Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26: Bella si Sepupu Influencer
Bab 26: Bella si Sepupu Influencer
Makan siang selesai.
Akhirnya.
Oma bangkit dari kursinya, memberi isyarat bahwa dia akan masuk ke kamarnya untuk tidur siang. Ritual suci yang tidak boleh diganggu oleh siapa pun, bahkan oleh presiden sekalipun.
Pak Adhitama kembali ke ruang kerja pribadinya, menutup pintu berat itu untuk menelepon mitra bisnis penting di London.
Bu Linda, dengan senyum sopan yang tak pernah luntur, mengajak Clarissa ke sunroom. Katanya mau pamer koleksi anggrek bulan barunya yang diimpor dari Thailand.
Juan?
Juan ditarik oleh Om Pras (suami Tante Lisa) ke teras samping. Membahas mobil vintage atau saham, topik laki-laki yang membosankan tapi wajib.
Juan sempat menoleh ke Yuni, memberi isyarat mata. Tunggu sebentar. Aku segera balik.
Yuni mengangguk kecil.
Dia ditinggal sendirian.
Di ruang tengah yang luas, dingin, dan penuh dengan barang-barang antik yang menatapnya.
Yuni berdiri.
Dia ingin kembali ke kamarnya di Sayap Timur.
Tempat perlindungan sementaranya.
Dia ingin melepas sepatu flat yang mulai menggesek tumitnya.
Ingin melepas topeng "Calon Menantu Idaman" yang sudah dia pakai sejak jam enam pagi.
Ingin bernapas.
Tapi kakinya baru melangkah tiga kali menuju lorong, ketika sebuah suara memanggilnya.
"Kak Yuni!"
Suara cempreng. Ceria. Dibuat-buat.
Yuni menoleh.
Bella.
Dia duduk di sofa single bergaya Louis XV di dekat jendela besar yang menghadap taman.
Kakinya diangkat ke sandaran tangan sofa. Tidak sopan, tapi terlihat estetik dan santai ala Pinterest.
Dia memakai dress hitam pendek, riasan glass skin yang berkilau, dan rambut ash-grey yang ditata messy bun.
Tangannya memegang iPhone 15 Pro Max dengan casing lampu LED yang menyala terang.
"Sini dong, Kak. Ngobrol bentar. Masa dari tadi nempel terus sama Kak Juan kayak perangko."
Yuni ragu.
Kakinya terpaku di lantai marmer.
Dia ingat daftar Juan di mobil kemarin.
Bella. Sepupu Influencer. CCTV Digital. Zona Bahaya.
Tapi menolak sepupu tuan rumah saat tidak ada Juan di sampingnya adalah tindakan tidak sopan.
Bisa dianggap sombong.
Dan Yuni adalah tamu yang tahu diri. Tamu bayaran.
"Hai, Bella," kata Yuni.
Dia berjalan mendekat. Pelan.
Duduk di sofa panjang di seberang Bella. Menjaga jarak aman dua meter.
"Gila sih tadi," kata Bella, matanya tidak lepas dari layar ponsel. Jempolnya menari lincah di atas layar, mengedit sesuatu dengan kecepatan cahaya.
"Oma savage banget. Kak Clarissa langsung kena mental. Mukanya tuh kayak... priceless."
Bella tertawa kikuk. Tawa yang tidak sampai ke mata.
"Jantung plastik. Epic. Itu bakal jadi quote of the year di keluarga ini."
Dia akhirnya mengangkat wajah. Menatap Yuni.
Tatapannya menilai.
Tapi bukan penilaian merendahkan penuh kebencian seperti Clarissa.
Ini penilaian konten.
Apakah Yuni "Instagrammable" atau tidak. Apakah Yuni punya nilai viral atau tidak.
"Kak Yuni hebat juga. Biasanya cewek yang dibawa Kak Juan cuma bisa nunduk, gemeteran, atau nangis di toilet kalau ada Clarissa."
"Aku cuma... berusaha sopan," jawab Yuni hati-hati.
"Sopan?" Bella mendengus. "Kakak barusan bikin Kevin diem dan Clarissa pucat kayak mayat. Itu bukan sopan. Itu slay."
Bella menegakkan duduknya. Menurunkan kakinya.
Mengangkat ponselnya.
"Kak, boleh minta waktunya bentar? Buat konten."
Alarm bahaya berbunyi di kepala Yuni.
"Konten apa?"
"Q&A cepet aja. Followers aku penasaran banget sama pacar barunya Kak Juan. DM aku jebol dari semalam pas aku post story kedatangan kalian."
"Isinya: Siapa tuh? Anak mana? Kok beda sirkel?"
"Aku... nggak biasa di depan kamera, Bel."
"Ah, santai aja. Cuma ngobrol. Nggak usah kaku."
Sebelum Yuni sempat menolak atau berdiri, Bella sudah mengarahkan kamera depannya ke wajah mereka berdua.
Lampu LED di casing-nya menyala. Putih terang.
Menyilaukan mata Yuni yang lelah.
"Hai Guys! Balik lagi sama Bella di sini!"
Suara Bella berubah instan.
Naik satu oktaf. Lebih berenergi. Lebih friendly.
Topeng influencer-nya terpasang sempurna.
"Sesuai janji aku, sekarang aku lagi sama special guest kita hari ini. The one and only, pacarnya Kak Juan! Kak Yuni!"
Bella menggeser ponselnya ke wajah Yuni.
Yuni tersenyum kaku. Sangat kaku.
Seperti tersangka kriminal yang difoto polisi untuk berita acara.
"Halo," cicit Yuni. Suaranya kecil.
"Nah, Kak Yuni," lanjut Bella cepat, mengabaikan ketidaknyamanan Yuni.
"Banyak banget yang nanya nih. Kak Yuni asalnya dari mana? Kuliah di mana? Terus kok bisaet, hooked sama Kak Juan yang picky banget?"
Pertanyaan standar.
Yuni bisa menjawab ini sesuai skenario.
"Aku satu kampus sama Juan. Fakultas Sastra."
"Sastra? Wow. Puitis banget. Pantes Kak Juan jadi melow gitu."
Bella mendekatkan ponselnya lagi. Zoom in.
Lensa kamera itu terasa seperti pistol yang ditodongkan ke wajahnya.
"Terus, Kak. Ini yang paling banyak ditanyain. Spill outfit dong."
Jantung Yuni berhenti. "Hah?"
"Outfit hari ini. Lucu banget batiknya. Vintage gitu. Beli di mana, Kak? Designer lokal siapa? Sejauh Mata Memandang? Atau Batik Keris edisi lama?"
Yuni membeku.
Ini jebakan.
Baju ini dia beli di pasar grosir dekat stasiun kereta. Harganya 150 ribu. Tanpa merek. Kainnya agak kasar kalau diraba.
Kalau dia sebut nama desainer asal-asalan, Bella pasti tahu. Bella hapal semua merek.
Kalau dia jujur...
Yuni ingat kata-kata Oma di bukit tadi pagi.
Tangan kasar. Kerja keras.
Dia memutuskan untuk jujur. Kejujuran adalah senjata yang tadi pagi menyelamatkannya.
"Ini... bukan desainer," kata Yuni pelan.
"Beli di pasar. Pasar Tanah Abang."
Hening sedetik.
Mata Bella membelalak. Mulutnya membentuk huruf 'O'.
Bukan kaget menghina.
Tapi kaget... senang?
Seperti menemukan harta karun drama yang bisa dijual mahal.
"Tanah Abang? Traditional market?" ulang Bella, memastikan audiensnya dengar.
"Iya. Blok A."
" Oh my God. Berani banget."
Bella tertawa.
"Keren. Anti-mainstream. Di saat semua orang di sini pake Dior atau Zara atau batik sutra juta-juta, Kak Yuni pake... local market treasure."
"Oke, satu lagi Kak. Tasnya?"
Bella mengarahkan kamera ke tas tangan Yuni yang tergeletak di meja kopi marmer.
Tas kulit sintetis cokelat.
Sudah agak mengelupas di bagian talinya karena sering dipakai membawa buku berat.
Ada goresan pulpen di bagian bawah.
Yuni refleks ingin menyembunyikannya.
Tapi terlambat. Kamera resolusi tinggi itu sudah menangkap cacat itu dengan jelas.
"Tas lama," kata Yuni cepat, tangannya menutupi bagian yang rusak. "Udah... nyaman dipake."
" Sentimental value ya, Kak?" tanya Bella. "Tas kesayangan?"
"Iya."
"Oke deh! Thanks ya Kak Yuni udah mau ngobrol. Stay tuned buat update selanjutnya dari Vila Drama... eh, Vila Adhitama!"
Bella mematikan rekaman.
Senyum lebarnya langsung hilang.
Kembali ke wajah bosan dan datar.
" Thanks, Kak."
Dia langsung sibuk menunduk. Mengedit.
Menambahkan filter Paris. Menambahkan teks warna-warni. Menambahkan lagu latar pop yang sedang trending.
Yuni merasa tidak enak.
Perutnya mulas lagi.
"Bel, itu... mau diposting?"
"Iya dong. Sayang kalau nggak. Engagement-nya bakal tinggi banget. Orang suka konten 'beda kasta' gini."
"Bisa... jangan?" pinta Yuni. "Aku malu."
"Kenapa? Bagus kok. Kak Yuni kelihatan... natural. Apa adanya."
"Bel..."
"Ups. Udah ke-post," kata Bella santai.
Dia menekan tombol.
"Udah naik. Cek aja."
Yuni mengeluarkan ponselnya yang layarnya retak di sudut.
Membuka Instagram. Dia jarang membukanya.
Mencari akun Bella.
Instastory terbaru.
Lingkaran merah menyala.
Yuni menekannya dengan jari gemetar.
Video itu muncul.
Wajah Yuni yang kaku, berminyak, dan pori-porinya terlihat jelas karena kamera canggih Bella.
Suaranya yang kecil dan ragu.
Zoom in ke baju batiknya yang serat kainnya terlihat kasar.
Zoom in ke tasnya yang mengelupas.
Dan caption yang ditulis Bella.
Meet Kak Yuni! Pacar baru Kak Juan yang super "Down to Earth". ✨ Outfit: Tanah Abang Market (No Brand). Bag: Vintage (Read: Old & Peeling). Beneran beda banget sama mantan-mantan Kak Juan sebelumnya yang branded head-to-toe. Definisi "Cinta itu Buta" ya guys? 😂 #VilaAdhitama #CoupleGoals #SederhanaItuIndah #RealLove
Emoji tertawa itu.
Tanda pagar itu.
"Cinta itu Buta".
Itu bukan pujian.
Itu sarkasme yang dibungkus pita neon cantik.
Itu penghinaan publik.
Yuni menelan ludah. Tenggorokannya sakit.
Notifikasi mulai masuk.
Bella men-tag akun Juan (yang untungnya Yuni tidak punya Instagram, jadi Bella tidak bisa tag dia langsung).
Tapi orang-orang mulai berkomentar di DM atau me-reply story itu. Bella sengaja memposting beberapa reply netizen ke story selanjutnya.
Bella memperlihatkan layarnya ke Yuni.
"Liat nih, Kak. Rame banget. Viral jalur ekspres."
Yuni membaca sekilas.
@citra_cantik: Hah? Seriusan Juan sama dia? Jomplang banget anjir. Kayak majikan sama... you know lah.
@kevin_fans: Fix pelet. Dukunnya kuat nih cewek. Tasnya aja udah mau putus gitu.
@fashion_police: Itu tasnya udah ngelupas woy. Juan pelit amat gak beliin tas baru? Malu-maluin keluarga Adhitama.
@clarissa_team: Masih cakepan Clarissa kemana-mana. Juan matanya katarak? Downgrade parah.
@anonim99: Keliatan banget cewek matre yang lagi pansos.
Darah Yuni mendidih.
Matanya panas. Air mata mendesak keluar.
Setiap komentar terasa seperti jarum yang ditusukkan ke kulitnya.
Dia dihakimi.
Oleh ratusan, ribuan orang yang tidak mengenalnya.
Yang tidak tahu kalau dia bekerja keras untuk membeli tas itu.
Yang tidak tahu kalau dia punya harga diri.
Hanya karena dia memakai baju pasar dan tas tua.
Hanya karena dia bersanding dengan "Pangeran" mereka.
"Mereka... jahat banget," bisik Yuni. Suaranya pecah.
"Ah, biasalah netizen," kata Bella santai, sambil membalas komentar dengan emoji api.
"Jangan dimasukin hati. Hate comment itu juga engagement. Makin dihujat, makin viral. Kakak bakal terkenal."
"Lagian Kak Yuni kan emang branding-nya 'Sederhana'. Jadi ini mendukung image kakak. Biar orang kasihan."
Yuni berdiri.
Kakinya menyenggol meja kopi.
Tangannya gemetar memegang ponselnya sendiri.
Dia tidak bisa bernapas di ruangan ini. Oksigennya habis disedot ego Bella.
"Aku... mau ke kamar mandi," kata Yuni.
Dia tidak menunggu jawaban Bella.
Dia berbalik.
Berjalan cepat. Setengah berlari.
Menuju Sayap Timur.
Menjauh dari Bella dan ponsel jahatnya.
Menjauh dari ruang tengah yang mewah itu.
Menjauh dari komentar-komentar yang menyebutnya "pembantu" dan "dukun".
Dia berlari di lorong.
Mengabaikan tatapan bingung pelayan yang berpapasan dengannya.
Dia masuk ke kamarnya.
Membanting pintu kayu jati itu.
Menguncinya. Klik. Klik.
Dia melempar tas "buruk rupa" itu ke lantai.
Tas yang dia beli dengan uang tabungan pertamanya dari kerja di perpustakaan dua tahun lalu.
Tas yang dia banggakan karena awet dan muat banyak buku.
Sekarang terlihat seperti sampah di atas lantai marmer vila yang mengkilap.
Sampah yang tidak layak ada di sini.
Yuni merosot di balik pintu.
Memeluk lututnya.
Dia tidak menangis meraung.
Air matanya tertahan oleh kemarahan yang membakar dada.
Marah pada Bella yang manipulatif.
Marah pada Juan yang meninggalkannya sendirian.
Dan marah pada dirinya sendiri... karena merasa malu menjadi dirinya sendiri.
Kenapa dia harus malu beli baju di pasar? Kenapa dia harus malu tasnya mengelupas?
Itu hasil keringatnya.
Tapi di rumah ini... keringat tidak dihargai. Hanya merek yang dihargai.
Ponselnya bergetar lagi di kasur.
Bukan notifikasi Instagram. Yuni tidak punya aplikasinya.
Pesan WhatsApp.
Dari Juan.
Juan: Kamu di mana? Aku balik ke ruang tengah kok kosong?
Juan: Bella posting story. Aku baru liat.
Juan: Sialan Bella.
Juan: Yuni?
Juan: Jawab.
Juan: Jangan baca komennya.
Juan: Aku ke kamar kamu sekarang.
Yuni mematikan ponselnya.
Melemparkannya ke tumpukan bantal.
Dia butuh diam.
Dia butuh menghilang dari dunia digital dan dunia nyata.
Serangan digital ini lebih menyakitkan daripada tatapan merendahkan Clarissa.
Karena tatapan Clarissa hanya dilihat segelintir orang di meja makan.
Tapi jejak digital itu abadi. Dan dilihat ribuan orang.
Dan sekarang, seluruh dunia tahu kalau sepatu kaca Cinderella ini...
Memang retak, murahan, dan dibeli di pasar loak.