Setelah orang tuanya bunuh diri akibat penipuan kejam Agate, pemimpin mafia, hidup siswi SMA dan atlet kendo, Akari Otsuki, hancur. Merasa keadilan tak mungkin, Akari bersumpah membalas dendam. Ia mengambil Katana ayahnya dan meninggalkan shinai-nya. Akari mulai memburu setiap mafia dan yakuza di kota, mengupas jaringan kejahatan selapis demi selapis, demi menemukan Agate. Dendam ini adalah bunga Higanbana yang mematikan, menariknya menjauh dari dirinya yang dulu dan menuju kehancuran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Our Time
Di suatu tempat, jauh dari kemewahan Distrik Senja, Araya dan Indra makan bersama di sebuah restoran makan sederhana. Restoran mie kecil itu kontras dengan ketegangan misi mereka.
Araya, yang biasanya terlihat resmi, kini lebih santai, melepas mantelnya. Indra makan dengan tenang, matanya tetap waspada.
Sambil makan, mereka membahas ledger yang diberikan Akari. Ledger itu tergeletak di samping piring mereka, disamarkan dengan tumpukan serbet.
"Data keuangan ini jelas sekali, Indra," kata Araya, menunjukkan satu entri di ledger itu. "Dokter Kevin Satou menerima persentase besar dari setiap operasi organ. Angka-angka ini tidak sesuai dengan gajinya di Rumah Sakit Ougon."
"Dia serakah," gumam Indra, menyesap kuah mie-nya. "Dan dia terlalu percaya diri dengan penampilannya yang bersih. Itu adalah titik lemahnya. Akari benar tentang aura keserakahan."
Araya kemudian menghubungkan informasi dari ledger dengan apa yang didapat dari Miku.
"Miku dan Akihisa sudah memastikan: Dokter Kevin sering mengosongkan jadwalnya di malam hari, dan Rumah Sakit Ougon terletak di tepi Distrik Senja. Dia pasti memiliki jadwal rutin."
"Jadwal rutin itu yang akan menghancurkannya," balas Indra. "Kita tidak akan menyerbu rumah sakit, Araya. Itu terlalu berisiko. Informan internal akan melihat pergerakan kita."
Indra menyeringai. "Kita gunakan kelebihan Higanbana kita. Kita akan menunggu dia keluar dari lingkungan amannya. Kita buat dia merasa aman, lalu kita serang dia di tempat yang paling dia percayai."
Araya tersenyum, mengerti rencana calon suaminya yang selalu berorientasi pada serangan pribadi.
"Ide yang bagus. Tapi kita harus tahu semua rute dan kebiasaannya. Aku akan menghubungi Miku. Kita butuh informasi detail tentang kehidupan pribadinya."
Setelah menyetujui rencana serangan pribadi, Araya mengeluarkan ponselnya dan menghubungi kantor.
"Aku yang akan bicara," kata Araya, nadanya kini beralih ke mode formal Kepala Detektif.
Araya menghubungi Miku yang masih ada di kantor bersama Akihisa.
"Miku, ini aku. Bagaimana perkembangan pencarian riwayat Dokter Kevin Satou?" tanya Araya.
Di seberang meja, Indra hanya menikmati es cokelatnya yang dingin. Ia bersandar di kursi dengan santai, mengabaikan percakapan Araya. Indra tahu belum saatnya menunjukkan jika ia ikut andil secara langsung dalam pekerjaan investigasi, agar Akihisa dan Miku tetap percaya bahwa ini adalah operasi kepolisian rahasia.
Suara Miku terdengar sedikit bergema dari ponsel Araya.
("Araya-san! Kami menemukan Rumah Sakit Ougon, dekat Distrik Senja, tempat Kevin bekerja. Tapi kami sedang mencoba menggali lebih dalam, karena kami curiga informasinya terlalu mudah didapat. Kami sedang mencari kebiasaan pribadinya.")
Araya bertanya mengenai perkembangan mereka lebih lanjut.
"Bagus. Tinggalkan fokus pada informan internal untuk saat ini. Aku butuh kebiasaan pribadinya. Apakah dia memiliki rutinitas khusus? Klub, restoran, rute perjalanan pulang yang selalu sama?" desak Araya. "Kita harus mencari titik lemahnya di luar rumah sakit."
("Kami masih menggali, Araya-san. Kami akan segera mendapatkannya. Akihisa sedang bekerja keras.")
"Lanjutkan, dan segera hubungi aku begitu kau menemukan celah. Jangan melapor ke kantor. Hubungi nomor pribadiku ini," perintah Araya.
Araya menutup telepon, pandangannya beralih ke Indra.
"Mereka bekerja cepat. Mereka akan segera menemukan rute pribadi si Dokter Tampan itu," kata Araya.
Indra tersenyum tipis. "Bagus. Aku tidak mau membuang waktu dengan pengejaran. Kita akan membuatnya datang ke perangkap kita."
Setelah menyelesaikan panggilan, Indra meletakkan gelas es cokelatnya. Ia mengalihkan topik pembicaraan dari urusan AgateX ke masa lalu Araya di kepolisian.
Indra mengalihkan topik sejenak dan menatap lencana detektif yang terpasang di jaket Araya.
"Omong-omong, selamat atas pekerjaanmu, Araya," ujar Indra, nadanya lebih tulus daripada saat dia menyindir. "Kau, Akihisa, dan Miku sekarang telah menjadi semacam jaksa yang bekerja di lapangan. Menggunakan lencana detektifmu untuk mengejar keadilan secara langsung."
Indra menyambungkan pujiannya dengan pengamatan yang selalu ia miliki:
"Kau memang Araya si jenius yang selalu tahu cara mengubah bukti menjadi tuntutan. Miku si cerdas yang bisa meretas sistem apa pun. Dan Akihisa ahli strategi yang bisa melumpuhkan siapa pun. Timmu selalu sempurna untuk memburu penjahat kerah putih."
Araya tersenyum tipis, menerima pujian itu. Namun, senyum itu menghilang ketika ia menatap Indra, mengingat mengapa mereka berdua tidak lagi menjadi rekan di kepolisian.
"Sayang sekali kau tidak pernah mau mengambil ujiannya," balas Araya mengsarkas Indra. "Jika saja saat itu kau tidak keluar, kau bisa juga menjadi jaksa penuntut yang paling ditakuti di Shirayuki. Kau punya bakat untuk membalikkan argumen yang mustahil."
Indra hanya mengangkat bahu, menerima sarkasme itu sebagai pengakuan.
"Aku terlalu sibuk menjadi sopir taksi," jawab Indra. "Dan lagi pula, siapa yang akan mengurus kasus-kasus 'tidak efisien' di jalanan jika aku sibuk di kantor jaksa?"
Araya dan Indra saling pandang. Mereka tahu, meskipun jalan mereka berbeda, keahlian mereka tetap saling melengkapi. Sekarang, keahlian itu diarahkan untuk membantu Akari dan mengadili AgateX.
Araya menyesap kopinya, ekspresinya kembali serius. Sebagai detektif, matanya selalu tajam terhadap detail yang tidak biasa.
Araya mengalihkan topik, memikirkan hal aneh yang ia lihat saat tiba di rumah Akari.
"Aku melihat mobilmu tadi, Indra," ujar Araya. "BMW M8 Competition hitam. Cantik. Tapi aku melihat ada yang aneh dengan bodinya. Apakah... kau memasang body anti peluru di mobilmu?"
Araya menatap Indra dengan pandangan menyelidik. Mobil yang terlihat seperti taksi itu tidak seharusnya memiliki modifikasi kelas berat seperti itu.
Indra, yang biasanya lugas, tampak sedikit tidak nyaman. Ia menghindari kontak mata, sibuk memandang sisa es cokelatnya.
"A-anti peluru?" Indra mencari alasan sambil mengalihkan pandangannya. "Tidak, tentu saja tidak. Itu hanya lapisan coating khusus yang sedikit lebih tebal. Kau tahu, untuk melindungi dari goresan dan... hujan asam di Shirayuki. Aku menjaga nilai jualnya."
"Ya, hujan asam yang membuat kaca jendela mobilmu setebal lima senti," sindir Araya, senyum liciknya kembali. "Kau membawa seorang pemburu balas dendam dan bukti yang bisa menjatuhkan organisasi mafia paling kejam di kota. Kau tidak perlu berbohong, Indra. Kau memasangnya karena kau tahu, kau dan aku adalah target utama."
Indra menghela napas, mengakui fakta itu tanpa kata-kata.
"Baiklah," kata Indra, menyandarkan tubuhnya. "Anggap saja aku sedang menjalani persiapan untuk menjadi sopir taksi yang sangat bertanggung jawab. Sekarang, mari kita bicara tentang cara yang bertanggung jawab untuk menculik Dokter Kevin dari rumah sakitnya."
Araya menyadari bahwa modifikasi anti peluru pada mobil Indra adalah bukti komitmen serius. Ia tersenyum tipis, beranjak dari kursinya.
"Aku mengerti, Tuan Sopir Taksi yang Bertanggung Jawab," kata Araya, menyindir. "Kalau begitu, aku serahkan misi ini padamu."
Araya menatap Indra. Ia menyerahkan misi penculikan kepada Indra dan Akari.
"Kau tahu, menangkapnya di dalam rumah sakit dengan melibatkan Akari terlalu berbahaya. Kau harus menculiknya di luar lingkungan amannya. Temukan kelemahannya, dan Akari yang akan bergerak."
Araya mencondongkan tubuhnya sedikit.
"Ingat, kau tidak boleh membunuhnya," desak Araya, suaranya kembali menjadi Kepala Detektif. "Kita butuh dia hidup-hidup untuk kesaksian di pengadilan, dan untuk mengkonfirmasi nama informan internal itu."
Indra memandang Araya, matanya menyipit geli.
"Astaga, Nona Detektif," balas Indra. "Kau selalu mengatakan hal yang sama," katanya, meniru nada Araya. "Tentu saja, kami tidak akan membunuhnya. Akari hanya akan membuatnya cacat sampai dia mau berbicara. Kau sudah dapat ledger, biar kami yang membawakanmu orang yang bisa bersaksi."
Indra mengangguk, menyetujui batasan keras dari Araya. Perbedaan cara kerja mereka tetap sama: Araya menjaga garis hukum, sementara Indra dan Akari bekerja di wilayah abu-abu.
Mereka telah menyepakati sasaran dan metodenya. Sekarang, mereka hanya perlu menunggu informasi kelemahan Dokter Kevin dari Akihisa dan Miku.
Indra bersiap untuk pergi, tetapi Araya menghentikannya.
Araya menyentuh bahu Indra secara lembut—sebuah sentuhan yang sangat pribadi dan jauh dari protokol detektif.
"Satu hal lagi, Tuan Sopir Taksi," kata Araya, nadanya kini melunak. "Aku yang bayar tagihan mie ini."
"Tapi," lanjut Araya, senyum liciknya kembali, "aku meminta balasannya. Balasannya saat kita sudah menikah nanti. Kau berutang padaku, dan aku akan menagihnya di bulan madu."
Indra terheran. Wajahnya yang biasanya datar kini menunjukkan ekspresi terkejut yang nyata. Ia tidak menyangka Araya akan menggunakan makanan sederhana sebagai alat tawar-menawar pernikahan.
"Araya, ini hanya mie-"
"Hutang tetap hutang, Indra. Dan kau tahu, aku selalu menagih hutang," potong Araya.
Indra menghela napas, namun ia tahu ia tidak akan menang menghadapi Araya yang jenius ini dalam permainan kata-kata atau kontrak. Dia hanya mengangguk pasrah.
"Baiklah, Ibu Negara. Aku berhutang padamu. Sekarang, aku harus bekerja," ucap Indra, tersenyum kecil.
Setelah itu, Araya dan Indra berpisah. Araya kembali ke kantor untuk mengawasi Akihisa dan Miku, serta membersihkan jejak mereka dari informan internal. Sementara itu, Indra kembali ke rumah Akari untuk menyiapkan Akari dan menyampaikan rencana penculikan Dokter Kevin.