Alena Prameswari percaya bahwa cinta bisa mengubah segalanya.
Tapi setelah tiga tahun menikah dengan Arga Mahendra, ia sadar bahwa kesetiaan tak akan berarti bila hanya satu pihak yang berjuang.
Saat pengkhianatan terbongkar, Alena memilih pergi. Ia menerima proyek desain di Dubai... tempat baru, awal baru.
Tanpa disangka pertemuan profesional dengan seorang pangeran muda, Fadil Al-Rashid, membuka lembaran hidup yang tak pernah ia bayangkan.
Fadil bukan hanya pria miliarder yang memujanya dengan segala kemewahan,
tetapi juga sosok yang menghargai luka-luka kecil yang dulu diabaikan.
Namun cinta baru tak selalu mudah.
Ada jarak budaya, gengsi, dan masa lalu yang belum benar-benar selesai. Tapi kali ini, Alena tak lari. Ia berdiri untuk dirinya sendiri... dan untuk cinta yang lebih sehat.
Akankah akhirnya Alena bisa bahagia?
Kisah ini adalah journey untuk wanita yang tersakiti...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 1.
Suara detik jam di ruang makan terasa lebih nyaring daripada kata-kata.
Alena duduk di kursi ujung meja, menatap suaminya yang sibuk memandangi layar ponsel sambil menyeruput kopi tanpa ekspresi. Udara pagi di rumah itu sebenarnya hangat, tapi keheningan di antara mereka membuat segalanya terasa dingin.
Dulu, pagi-pagi seperti ini adalah momen yang ia tunggu.
Ia biasa bangun lebih awal, menyiapkan kopi kesukaan Arga. Kopi hitam tanpa gula, diseduh dengan takaran yang hanya dia yang tahu. Mereka akan sarapan sambil bercanda hal-hal kecil, siapa yang lupa menaruh handuk di kamar mandi, siapa yang salah beli detergen, atau bahkan tentang tetangga sebelah yang sering memelihara burung tapi lupa memberi makan.
Kini, semua itu lenyap.
Tinggal sisa formalitas seperti dua orang asing yang dipaksa tinggal di rumah yang sama.
“Mas,” suara Alena pelan, hampir berbisik.
Ia menatap wajah pria itu. Tegas, dingin dengan tatapan mata yang sulit ditebak.
“Kamu mau aku masakin apa hari ini? Aku beli salmon kemarin, mungkin bisa aku bakar pakai bumbu lemon yang kamu suka.”
Arga tidak menjawab seketika.
Ia menatap ponselnya beberapa detik lagi sebelum akhirnya meletakkannya di meja, lalu berdiri.
“Enggak usah repot. Aku makan di luar aja, kayak biasa.”
Nada suaranya tidak marah, tidak kasar tapi juga tidak ada kehangatan.
Biasa saja, dan justru itu yang membuat dada Alena terasa sesak.
“Oh, baik…”
Hanya itu yang bisa ia jawab, meski dalam hati ia ingin berkata banyak hal.
Kenapa kamu tak mau makan di rumah?
Apa masakanku sudah tidak enak lagi?
Atau… apa kamu sudah punya teman makan lain di luar sana?
Tapi semua pertanyaan itu tertelan bersama senyum yang ia paksakan.
Arga merapikan dasinya di depan kaca. Ia tampak rapi, wangi, seperti biasa. Seorang arsitek muda yang sukses, berpenampilan tenang, dan nyaris tanpa cela.
Hanya saja dalam beberapa bulan terakhir, keanggunan itu terasa seperti tembok batu. Tak bisa ditembus, tak bisa disentuh.
“Jangan lupa meeting jam sembilan,” ucap Alena sekadar mengingatkan.
Arga hanya mengangguk, lalu menatap jam tangannya. “Aku berangkat dulu.”
Ia mengambil jas, memakainya dengan gerakan kaku lalu berjalan menuju pintu.
Alena mengikutinya sampai ke depan. “Jaga diri, ya.”
Kata-kata yang sederhana, tapi hanya dibalas dengan helaan napas panjang.
Mobil hitam itu melaju perlahan keluar gerbang, meninggalkan aroma parfum mahal dan sisa keheningan yang menggantung di udara.
Alena berdiri cukup lama di depan pintu.
Sesekali angin pagi menyibakkan helai rambutnya. Ia mengembuskan napas panjang, lalu berbalik masuk ke dalam rumah yang kini kembali sepi.
Rumah besar itu tampak rapi, terlalu rapi bahkan.
Sofa abu-abu disusun simetris, vas bunga di meja masih segar, dan tirai putih berayun lembut diterpa angin.
Tapi tak ada kehangatan di sana.
Hanya keindahan yang hampa.
Ia duduk di kursi ruang makan, menatap cangkir kopi milik Arga yang masih setengah penuh. Uapnya perlahan hilang, sama seperti hangatnya hubungan mereka.
Dulu... setiap kali Arga sibuk, ia selalu mencari cara agar suaminya tak merasa sendirian.
Ia menulis pesan singkat, menyiapkan bekal kecil, atau sekadar menelepon menanyakan kabar.
Namun lama-lama, setiap upayanya dibalas dengan satu kalimat: “Aku sibuk, Len.”
Sekarang, Alena tak lagi mencoba.
Ia sudah lelah berjuang sendirian untuk pernikahan yang bahkan tidak lagi punya arah.
Telepon di meja berdering, memecah lamunannya. Dari layar, tertulis nama Mama.
Alena tersenyum tipis lalu mengangkatnya.
“Halo, Ma.”
“Len, kamu udah bangun? Gimana kabar kalian? Arga baik-baik aja?”
Pertanyaan yang sederhana, tapi menggigit.
Setiap kali ibunya menyinggung nama Arga, selalu ada tekanan halus di dada Alena.
“Iya, Ma. Kami baik.” Ia berbohong lembut. “Arga lagi berangkat kerja.”
“Syukurlah... kamu jangan terlalu sibuk kerja terus ya, kasihan Arga kalau pulang nggak ada yang temenin ngobrol.”
Alena menahan napas sejenak sebelum menjawab, “Iya, Ma. Aku ngerti.”
Setelah beberapa menit, panggilan berakhir.
Alena mematikan telepon, menatap layar yang kini gelap.
Semuanya tampak baik-baik saja dari luar. Tapi hanya dia yang tahu bagaimana rasanya menjadi istri yang selalu terlihat bahagia, padahal setiap malam menangis tanpa suara.
Sore hari, Alena menyalakan laptop di meja kerja kecil di ruang tamu. Ia sedang mengerjakan desain interior untuk klien kafe kecil di Menteng.
Warna-warna pastel, nuansa kayu, dan pencahayaan hangat, semuanya ia pilih dengan hati-hati. Ia memang menyukai pekerjaannya, setidaknya desain memberinya kendali atas sesuatu. Dalam pekerjaannya, ia bisa mengatur setiap detail hingga sempurna. Tidak seperti hidupnya, yang perlahan-lahan berantakan tanpa arah.
Ketika matahari mulai tenggelam, suara mesin mobil terdengar di luar.
Alena menoleh ke jendela... Arga pulang.
Ia cepat-cepat menutup laptop, menegakkan duduk, dan mencoba tersenyum.
Tapi Arga masuk rumah tanpa menatapnya. Langsung melepas sepatu, menaruh tas kerja di sofa lalu menyalakan televisi.
“Capek?” tanya Alena lembut.
“Lumayan.”
“Udah makan?”
“Udah.”
Jawaban yang pendek, kering, dan membuat seluruh percakapan terasa seperti formalitas.
Alena menatap punggung suaminya.
Punggung yang dulu jadi tempat bersandar saat lelah.
Sekarang, bahkan jarak dua meter terasa seperti jurang yang tak bisa dijembatani.
Alena berdiri, menatap layar televisi yang menampilkan berita malam. “Mau teh hangat?”
“Enggak usah repot,” jawabnya tanpa menoleh.
Seketika, dada Alena terasa berat.
Ia duduk kembali, memeluk lututnya diam-diam. Mungkin begini rasanya kehilangan seseorang yang masih hidup di sampingmu.
Malam semakin larut. Arga sudah masuk kamar, sibuk mengetik di laptop.
Alena berbaring di sisi tempat tidur, menghadap ke arah berlawanan.
Ia bisa mendengar bunyi klik dari keyboard, lampu meja menyala terang.
Matanya terbuka, tapi pikirannya melayang jauh.
Ia mengingat masa-masa awal pernikahan dulu, bagaimana Arga menatapnya dengan lembut saat mengucap janji di pelaminan, bagaimana mereka saling berjanji untuk saling mendengar dan tidak menyerah.
Tapi janji ternyata bisa memudar, sama seperti cinta yang tak dirawat.
“Mas,” panggil Alena pelan.
“Hmm?”
“Besok kamu pulang jam berapa?”
“Nggak tahu, tergantung meeting.”
Hening lagi.
Hanya bunyi jam dinding yang terus berdetak tanpa henti.
Alena akhirnya memejamkan mata.
Dalam hatinya, ia bertanya-tanya.
Apakah semua pernikahan memang begini setelah beberapa tahun?
Atau hanya pernikahan mereka yang kehilangan arah?
Sebelum tidur, ia berjanji pada diri sendiri satu hal kecil. Kalau besok masih begini, ia akan mulai mencari jawabannya meski mungkin itu berarti harus siap terluka.
Keesokan paginya, Alena menatap wajahnya di cermin kamar mandi.
Ada lingkaran hitam di bawah mata, tapi senyumnya tetap lembut. Ia masih ingin terlihat baik, masih ingin berusaha.
Ia memilih gaun sederhana berwarna biru muda, mengikat rambutnya lalu turun menyiapkan sarapan.
Saat aroma roti panggang dan kopi memenuhi udara, pintu kamar terbuka.
Arga turun dengan pakaian kerja yang sempurna, dasi abu-abu dan jas hitamnya membuatnya tampak seperti lelaki dari majalah bisnis.
“Selamat pagi,” sapa Alena pelan.
“Pagi.”
Jawaban itu singkat lagi.
Ia menaruh secangkir kopi di depan Arga. “Aku coba resep baru, kopi dengan sedikit vanilla. Katanya bisa bikin suasana hati lebih baik.”
Arga hanya menatap sekilas.
Lalu meminumnya tanpa komentar.
Setelah beberapa detik, ia berdiri merapikan dasinya lagi.
“Len, nanti sore aku mungkin nggak pulang. Ada lembur.”
“Oh… iya,” suaranya menurun sedikit. “Aku simpen makanan kamu di kulkas aja ya.”
“Enggak usah, aku makan di luar.”
Lalu pria itu pergi begitu saja.
Pintu tertutup lagi.
Dan kali ini, Alena tidak menatap kepergian suaminya terlalu lama. Ia hanya menarik napas panjang, menatap jendela, dan membiarkan dirinya menerima kenyataan.
Mereka masih tinggal di rumah yang sama, tapi hati suaminya sudah tidak di sana.
*
*
*
Ini... kisah perjalanan seorang wanita yang memilih mengakhiri pernikahan dan berusaha melupakan masa lalu.
Kaya Jailangkung aja, datang tak dijemput pulang tak diantar /Facepalm/
Karena dianggap Lady Diana sering melanggar aturan selama menjadi istrinya Pangeran Charles...