Beni Candra Winata terpaksa menikah dengan seorang gadis, bernama Viola Karin. Mereka dijodohkan sejak lama, padahal keduanya saling bermusuhan sejak SMP.
Bagaimana kisah mereka?
Mari kita simak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perusahaan
Ketika membuka matanya, Viola terkejut. Tangan kekar Beni memeluknya erat dari belakang, ia tersenyum bahagia. Akhirnya suaminya mau menyentuhnya juga. Viola memilih memejamkan matanya, agar Beni tidak terbangun.
Dering ponsel Beni di pagi hari membuat Beni melepaskan pelukannya, ia menjawab panggilan telepon itu. Lidia ingin bertemu dengannya, kalau Beni tidak mau menemui akan bunuh diri.
Terdengar samar jawaban Beni di telinga Viola, membuat wanita itu kesal. Viola langsung merebut ponsel Beni.
"Mati saja lo!" seru Viola, lalu mematikan ponselnya.
Viola melemparkan ponsel Beni ke atas ranjang, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Ia hendak mencuci muka dan menggosok gigi.
"Viola, kamu cemburu?" tanya Beni, ketika istrinya sudah keluar dari kamar mandi.
"Tidak! Aku hanya ingin mempertahankan rumah tangga kita." Viola menatap malas.
Beni tersenyum penuh arti, ia begitu yakin kalau istrinya sedang cemburu. Setiap kali Lidia menelponnya, Viola terlihat muram dan marah. Ia akan memberikan kesempatan, membuka hatinya.
Viola tidak jadi ikut ke kantor Beni, ia harus pergi ke rumah orang tuanya karena ada sesuatu penting yang harus dibicarakan. Sebenarnya Viola tidak rela, Beni bertemu Lidia. Akan tetapi, urusan orang tuanya lebih penting. Selama menikah Viola juga belum pernah berkunjung ke rumah orang tuanya.
"Aku antar kamu dulu ke rumah," ujar Beni yang saat ini sudah berpakaian rapi.
"Boleh, asal jangan minta uang ongkos," canda Viola tersenyum manis.
"Memangnya aku sopir mu!" ketus Beni.
Hati Viola sangat berbunga-bunga, ia tersentuh akan perhatian sang suami. Ia mencubit kulit tangannya, ternyata memang bukan mimpi. Baru saja mau diantarkan ke rumah orang tuanya sudah sebahagia ini, apalagi kalau Beni selalu bersikap manis.
Di perjalanan menuju rumah orang tuanya, Viola nampak tersenyum. Wajahnya terlihat begitu ceria, seperti belum pernah merasakan perhatian seseorang. Walaupun sikap Beni masih dingin, Viola akan berusaha membuatnya berubah secepat mungkin.
"Ben, berhenti di depan saja," pinta Viola. Saat ini mereka sudah sampai di depan pintu gerbang rumah orang tua Viola.
Beni mengacuhkan ucapan istrinya, ia tetap melajukan mobilnya sampai di depan rumah. Entah ada angin apa, Beni tiba-tiba juga ingin bertemu dengan Papa Aldi.
"Beneran kamu mau masuk?" tanya Viola, menatap haru suaminya.
"Hem," sahut Beni.
Viola segera mengetuk pintu, tak lama kemudian Bik Asih membukakan pintu untuknya. Bik Asih sangat senang melihat kedatangan Viola, apalagi bersama Beni yang begitu tampan di matanya.
"Non Viola, Aden, silahkan masuk. Tuan dan Nyonya sudah menunggu di dalam." Bik Asih memainkan mata genitnya ke Beni.
"Ngapain sih, Bik. Pakai kedip-kedip segala," ucap Viola menatap malas.
"Suamimu tampan, Non. Mirip sama aktor drama china yang Bibi tonton," bisik Bik Asih sambil menggandeng tangan Viola.
"Lebay deh, Bik," kata Viola, melirik ke arah Beni yang memang sangat tampan.
Di ruang keluarga, Mama Imelda dan Papa Aldi tersenyum menyambut kedatangan anak dan menantu. Mereka meminta Viola datang, karena akan menepati janjinya memberikan warisan.
Semua aset keluarga dan perusahaan akan menjadi milik Viola seutuhnya, mulai hari ini juga. Namun, Viola justru terlihat tidak suka. Ia menyesal sudah banyak mengharapkan warisan, dan demi tujuannya rela dijodohkan.
"Pa, bukannya perusahaan Wijaya sudah dibeli oleh perusahaan Winata. Papa juga dilarang menginjakkan kaki ke perusahaan Wijaya kan?" tanya Viola, matanya berkaca-kaca.
Papa Aldi menjelaskan dari awal bagaimana perusahaan miliknya bisa ada di tangan Winata Grup, beliau tertipu bisnis hingga hutang menumpuk. Perusahaan yang menipunya menjual ke Winata Grup. Demi kembalinya perusahaan, Viola harus menikah dengan Beni. Semua keputusan Winata Grup yang menentukan, bukan Papa Aldi sendiri.
Besok pagi Viola akan menjadi pemilik resmi Wijaya Grup seutuhnya, peresmian akan dilakukan oleh Papa Winata sendiri.
"Pa, kenapa jadi seperti ini?" tanya Viola, merasa bersalah dengan Beni. Ia takut Beni menganggap semua akal-akalan Papa Aldi.
"Tanya saja sama suamimu," jawab Papa Aldi.
Viola menatap Beni, berharap mendapatkan penjelasan. Akan tetapi, suaminya justru tersenyum, tidak berucap sepatah katapun.
Tentu saja tugas Viola tidak mudah, ia harus mengembalikan perusahaan seperti dulu. Memulai semuanya dari nol, karena saham sudah terjual semua.
"Sayang, kamu tidak perlu khawatir. Papa sudah membicarakan semua, perusahaan itu memang akan diberikan untukmu," ucap Beni, mengusap lembut kepala istrinya.
"Iya, Sayang. Aku akan berikan untukmu, kalau kamu tidak ikhlas," kata Viola.
"Untuk apa? Hanya akan membuatku pusing nanti." Beni sudah mengurus dua perusahaan, Hotel Candra, Hotel Teratai. Ia tidak mau menambah beban pikiran lagi.
Mama Imelda dan Papa Aldi merasa lega, urusan perusahaan sudah selesai. Mereka juga mempunyai satu permintaan, yaitu seorang cucu yang nantinya menemani mereka di masa tua.
Bagi Beni dan Viola permintaan kedua orang tuanya sangat rumit diwujudkan, mereka masih mementingkan ego masing-masing. Terlebih belum ada rasa cinta di antara keduanya.
"Pa, perusahaan Viola bagaimana?" tanya Viola, dari tadi papanya tidak membahas perusahaannya sendiri.
"Perusahaan milikmu Papa yang urus, Viola. Lagipula masih kecil, belum ada perkembangan pesat," jawab Papa Aldi.
Viola menganggukkan kepalanya, ia setuju perusahaan miliknya dikelola oleh Papa Aldi. Ia juga tidak mau terlalu sibuk mengurus perusahaan, apalagi ada wanita yang berusaha mendekati suaminya.
Papa Aldi mengajak Beni minum kopi di teras belakang, beliau ingin mengobrol lebih dekat dengan menantunya. Sementara Viola masuk ke dalam kamarnya, ia mengambil beberapa gaun yang bisa digunakan ke pesta.
"Viola, bagaimana pernikahanmu dengan Beni? Apa kamu bahagia?" tanya Mama Imelda, sebagai seorang ibu tentu saja khawatir dengan keadaan rumah tangga putrinya. Apalagi Beni dan Viola menikah secara paksa.
"Kita bahagia kok, Ma. Beni sangat perhatian," jawab Viola terpaksa berbohong.
Dari dulu Mama Imelda selalu pengertian, beliau sebenarnya justru takut Viola tidak bahagia. Awalnya Mama Imelda tidak setuju dengan pernikahan Beni dan Viola, tetapi demi menyelamatkan perusahaan apa boleh buat.
Agar mamanya tidak khawatir, Viola berusaha meyakinkan kalau pernikahannya sangat menyenangkan. Ia juga menceritakan tentang bulan madu, walaupun ceritanya sedikit diubah dengan yang romantis.
Untung saja Mama Imelda percaya dengan apa yang dikatakan Viola, sehingga hatinya mulai lega. Beliau berharap Viola bahagia dengan Beni, walaupun pernikahannya karena dijodohkan.
"Sayang, aku harus pergi sekarang," pamit Beni secara tiba-tiba.
"Kamu mau ke kantor, Sayang?" tanya Viola penasaran.
Beni memberikan ponselnya ke Viola, ternyata ada foto Lidia yang sedang berdiri di atas gedung. Lidia akan bunuh diri, jika dalam waktu lima menit Beni tidak datang menemuinya.
"Aku ikut!" Viola tidak akan membiarkan suaminya terus diancam.
musuh jadi cinta😍😍😍🥳🥳🥳🥳