NovelToon NovelToon
Saat Aku Berhenti Berharap

Saat Aku Berhenti Berharap

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Dijodohkan Orang Tua / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:9k
Nilai: 5
Nama Author: Lisdaa Rustandy

Dua tahun menjadi istri dari pria cuek nan dingin yang tak pernah mencintaiku, aku masih bersabar dalam pernikahan ini dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban untuk hubungan kami.
Tetapi, batas kesabaranku akhirnya habis, saat dia kembali dari luar kota dengan membawa seorang wanita yang ia kenalkan padaku sebagai istri barunya.
Hatiku sakit saat tahu dia menikah lagi tanpa izin dariku, haruskah dia melakukan hal seperti ini untuk menyakiti aku?
Jujur, aku tak mau di madu, meskipun awalnya aku meyakinkan diriku untuk menerima wanita itu di rumah kami. Aku memilih pergi, meminta perpisahan darinya karena itulah yang ia harapkan dariku selama ini.
Aku melangkah pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kupikir semua sudah berakhir begitu aku pergi darinya, namun sesuatu yang tak terduga justru terjadi. Ia tak mau bercerai, dan memintaku untuk kembali padanya.
Ada apa dengannya?
Mengapa ia tiba-tiba memintaku mempertahankan rumah tangga kami?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

#15

[DUA MINGGU KEMUDIAN]

[KANTOR]

Alden duduk di kursinya, di ruang kerja. Tangannya memainkan ujung pulpen di bibir, sementara matanya menatap kosong ke luar jendela.

Pria itu tampak tak bersemangat seperti biasa, matanya juga terlihat berkantung hitam akibat kurang tidur setiap malam.

Sejak pertemuan dua keluarga hari itu, dan keputusan telah diberikan, Alden merasa hari-harinya semakin suram. Di rumah, ia merasa sepi, tak ada kegiatan sibuk yang biasa dilakukan Naysila setiap harinya.

Tak ada yang menyiapkan sarapan untuknya atau bahkan secangkir kopi yang biasa disajikan diatas meja makan. Alden harus melakukan segalanya sendiri. Bahkan rumah itu terasa seperti rumah kosong tanpa penghuni setiap kali ia ada di dalamnya.

Sejak hari itu pula, Alden tak pernah tahu lagi kabar Naysila. Wanita itu menutup akses untuknya, seakan tak memberikan celah untuk Alden menghubunginya lagi.

Di saat Alden sedang melamun, tiba-tiba pintu ruangannya terbuka dan seseorang masuk.

"Pak, rapat akan segera dimulai dalam lima menit lagi. Klien kita sudah berada di ruang rapat," ujarnya.

Alden berbalik dan menatap pria bertubuh tinggi itu. Dia adalah Haris, sekertarisnya.

"Ya, saya akan datang sebentar lagi," jawab Alden pelan.

"Baik, kami tunggu, Pak."

Alden mengangguk. Haris permisi dan keluar dari ruangan Alden tanpa mengatakan apapun lagi.

Sementara itu, Alden bangkit dari duduknya dan segera bersiap. Hari ini, dia ada pertemuan dengan klien untuk membahas proyek kerja sama pembangunan resort mewah di kawasan pesisir.

Alden menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan semangat yang masih tersisa. Ia menyambar jasnya dari sandaran kursi dan melangkah keluar ruangannya. Koridor kantor tampak ramai, tetapi semuanya terasa hampa bagi Alden. Ia hanya melangkah seperti robot, tanpa benar-benar merasa hadir di tempat itu.

Sesampainya di ruang rapat, Haris langsung menyambutnya. "Silakan, Pak. Tim klien sudah menunggu di dalam."

Alden mengangguk dan membuka pintu ruang rapat. Di dalam, sudah ada tiga orang yang duduk di sisi meja, dua pria paruh baya dan satu wanita muda yang sedang mencatat sesuatu di laptopnya. Mereka berdiri menyambut Alden saat ia masuk.

"Selamat pagi, Pak Alden," sapa salah satu pria dengan senyum ramah.

"Selamat pagi. Maaf menunggu. Mari kita mulai," ujar Alden sambil duduk.

Rapat pun dimulai. Mereka membahas rencana desain, estimasi anggaran, serta timeline pengerjaan proyek. Alden tampak mengikuti pembahasan dengan serius, tapi ada saat-saat ketika pandangannya kembali menerawang.

Setiap kali namanya disebut atau diminta pendapat, ia langsung tersadar dan menjawab secara profesional. Namun, semua orang di ruangan itu bisa merasakan kalau pria itu sedang tidak sepenuhnya dalam kondisi terbaiknya.

Di tengah presentasi, wanita muda yang mencatat dari tadi menyodorkan lembar proposal ke arah Alden.

"Pak, ini rancangan terbaru dari tim kami untuk bagian interior villa utama. Kami harap bisa sesuai dengan konsep yang Bapak inginkan," ucapnya sopan.

Alden menerima dokumen itu. Matanya menyapu desain yang begitu indah dan terkonsep dengan baik. Tapi pikirannya melayang pada satu orang, Naysila.

Setelah itu, ia memberikan kembali dokumennya.

_

Rapat akhirnya selesai setelah hampir dua jam penuh pembahasan. Semua pihak saling berjabat tangan, menyepakati poin-poin penting yang sudah didiskusikan. Senyum dan kata-kata ramah tetap terucap, meski Alden tahu, hatinya sama sekali tidak ikut tersenyum.

"Terima kasih atas waktunya, Pak Alden. Kami akan segera mengirimkan revisi sesuai masukan Bapak," ucap pria paruh baya itu sebelum keluar ruangan bersama timnya.

Alden hanya mengangguk tipis.

Begitu pintu ruang rapat tertutup, ia menarik napas panjang, seolah baru saja keluar dari ruang hampa udara. Haris menghampirinya.

"Pak, ada beberapa dokumen yang perlu ditandatangani. Mau saya bawa ke ruangan Bapak?"

Alden hanya menjawab singkat, "Bawa saja nanti."

Nada suaranya datar, tanpa energi.

Ia berjalan kembali ke ruang kerjanya dengan langkah pelan. Begitu sampai, Alden langsung melepas jasnya, meletakkannya di sandaran kursi, lalu duduk. Tangannya bertumpu di meja, namun matanya menatap kosong ke arah jendela lagi.

Di luar, langit siang itu cerah, tetapi di dalam pikirannya, hanya ada kabut pekat. Tumpukan berkas di meja tak tersentuh. Laptopnya menyala, menunggu disentuh, namun Alden tak juga bergerak.

Dia hanya duduk di sana, membiarkan waktu berjalan, membiarkan keheningan memenuhi ruangan. Ponselnya tergeletak di sisi meja, namun ia enggan meraihnya. Seakan ia tahu, meski dilihat berkali-kali, tak akan ada nama Naysila muncul di layar itu.

Jam dinding terus berdetak, tetapi bagi Alden, rasanya hari ini berhenti di satu titik. Titik di mana semua yang ia inginkan terasa semakin menjauh.

Ia memejamkan mata sebentar, berharap bisa melupakan semua, meski hanya untuk beberapa menit. Namun, yang datang justru bayangan wajah Naysila, lengkap dengan senyum dan suaranya yang kini hanya tinggal bayangan.

Ruangan itu sunyi, dan Alden memilih untuk tetap diam di sana… tanpa melakukan apa-apa lagi.

*

Sementara itu di tempat lain.

Naysila pamit kepada orang tuanya dengan membawa tas belanja. Ia akan membeli bahan-bahan masakan untuk makan malam nanti.

Walaupun belakangan ini kondisi mentalnya sempat terganggu dan hampir membuatnya terpuruk, Naysila mencoba untuk melanjutkan hidupnya dengan penuh rasa ikhlas dan senyum bahagia.

Ia harus tetap hidup demi kedua orang tuanya, yang selalu membanggakan dirinya dan tidak pernah pergi walaupun dirinya sedang dalam keadaan buruk.

Langkah Naysila terasa ringan siang itu. Matahari bersinar terik, namun langit biru tanpa awan membuat suasana terasa cerah. Sinar matahari memantul di dedaunan pohon di sepanjang jalan menuju pasar, menciptakan bayangan bergerak di atas trotoar. Ia mengenakan blouse sederhana warna krem berlengan panjang dan rok warna hitam, dipadukan dengan hijab segi empat bermotif bunga yang ia lilit rapi.

Sesekali, ia tersenyum tipis pada orang-orang yang ia lewati, meski senyum itu masih menyimpan sisa-sisa luka yang belum sepenuhnya sembuh.

Di pasar, Naysila mulai memilih sayur-sayuran segar, ikan, dan bumbu dapur. Tangannya cekatan, mengingat kegiatan ini sudah menjadi bagian dari rutinitasnya sejak lama.

Ia bahkan tak malu untuk tawar menawar dengan para pedagang, sesekali bahkan bercanda dengan mereka karena sebagian telah akrab dengan dirinya saat ia sering berbelanja dengan sang ibu.

Setelah cukup berbelanja, Naysila keluar dari pasar dan berjalan di tepian jalan raya dengan menenteng tas belanja yang terisi penuh. Rencananya, ia akan mampir di toko baju, untuk membeli gamis bagi sang ibu. Hari ini, bukan ulang tahun sang ibunda, tetapi Naysila ingin memberinya hadiah kecil yang bisa digunakan oleh ibunya untuk pergi ke pengajian.

Ia percaya, setiap sesuatu yang diberikan untuk kebaikan, akan mengalirkan amalan yang baik untuknya.

Hingga akhirnya ia berhenti di depan sebuah toko dan langsung saja masuk. Naysila memilih gamis yang cocok untuk ibunya, dengan senyum manis yang bisa membuat hatinya tenang.

Sekeluarnya dari toko baju, Naysila melanjutkan perjalanannya untuk pulang ke rumah. Berjalan kaki dengan santai, bak seorang gadis yang sedang kerepotan membawa belanjaan.

Saat ia tengah berjalan, tiba-tiba sebuah motor berhenti tepat di depannya. Naysila menghentikan langkahnya dan menatap si pengendara yang memakai helm menutup seluruh wajahnya.

Pria itu melepaskan helmnya dan tersenyum pada Naysila.

Naysila sedikit terkejut, tapi kemudian balas tersenyum.

Rupanya, pria itu adalah Dimas, seseorang yang pernah sangat berarti dalam hidupnya, yang ia tinggalkan demi Alden. Usianya sama dengan Alden, hanya saja Dimas masih fokus menyelesaikan pendidikan S3-nya di fakultas kedokteran.

Naysila sempat terdiam menatap Dimas yang kini berdiri di hadapannya. Wajah itu masih sama seperti yang ia ingat, teduh, tenang, dan selalu menyimpan senyum hangat. Bedanya, kini ada sedikit janggut tipis di rahangnya, membuatnya terlihat lebih dewasa.

Bertahun-tahun lalu, sebelum pernikahan yang mengubah segalanya, Dimas adalah kakak seniornya di kampus. Mereka berbeda fakultas, tapi pertemuan demi pertemuan di acara kampus membuat mereka akrab. Saat itu, Naysila dan Dimas mulai menjadi dekat, kemudian saling memberikan perhatian satu sama lain.

Mereka tak pernah berstatus pacaran. Tak ada kata "jadian" yang pernah terucap. Namun, perhatian Dimas dan cara ia selalu ada untuk Naysila membuat semua orang yang melihat mengira mereka pasangan. Bagi mereka, komitmen tak selalu butuh label. Yang ada hanyalah janji-janji kecil untuk saling menjaga dan meraih masa depan bersama.

Dimas pun berjanji, ia akan menikahi Naysila saat mereka lulus. Di mana Naysila lulus S1 dan Dimas lulus S2.

Namun, janji itu tak pernah sampai pada pelaminan. Kehadiran Alden dalam hidup Naysila mengubah segalanya. Ia memilih jalan yang berbeda, meski hatinya sempat berontak.

Hal itu pula lah yang membuat Dimas memutuskan untuk terus melanjutkan pendidikan, untuk mengobati rasa sakitnya setelah ditinggal menikah. Ia berpikir, tak ada gunanya terpuruk hanya karena cinta, meraih cita-cita bisa ia jadikan hal yang membanggakan daripada meratapi kesedihan.

Sejak mereka berpisah, Naysila tak pernah melihat Dimas lagi. Pria itu seolah hilang ditelan bumi dan tak pernah muncul lagi.

Namun kini, melihat Dimas lagi di hadapannya, Naysila merasakan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada rasa hangat yang dulu pernah menjadi rumah, bercampur dengan kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan.

"Kak Dimas… sudah lama sekali," ucap Naysila akhirnya, mencoba mencairkan suasana.

Dimas tersenyum kecil. "Iya… lama sekali tidak bertemu, Nay. Aku hampir pangling. Kamu sehat?"

"Alhamdulillah, sehat. Kakak?"

"Sehat juga, alhamdulillah." Dimas mengangguk, lalu menatap sebentar pada wanita itu dari atas sampai bawah. "Kamu lebih kurus dari saat terakhir bertemu, Nay. Apa kamu baik-baik saja."

"Tentu. Aku baik-baik saja, Kak. Mungkin memang akhir-akhir ini aku agak sibuk, jadinya agak kurusan," Naysila berbohong.

Jelas tubuhnya jadi lebih kurus karena perlakuan Alden tak pernah mengenakan baginya. Hati dan pikirannya kacau oleh pria itu.

"Syukurlah..." Dimas lalu melirik tas belanja di tangan Naysila. "Baru selesai belanja? Mau pulang? Aku antar. Sekalian biar bisa ngobrol sebentar… kalau kamu nggak keberatan."

Naysila menatapnya beberapa detik, lalu menggeleng pelan. "Terima kasih, Kak… tapi rumahku dekat. Bisa ditempuh dengan jalan kaki. Lagipula, aku tidak mau merepotkan."

"Sama sekali nggak merepotkan, Nay. Rumah kita searah, kan? Gak ada salahnya kita pulang bersama."

"Rasanya... gak usah, Kak. Terima kasih banyak. Aku benar-benar gak mau merepotkan Kakak."

Dimas seperti ingin membantah lagi, namun Naysila menambahkan dengan senyum tipis, "Aku juga tidak mau menimbulkan salah paham… apalagi aku masih istri orang."

Ada jeda sesaat. Senyum Dimas melemah, tapi tatapan matanya tetap lembut. "Baiklah… aku mengerti."

Mereka terdiam sejenak, hanya berdiri di trotoar itu sambil dihembus angin siang. Dimas akhirnya berkata, "Bagaimana kabar suamimu?"

"Alhamdulillah, dia juga baik."

"Kenapa kamu hanya sendiri? Dan... sepertinya kamu juga tinggal di rumah orang tuamu?"

Naysila mengangguk. "Suamiku sedang ada di luar kota untuk waktu yang cukup lama. Jadi, aku memilih tinggal di rumah orang tuaku sementara dia nggak ada."

"Oh, begitukah? Dia memang sangat sibuk sepertinya," ucap Dimas sambil tersenyum ramah.

"Iya, Kak."

Dimas memakai helmnya lagi dan berkata, "Kalau begitu, jaga dirimu baik-baik, Nay. Semoga nanti kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan."

Naysila mengangguk, lalu melangkah pergi sambil membawa belanjaannya. Ia bisa merasakan tatapan Dimas mengikuti setiap langkahnya, namun ia tak menoleh lagi.

Langkahnya mungkin ringan, tapi hatinya terasa berat, seakan baru saja meninggalkan potongan masa lalu yang pernah begitu berarti.

*****

1
Tutuk Isnawati
😍 bu tamara getol bener pgn mntunya bertahan
Tutuk Isnawati
semangat thor😍
Lestari Ari Astuti
ditunggu kelanjutannya,setelah minum jus dari ibunya adel🤭
Tutuk Isnawati
kyanya ini ulah bu tamara biar kluarga adiknya nginep 🤣
Lisdaa Rustandy: sengaja dia mah biar anak mantu satu kamar🤣
total 1 replies
Sunaryati
Karena sejak awal pernikahan kamu langsung menutup hati, dan menyakiti hati dan sekarang malu akan berjuang, setelah merasakan kehilangan saat ditinggalkan
Sunaryati
Jika ragu akan disakiti lagi namun kamu akan beri kesempatan, buat perjanjian Nay
Aretha Shanum
ahh bosen alurnya , menye2 kaya bumi sempit ga ada lski2
Lisdaa Rustandy: iya, emang sempit kok. kalo mau yg luas keluar dari novel aja🤣🤣
total 1 replies
lovina
ketawa sj kalau baca novel modelan gini, wnaitanya selalu naif dan bodoh sdngkan laki2nya selalu di buat semaunya dan ujungnya balikan dgn ending sm semua novel, baca buku berkali2 dgn alur yg sama... niat amat author2 dadakan kek gini g bisa yah buat yg beda, g mungkinkan oyak nya cmn satu tuk semua author...kalau di kritik biasnaya tantrum
Lisdaa Rustandy: maaf, saya sudah berkarya hampir 4thn, jadi bukan dadakan lagi. Setidaknya buatlah versi anda sendiri sebelum menertawakan karya orang lain🤣🤣🤣
total 2 replies
Sunaryati
Kamu renungkan semua kesalahan kamu Alden, dan berpikir cara memperbaikinya. Nayla jika kamu masih ada cinta untuk Alden berpikir jernih baru ambil keputusan.
Lestari Ari Astuti
semoga bersatu kembali
partini
hemmm enak bener jadi laki udah cup sana cup nyesel minta maaf balikan ga jadi baca Thor
Lisdaa Rustandy: tapi Alden gak pernah ngapa2in sama Serena, kan dari awal cuma boongan. Cup sana cup sininya darimana, kak? 😄 Alden masih ORI itu
total 1 replies
Lestari Ari Astuti
di tunggu kelanjutannya
Tutuk Isnawati
nyesel deh sekarang gliran orgny dah. prgi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!