Kematian seharusnya menjadi akhir. Bagi Sayyidah Yasmeen, pewaris takhta yang dikhianati, itu adalah sebuah awal.
Ia terlahir kembali dalam tubuh mungilnya yang berusia sepuluh tahun, namun dengan jiwa yang menanggung luka dan ingatan kelam akan masa depan. Ingatan akan ambisi keji ayahnya sendiri yang merenggut nyawanya, dan ingatan akan pengkhianatan dari sosok yang paling ia cintai—yang kelak menjadi algojonya.
Kini, di balik senyum polos seorang anak, tersembunyi pikiran seorang ratu yang sedang menyusun strategi. Setiap bisikan di lorong istana adalah petunjuk, setiap wajah adalah calon sekutu atau musuh tersembunyi. Ia harus meruntuhkan tirani dari dalam, menggagalkan persekongkolan sebelum terjadi, dan menulis ulang takdir dengan darah dan kecerdasan.
Namun, saat ingatan menjadi senjata paling mematikan dan musuh terbesar bersembunyi di balik kenangan manis, dapatkah Yasmeen merebut kembali mahkotanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selamatkan Logistik
Malik terpaku, menatap pintu yang tertutup di belakang Yasmeen. Matanya terluka. Seperti bidak yang dipaksa menari, gara-gara anak kecil itu.
Harith bersandar. Drama ini lagi. Ia ikut menanggung akibatnya.
"Sudah kubilang, Jauhar," desis Harith dingin. "Dia bom waktu. Hancurkan Khasr." Ia menatap Wazir Jauhar. "Jenderal Malik, logistik pernikahan Ruqayyah, inspeksi pangkalan gurun, mulai besok. Siapkan pangkalan."
Wazir Jauhar mengangguk pasrah. Dewan ditutup.
Harith mengusap kening, memberi isyarat Wazir keluar. Hanya Malik tersisa.
"Terkejut, Sayyid?" tanya Harith menyelidik.
Malik tampak lelah dan marah. "Tak kusangka Emirah Nayyirah begitu kasar. Memanfaatkan namaku. Dia tahu aku benci pernikahan itu."
Harith tertawa hambar. "Bodoh kalau meremehkannya, Malik. Dia buatmu tak terjangkau faksi ibuku. Pindahkanmu dari ibu kota dengan kehormatan. Nayyirah tarik pajak, kita runtuh."
Malik terdiam. "Dia menjadikanku kambing hitam. Aku Jenderal baru. Khasr incaranku."
"Tepat," sahut Harith dingin. "Alasan tinggalkan istana, fokus pasukan gurun, jauhi intrik. Ruqayyah bisa menunggu. Faksi Khasr tidak. Yasmeen lakukan pekerjaan kotor: memberimu pedang."
Malik bangkit, membungkuk kaku. Ia punya kuasa dan jalan keluar. Namun, ia tak nyaman. Gadis angkuh itu korbankan kehormatannya demi bebaskanku. Ia pergi.
Harith bersandar. Gadis itu bukan Sayyidah Zahir. Dia pedang Nayyirah. Dia ingin kubenci, hampir berhasil.
Pikiran itu mengganggunya. Yasmeen bertindak seperti penguasa: lindungi sekutu, tantang musuh, korbankan persepsi. Hati Harith terancam sekaligus... terhibur.
"Panggil Yasmeen," perintah Harith.
Yasmeen terburu-buru kembali. Tariq mengejarnya. Wazir menatapnya jijik bercampur takut.
"Sayyidah," bisik Tariq, "Anda brilian. Tapi terlalu jauh. Wazir Jauhar tak maafkan Anda. Menang perang, tapi tancapkan bendera permusuhan."
Yasmeen berhenti di balik tirai. Ia bersandar di dinding. Hanya pada Tariq ia lepas topeng.
"Aku tahu, Khalī. Aku menyakitinya," gumam Yasmeen. Bukan Jauhar, melainkan Malik. Setiap kata sombong adalah pisau. Malik pasti membenciku. Sempurna. Malik aman, jauh di gurun. Dia tak jatuh cinta pada Yasmeen yang baru.
"Mengapa Pangeran Malik?" tanya Tariq. "Mengapa libatkan nasibnya? Anda tak ingin urusan istana."
"Aku manfaatkan peluang, Khalī," jawab Yasmeen. "Harith butuh kendalikan anggaran gurun. Malik pilihan logis. 'Syarat Nayyirah', tunjukkan Nayyirah pembuat keputusan."
(Narasi internal: Bohong. Aku pastikan dia jauh dari intrik, fokus pada pekerjaannya. Aku pastikan Malik membenciku.)
Yasmeen menarik napas. "Aku usir dia dari pernikahan itu. Tak ingin dia di sini saat kekacauan. Harith hargai aku karena untungkan militernya."
Prajurit istana mendekat. "Sayyidah, Emir Harith panggil Anda ke Dewan. Sendirian."
Yasmeen mengangguk pada Tariq. "Tetap di sini, Khalī. Waktunya pembayaran."
Yasmeen kembali ke Aula. Hanya Harith yang duduk.
"Duduklah, Yasmeen," Harith menunjuk kursi. Ia terdengar formal.
Yasmeen duduk tegak.
"Tampaknya, saya harus membayar mahal," ujar Yasmeen.
Harith mengangguk. "Kau benar. Aku tak keberatan uji Wazir Jauhar. Aku tak keberatan selamatkan Malik, malah bersyukur. Tapi kau gunakan status Nayyirah sembarangan."
"Saya gunakan strategis, Yang Mulia," koreksi Yasmeen. "Nayyirah membayar. Nayyirah berbicara. Itu tawar-menawar."
"Itu Ultimatum, Sayyidah," Harith menegaskan. "Kau memaksa. Kau buat Malik jijik. Kenapa kau ingin dia membencimu?"
Pertanyaan itu menusuk. Ia tak boleh tunjukkan kelemahan.
"Rasa hormat karena kasih sayang itu fondasi lemah, Emir," jawab Yasmeen. "Aku hanya tertarik sekutu yang berprinsip. Malik kerja keras di gurun kalau didorong keengganan."
Harith bersandar. Ia tak yakin Yasmeen jujur. Ia ingin kupas lapisan anak cerdas ini.
"Kau harus kembali ke pelajaran besok," kata Harith. "Drama Nayyirah ganggu politik. Kita krisis suksesi. Sultan sakit. Permaisuri Hazarah kendalikan. Dia butuh jaminan Nayyirah."
"Saya tak bisa belajar. Saya harus pantau keuangan," Yasmeen menolak.
"Oh, kau akan memantau," potong Harith. "Ibuku ingin jamin aliansi. Kau terlalu berani. Dia ingin hancurkan kebanggaanmu."
Yasmeen menelan ludah. Hazarah. Musuh terbesarnya. Di kehidupan lalu, Hazarah hancurkan kehidupanku. Buatku merasa tak layak. Gunakan pernikahanku untuk caplok Nayyirah.
"Apa yang dia inginkan?" tanya Yasmeen. Ia bersiap permintaan uang, tanah.
Pintu Aula terbuka. Permaisuri Hazarah berdiri. Wajahnya tenang, matanya dingin. Ia berjalan ke tengah ruangan. Ia memandang Yasmeen, lalu Harith.
"Apa yang kuinginkan, Sayyidah Kecil?" ulang Hazarah. "Kau berani di Dewan. Aku terkesan. Kau tuntut posisi Jenderal bagi Pangeran Malik. Aku harus berpikir cepat. Aku tak izinkan Nayyirah tunda keberangkatanmu ke ibu kota."
Yasmeen menegang. "Nayyirah harus dipimpin. Saya pewaris tunggal."
"Sayangnya, itu bukan prioritas Kekaisaran," kata Hazarah. "Sultan sakit, aku pastikan garis suksesi kuat dan aliansi tak tergoyahkan. Ini bukan soal pendidikan atau kedaulatan. Ini soal kelangsungan hidup Dinasti."
Hazarah duduk di samping Harith.
"Dua hari. Nayyirah kirim semua pajak tertunda. Setelah itu, tak ada penundaan pernikahanmu dengan Emir Harith."
Yasmeen melompat. "Itu tak mungkin! Nayyirah transisi kekuasaan, kami perlu tinjau inventaris!"
Hazarah tersenyum. "Itu ultimatumku. Karena kau piawai atur Malik, aku beri tugas lain. Tugas ini jamin penundaan. Pergilah ke Gudang Gurun Lima."
Gudang Gurun Lima? Pangkalan tua, ditinggalkan, tapi simpan logistik penting. Yasmeen tahu gudang itu akan runtuh.
"Bawa Khalī Tariq. Evaluasi kondisi gudang. Kalau kau perbaiki semua kekurangan Gudang Gurun Lima dalam dua minggu, siapkan pasukan, aku pertimbangkan otonomi," Hazarah melanjutkan. "Kalau kau gagal, Nayyirah jadi Provinsi Penuh Kekaisaran, semua aset dialihkan, dan kau menikah dalam satu bulan."
"Aku terima tantangan ini," ujar Yasmeen.
"Bagus. Pergilah," kata Hazarah. "Jangan kembali dengan kegagalan. Di Gudang Gurun Lima itu, ada perbekalan untuk Jenderal Malik. Kalau hilang, Sayyid Malik bertanggung jawab. Tunjukkan padaku seberapa besar Sayyidah rela berkorban untuk..."
"Demi kekuasaan," potong Yasmeen. "Aku tak berkorban demi apa pun selain kedaulatan."
"Kau harus sadari," desah Hazarah, "bahwa gudang itu, setahun lalu, alami kecelakaan. Kebakaran. Semua inventaris musnah. Kau tak temukan apa pun selain debu. Tapi aku beri dua minggu. Harith, pastikan dia punya akses penuh."
Harith mengangguk.
Yasmeen membungkuk, menahan amarah. Ini misi bunuh diri politik. Tetapi Hazarah kembali bersuara.
"Satu hal lagi, Sayyidah Yasmeen. Pangeran yang hilang kembali. Pangeran Al-Mansur. Aku ingin kau investigasi. Cari tahu apakah dia layak jadi sekutu, atau musuh."
Yasmeen membeku. Pangeran Al-Mansur?
Di kehidupan masa lalu, Pangeran Al-Mansur bertanggung jawab atas pengkhianatan di gudang ini, sebabkan kekalahan, dan Harith harus membayarnya.
Yasmeen menoleh, ketakutan. Gudang Gurun Lima. Kecelakaan tahun lalu. Al-Mansur. Itu semua terhubung. Hazarah kirimku ke sarang api untuk pancing Al-Mansur.
Harith khawatir. "Ada apa, Yasmeen?"
Yasmeen menahan napas. Dia tahu. Misi ini bukan perbaiki logistik, tapi ungkap pengkhianat, dan Al-Mansur ada di daftar Hazarah.
Dia harus pergi. Dia harus pastikan Al-Mansur tak ulangi kekejaman.
"Saya mengerti. Saya pergi ke Gudang Gurun Lima malam ini," jawab Yasmeen. Ia berjalan cepat keluar.
Dia berlari menuju Tariq. "Kita harus segera pergi!"
"Ada apa, Sayyidah?" tanya Tariq.
"Gudang Gurun Lima," bisik Yasmeen. "Khalī, kita harus selamatkan logistik dan... dan kita harus selamatkan orang di sana. Kalau aku benar, Al-Mansur hancurkan suplai pangan dan air untuk Jenderal Malik besok."