak seperti arus sungai yang baru dibuka bendungannya. Arka melirik sekali lagi pada ketiga temannya. “Gue ke area peserta ya.”
“Semangat, Ka!” kata Shanaz sambil mengepalkan tangan seperti cheerleader yang malas.
Nisa, Shanaz, dan Meta berjalan ke arah tribun penonton yang bertingkat, sementara gedung studio menyambut mereka dengan cahaya lampu sorot, suara teknisi yang saling berteriak instruksi, dan suasana sibuk khas acara TV. Stage besar di depan tampak sudah dihias dengan backdrop bertuliskan YAMI Season Finale Preview, dihiasi LED besar dan lampu-lampu panggung yang terus berkedip menyesuaikan setelan kru.
Di tengah panggung, terlihat Quin dan Jihan sedang berdiri sambil berbicara dengan salah satu asisten produksi.
“Quiiiin!!” teriak Meta dari kursi penonton sambil melambaikan tangan seperti orang yang ingin diberi hadiah dari kamera pada acara musik.
Quin menengok. Senyum tipis muncul saat ia melihat teman-temannya melambai dengan antusias. Senyum itu tulus, tapi tak bertahan lama. Begitu matanya bergerak ke arah barisan VIP, ia melihat papa dan mamanya duduk berdampingan. Mamanya tampak cemas, namun berusaha tersenyum. Papanya, sebaliknya, duduk tegak dengan ekspresi sedingin AC studio.
Dadanya langsung mengencang, mengingat kejadian sebelum berangkat.
Papanya memarahinya. Lagi.
Hanya karena Quin sempat menangis dan tidak maksimal latihan.
“Papa nggak suka kamu baperan! Ini dunia profesional, Quin!” demikian suara keras itu terngiang lagi.
Quin tidak bisa menjelaskan apa yang sesungguhnya ia rasakan. Ia hanya ingin didukung. Hanya ingin divalidasi. Namun mamanya, seperti biasa, terdiam. Mamanya seringkali menjadi penengah yang setengah hati—ingin membela Quin, tapi takut memicu kemarahan papanya.
Kini, di studio yang terang benderang itu, Quin merasa seperti titik kecil dalam dunia yang terlalu besar.
Beberapa menit kemudian, kru mulai merapikan panggung untuk acara berikutnya. Kamera diuji, lampu diposisikan ulang, dan seorang produser lapangan sibuk berteriak melalui mic di kepalanya. Di belakang produser itu berdiri Pak Jo, menyimak dengan tenang namun penuh wibawa.
Quin dan Jihan turun dari panggung. Di area belakang panggung, ruang make-up ramai oleh suara hair dryer, tabrakan palet eyeshadow, serta obrolan cepat para perias yang bergerak cekatan.
Arka duduk di kursi make-up, sedang diberi bedak oleh perias yang tampak sudah bekerja sejak subuh. Quin duduk di kursi sebelahnya, diam saja, pandangannya menerawang.
“SEMANGAT!” teriak Arka tiba-tiba, membuat periasnya kaget dan spontan memukul bahu Arka dengan spons bedak. “Aduh, Mas!”
Quin tidak tertawa. Bahkan tersenyum pun tidak.
“Kata Nisa, Dima menang puisinya?” tanya Arka pelan, mencoba membuka percakapan.
Quin hanya mengangguk tipis. Ia memang sudah melihat pengumumannya di media sosial. Ia bahkan melihat fotonya Dima memegang papan hadiah besar. Tapi ia tidak menghubungi laki-laki itu. Untuk apa? Mengucapkan selamat? Mengingatkan bahwa mereka pernah dekat? Atau… menagih perasaan yang tidak pernah tuntas?
“Semoga elu juga menang,” bisik Arka tulus.
“Setelah penampilan gue kemaren?” Quin mendengus kecil. “Semoga gue nggak menang.”
Arka memandangnya bingung.
Quin menatap layar ponselnya yang gelap. Bayangannya sendiri terlihat di sana. “Gue nggak mau dirundung di medsos. Fitnah itu katanya menguntungkan, tapi… rasanya nggak sesederhana itu, Ka.”
Arka terdiam. Ia tak ingin memaksa Quin bicara lebih banyak.
–
Sementara itu, jauh dari studio IF TV, suasana berbeda mengisi sebuah aula di belakang perpustakaan Taman Ismail Marzuki. Ruangan itu sudah disulap menjadi panggung sederhana untuk acara penghargaan puisi. Tidak ada lampu LED menyala-nyala. Tidak ada musik keras. Hanya panggung kecil dengan backdrop kain putih dan kursi-kursi yang ditata rapi.
Dima tiba bersama Lala. Para penyair yang hadir tampak tenang, beberapa membawa buku puisi lusuh yang mereka baca sambil menunggu acara dimulai.
Acara berlangsung santai, hangat, dan tanpa tekanan. Dima bahkan sempat tersenyum kecil ketika namanya disebut sebagai pemenang. Ia berdiri memegang papan hadiah bertuliskan lima juta rupiah, sesuatu yang sebelumnya hanya ia bayangkan.
Namun di balik senyumnya, ada sesak yang ia sembunyikan. Kemenangan ini berarti ia bisa membeli motor baru untuk ayahnya. Tapi… ia tahu ayahnya tidak pernah mudah memberi pujian.
–
Dalam taksol yang membawa mereka pulang, Dima dan Lala membuka media sosial. Pengumuman empat finalis YAMI terpampang besar di layar.
Quin masuk. Bersama Jihan.
Arka gugur.
Namun kolom komentar berubah menjadi hujan kritik.
“Harusnya Arka yang masuk, masa finalisnya cewek semua.”
“Quin jelek banget nyanyinya. Ini mah setingan orang dalem!”
Dima menghela napas melihatnya. Tapi lalu ada satu komentar yang membuatnya berhenti.
“Quin itu kemaren nyanyinya menghayati tau. Bagus! Bravo Quin!”
Lala di sebelahnya tersenyum canggung. “Itu aku yang nulis.”
Dima menatapnya. Lala mengangkat bahu. “Kan bener. Dia bagus.”
Meski hatinya terasa berat, ada sedikit kelegaan merayap perlahan. Setidaknya… ada seseorang yang membela Quin.
“Udah, hubungi Quin sana,” kata Lala sambil mendorong lengan Dima. “Bilang makasih. Bilang selamat juga. Eh, tapi jangan seromantis itu. Pelan-pelan.”
Dima cuma bisa menghela napas lagi—antara lega karena bisa membayar kesalahannya kemarin, dan getir karena ia tahu… hadiah ini tidak akan membuat ayahnya bangga.
queen Bima
mantep sih