NovelToon NovelToon
My Enemy, My Idol

My Enemy, My Idol

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Enemy to Lovers
Popularitas:374
Nilai: 5
Nama Author: imafi

Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.

Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.

Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25

Nisa mendatangi Dima yang sedang duduk dengan kepala tertidur di atas meja. “Ini elu?” tanya Nisa sambil menunjukkan video tiktok yang berisi foto-foto pria dengan payung dan langkah kaki di jalanan basah yang dihiasi bunga-bunga layu.

Dima mengangkat kelopak matanya yang seperti ditindih batu konglomerat, mengintip layar hape Nisa, lalu kembali menundukkan kepalanya di meja sambil berkata, “Iya.”

“Kapan elu bikin ini?” Nisa duduk di kursi meja di depan mejanya Dima.

“Kemaren,” jawab Dima yang masih menundukkan kepala.

“Kemaren kapan?”

“Pas nemenin Quin latihan.”

“Jadi Quin latihan nyanyi sama elu?”

“Hemmm.”

“Di mana?”

Dima tidak menjawabnya.

“Katanya Quin, kemaren dia mau latihan sendiri.”

Dima masih terdiam.

“Dima!” Nisa menggoyangkan bahu Dima.

“Ntar aja tanya jawabnya. Gue mau tidur dulu, takut ntar pas pelajaran Bu Sasti makin ngantuk!”

“Huuu!” Nisa kembali duduk ke kursinya. Hari itu dia duduk sendiri, sebab Quin ijin tidak masuk sekolah karena latihan YAMI.

Afgan sudah datang di IF TV satu jam sebelum jadwal seharusnya, tetapi acara belum mulai karena Afgan masih berdiskusi dengan produser dan musik arrangement. Sementara para peserta duduk menunggu di sebuah ruangan. Quin satu kelompok dengan Arka, dan Kinan. Seorang peserta lagi belum datang.

Seorang karyawan IF TV masuk ke ruangan tunggu yang tenang dan nyaman, dengan aroma kopi itu. Dia lalu menyuruh Arka untuk masuk ke dalam ruang rekaman dan latihan bersama Afgan. Arka bangkit dan pergi bersama karyawan itu masuk ke ruang rekaman.

Kinan yang sudah berkenalan dengan Quin sebelumnya tiba-tiba bertanya, “Ibu kamu kenal sama Pak Jo?”

Quin yang memakai jepit rambut kuning di poninya menoleh, “Oh, iya.”

“Sodara?” tanya Kinan yang suaranya lembut tapi terdengar sedikit manja. Dia memakai sepatu booth putih, tampak kontras dengan rok coklat dan cardigan hitamnya.

“Bukan. Cuma kenal aja,” Quin berusaha menjawab seadanya. Tidak ingin terlihat terlalu mengenali Pak Jo, karena memang sama sekali tidak kenal. 

“Oh,” jawab Kinan lalu merapikan poni dan rambut lurus sekupingnya.

Quin menebak, Kinan mungkin ada keturunan Eropa. Satu jam serasa satu abad jika duduk bersebelahan dengan orang yang tidak satu frekuensi. Quin berusaha ramah dan membahas berbagai topik dengan Kinan, tapi tidak ada satupun yang berlangsung alami. Semua berakhir di “Oh.”

“Kamu suka bikin lagu juga?” tanya Kinan masih berusaha membuka topik pembicaraan.

“Nggak. Kamu?”

“Suka. Mau denger?”

Quin ingin menjawab tidak, tapi Kinan langsung mengeluarkan hapenya dan menunjukkan youtube channel miliknya. Terlihat Kinan bernyanyi sebuah lagu tentang perempuan yang dighosting dengan menggunakan gitar.

“Kamu bisa main gitar?”

“Gitar, piano, ukulele, biola, saxohpone juga bisa,” jawab Kinan dengan semangat.

“Oh,” jawab Quin dengan singkat. Kemudian mereka kembali terdiam.

Untungnya Arka dan karyawan TV keluar dari ruang rekaman. Karyawan TV itu lalu meminta Quin masuk ke dalam ruang rekaman, sehingga dia tidak perlu lagi mendengar bualan-bualan Kinan.

“Gimana?” tanya Quin pada Arka begitu mereka berpapasan.

“Cape!” jawab Arka sambil mengusap lehernya.

Quin masuk ke dalam ruang rekaman. Dindingnya dihiasi panel akustik. Di satu sisi ada sofa empuk berwarna biru tua yang tersusun rapi menghadap meja kopi kecil dengan buku-buku musik di atasnya. Lantainya tertutup karpet tebal. Pantas saja di luar tadi, Quin tidak bisa mendengar suara Arka sama sekali. Ruangan itu terlalu kedap suara.

Afgan menyalami Quin, “Halo, Quin ya?”

“Iya, Om, eh Mas, Kak…” Quin menepuk wajahnya sendiri karena malu.

“Kak aja. Santai aja. Duduk yuk,” ajak Afgan yang tersenyum sehingga menunjukkan lesung pipitnya. Meningatkan Quin pada Dima.

“Iya, Kak,” kata Quin sambil duduk di sebelah Afgan.

“Ini Kak Ono, operator musik,” Afgan menunjuk ke seorang operator yang musik duduk di depan meja yang berisi alat musik, laptop, komputer dengan banyak monitor. Di depan mereka ada ruang kaca yang hanya terdiri dari kursi dan microphone. 

“Halo, Kak,” jawab Quin sambil menundukkan kepala dan tersenyum.

“Ini Kak Eri, musik arrangement yang nanti akan memandu kamu maunya nyanyi lagu seperti apa,” Afgan menjelaskan sambil melirik seorang perempuan cantik dengan rambut pendek dan badan yang tidak besar tapi terlihat kekar dan kuat, sedang memangku gitar listrik.

“Halo!” sapa Kak Eri sambil melambaikan tangannya.

Quin tidak menyangka bisa ada di ruangan ini. Seperti sedang rekaman sebagai seorang penyanyi profesional, padahal dia hanya biasa bernyanyi di kamar mandi.

Afgan menatap Quin, “Kira-kira kalau kamu jadi penyanyi, kamu maunya nyanyi lagu seperti apa?”

Pertanyaan yang mudah, tapi jawabannya tidak mudah. Quin tidak tahu harus menjawabnya. Dia suka semua lagu, tapi dia tidak tahu kalau jadi penyanyi mau nyanyi lagu apa?

“Hmmm… apa ya, Kak?” Quin menjawab sambil berusaha menahan getaran di lehernya agar tidak terdengar gugup.

“Gini aja, kamu paling suka dengerin lagu apa?” tanya Kak Eri sambil mengambilkan sebuah botol mineral dari meja di pojok ruangan yang berisi kopi, teh, dan dispenser. Dia lalu memberikannya ke Quin.

“Aku… suka semua lagu sih, Kak,” Quin menatap Afgan, Eri dan Ono dengan tatapan seperti orang kebingungan.

“Kamu sebenernya mau jadi penyanyi atau nggak?” tanya Kak Ono dengan tegas, tidak mau bertele-tele - kesal karena Quin terasa seperti anak yang tidak punya cita-cita.

“Hah!” Quin kaget. Pertanyaan itu sebuah pertanyaan biasa, tapi entah kenapa Quin merasa ada sesuatu yang menghujam jatungnya dan memaksa air matanya keluar.

“No, apaan sih. Santai!” kata Eri pada Ono.

“Nggak usah dengerin dia. Coba diinget-inget, lagu apa yang paling berkesan sama kamu?” tanya Afgan sambil tersenyum.

Quin mengambil napas panjang berusaha mengendalikan dirinya, lalu menjawab, “Aku suka lagu-lagu lama, Kak.”

"Oke, kita mulai dari apa yang kamu suka. Karena apapun yang kita lakukan, harus dimulai dari apa yang kita sukai," jelas Afgan dengan bijak.

Dima duduk bersama Givan, Danu, dan Jejen di warung Bu Neneng. Sesekali Dima melihat hapenya, menunggu kabar dari Quin soal latihan pertamanya di IF TV.

“Pokoknya elu jangan keluar dulu. Motornya jangan dipake dulu!” kata Givan mengingatkan.

“Nggak bisa lah. Bokap gua kan ngojek!”jelas Dima kesal. Ayahnya tidak mungkin tidak mengojek. Sejak di-PHK ketika masa COVID, tidak ada yang bisa dilakukan ayahnya kecuali mengojek.

“Bang Toyib bilang, ada preman yang mau ngambil motor elu. Daripada ayah elu kena begal kaya Mang Ujo, mending nggak usah ngojek dulu!” jelas Givan.

Dima terdiam menatap hapenya.

“Elu jangan mikirin Quin terus!” ejek Jejen.

Dima menunjukkan hapenya ke Jejen, “Bukan mikirin Quin! Tapi ini puisi gue, masih juara tiga!”

“Apa kita beli buzer aja, biar votingan elu naik!” usul Danu dengan semangat.

“Bagus! Ide bagus! Tapi elu yang bayarin buzernya? Mau?” tanya Dima kesal. Ide Danu itu selalu bagus, tapi tidak ada yang pernah bisa dilaksanakan secara konkrit. Persis ide-ide seorang pejabat, pikir Dima.

Dima memperhatikan video tiktoknya yang sudah diungga dua hari yang lalu tapi viewersnya cuma seribu. Apakah dia harus bikin video tiktok lagi sama Quin? Apakah Quin ada waktu?

Akhirnya Quin keluar dari ruang rekaman. Setelah Kinan masuk ke dalam ruangan rekaman melakukan gilirannya. Quin bisa bicara berdua dengan Arka.

“Elu ngobrol sama dia?” tanya Quin pada Arka.

“Nggak,” jawab Arka terdengar bete.

“Enak dong. Pas elu masuk tadi, dia ngajakin gue ngobrol. Benci banget gue.”

“Harusnya elu pura-pura mules! Biar nggak diajak ngobrol!” jawab Arka nyengir. 

“Elu pura-pura mules?” 

“Iya, tadi gue ke kamar mandi, terus ngobrol sama anak-anak TV!” jawab Arka bangga pada dirinya.

“Cerdas!” Quin menggelengkan kepala dan bertepuk tangan, salut pada Arka.

“Dia sempet sih cerita sama gue.”

“Cerita apa?”

“Katanya ada peserta yang keterima YAMI lewat ordal!”

“Hah?” Quin bengong, apakah itu maksudnya dirinya? “Siapa?”

“Nggak tau. Gue langsung pura-pura mules!” Arka tersenyum lebar sehingga kedua matanya menghilang.

Bersambung.

1
Leni Manzila
hhhh cinta rangga
queen Bima
mantep sih
imaji fiksi: makasih udah mampir. aku jadi semangat nulisnya.🥹
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!