Kecurigaan Agnes kepada suaminya di hari ulangtahun pernikahannya yang ke enam, membuatnya bertemu dengan pemuda tampan berbadan atletis di ranjang yang sama. Siapakah pemuda itu? Lalu apa kesalahan yang sudah diperbuat oleh suaminya Agnes sehingga Agnes menaruh kecurigaan? Di kala kita menemukan pasangan yang ideal dan pernikahan yang sempurna hanyalah fatamorgana belaka, apa yang akan kita lakukan? Apakah cinta mampu membuat fatamorgana itu menjadi nyata? Ataukah cinta justru membuka mata selebar-lebarnya dan mengikhlaskan fatamorgana itu pelan-pelan menguap bersamaan dengan helaan napas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lizbethsusanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cukup Tangguh
Ada bunyi karet sepatu yang beradu dengan lantai dan Amos memperkirakan ada sekitar lima orang melangkah pelan menuju ke arahnya.
Amos juga mendengar teriakan Ananta, "Cari dan tangkap dia hidup-hidup!"
Sial! B*j*ng*n itu masih hidup. Amos meraup kasar wajahnya.
Moncong pistol Amos refleks menghantam hidung orang pertama yang muncul di halaman belakang.
Amos menendang pinggang samping kiri orang itu saat pria bertato ular di sepanjang leher itu berteriak kesakitan sambil memegangi hidungnya dan melompat-lompat.
Oke, mereka menginginkan aku hidup-hidup. Itu menguntungkan bagiku karena mereka nggak bakalan nembak aku di kegelapan.
Komandan tampan tim pasukan khusus itu kemudian memakai punggung pria bertato ular di leher yang sedang membungkuk kesakitan untuk sandaran punggungnya agar ia bisa memuntahkan peluru ke depan dengan tepat sasaran. Dua orang terjatuh setelah peluru Amos menembus kepala mereka. Amos kemudian bergulir cepat ke samping kanan lalu berlari ke halaman depan saat ia menghirup asap mencurigakan. "Sial! Mereka punya bom bius, tzk! Merepotkan!"
Ananta yang masih hidup memukul keras kepala anak buahnya dari arah belakang beberapa kali sambil berteriak kencang penuh amarah, "Dasar bodoh! Kenapa kau lempar bom biusnya, hah?! Dia ada di ruangan terbuka dan dia mantan tim katak, dia bisa menahan napasnya selama satu jam lebih. Bodoh, bodoh, bodoh!!!!"
Amos menyeringai senang mendengar teriakannya Ananta itu.
Langkah Amos di halaman samping vila pribadinya dihentikan dengan tendangan maut pria tinggi besar dan kekar. Amos terjengkang ke belakang beberapa langkah. Komandan tampan itu bergegas menegakan badannya sambil menyelipkan pistolnya ke pinggang guna menahan serangan tendangan maut yang berikutnya dengan dua telapak tangan. Amos lalu mendorong kaki jenjang pria tinggi besar dan kekar yang memakai sepatu boot khusus untuk tentara itu kemudian ia melancarkan serangan balik yakni tendangan melingkar. Amos membutuhkan keseimbangan, pergerakan pinggang yang sinkron dengan kaki/tangan, dan menjaga posisi bahu tetap terlindungi untuk melindungi wajah saat berputar atau menendang, dan di saat ia sempurna melakukannya, maka pria tinggi besar dan kekar itu kepala kirinya membentur tembok setelah serangan baliknya Amos mengenai pipi pria tinggi besar dan kekar itu.
Amos kemudian berkelit sambil membungkuk dan menyiapkan tinju saat ia mendapatkan lawan yang berikutnya. Satu tinju Amos melesak ke perut lawannya dan lawannya jatuh terjengkang ke belakang. Amos berhasil merobohkan lawannya dengan tangan kosong.
Namun, Amos terkena tendangan yang lumayan keras dari arah belakang. Amos menggeram sambil memutar badan. Kemudian komandan tampan itu berdiri cepat dengan tubuh tegak, kaki kiri menapak kuat lalu ia mengangkat kaki kanan. Amos lalu menggeser berat badan ke kaki tumpu, putar pinggul dan bahu searah tendangan ke kiri. Ia Kemudian mengayunkan kaki kanan secara melingkar, dan berhasil mengenai betis lawannya, lalu ia menarik kaki kanannya dengan cepat dan kembali ke posisi bertahan. Amos menyeringai sambil mengusap pucuk hidung mancungnya saat ia melihat lawannya jatuh tersungkur dan mendongak, "Ampuni saya! Jangan bunuh saya!"
Amos lalu berbalik badan untuk melanjutkan. langkahnya ke halaman depan. Dua serangan kembali menghadangnya. Dua tendangan kembar yang diarahkan ke Amos secara bertubi-tubi membuat komandan tampan itu kewalahan menahan dan berkelit. Satu tendangan berhasil menggoreskan luka di pipi kiri Amos. Amos melawan dua orang pria berbadan besar dan berkepala plontos di depannya yang jago taekwondo itu dengan sedikit kewalahan. Melawan dua orang itu cukup menyita waktu dan tenaganya Amos hingga pada akhirnya ia berhasil menjatuhkan kedua lawannya itu.
Namun, serangan berikutnya datang dari arah belakang. Amos memutar badan sambil mengusap kedua lengannya yang terasa berdenyut karena ia pakai berulangkali menahan serangan tendangan maut yang datangnya bertubi-tubi.
Ananta menyeringai di belakang tiga orang pria berbadan kekar dan Amos melirik ke belakang, ada lima orang lain pria berbadan kekar. Ia terkepung dan tenaganya tinggal separuh. Ia benar-benar kelelahan karena lawannya kali ini sangat tangguh.
Sial! Masih ada delapan orang lagi dan sepertinya aku tidak bakalan sanggup melawan mereka. Aku capek banget, hiks! Amos mengusap sudut bibirnya yang sedikit berdarah dengan punggung tangannya.
Aku ajak bicara saja untuk mengukur waktu dan mengumpulkan kembali napas dan tenagaku. Amos meregangkan kedua tangannya ke atas dan tersenyum. Amos kemudian berkacak pinggang, "Anak buah kamu hebat semuanya Ananta"
"Hahahaha!" Ananta tertawa terbahak-bahak dengan wajah mendongak ke atas pongah.
Amos berdecak jijik, "Tapi kenapa anak buah sehebat itu kau suruh menangkap aku? Buang-buang uang, kan? Kenapa kau sangat menginginkan aku?"
Ananta menatap lekat Amos, "Aku tidak menyangka kalau kamu ternyata fotokopiannya Papa kamu. Wajah kamu mirip sekali dengan Papa kamu"
"Kau menginginkan aku hanya karena aku mirip sekali dengan Papaku? Apa kamu itu penyuka sesama jenis, Ananta? Tapi sayangnya aku bukan jadi maaf aku tidak tertarik sama sekali menjadi simpanan kamu, cih!"
"Lancang kau!" Ananta berteriak dengan mata melotot tersinggung.
Amos terkekeh geli."Lalu kenapa kau repot-repot membayar mahal orang-orang hebat ini untuk menangkap aku dan effort banget ngejar aku sampai sini?"
Ananta berkacak pinggang, "Karena kelancangan kamu menyebar rumor kalau aku adalah dalang yang menjebak dan membunuh Papa kamu. Aku butuh pengakuan kamu, di mana bukti-buktinya? Kalau kau tidak mau menjawabnya maka aku akan membawa kamu ke ruang penyiksaan milikku dan aku yakin kamu akan menyukai ruang penyiksaan milikku, hahahahaha"
"Hanya karena itu?" Amos menarik sudut bibirnya ke atas.
"Hanya karena itu katamu, hah?!" Ananta memajukan wajahnya yang kesal.
Amos tertawa ngakak, "Tanpa bukti-bukti yang aku punya, kau tetap akan terbukti bersalah karena memang kau dalangnya, bukan?"
"Kenapa kau belum keluarkan bukti-bukti itu ke publik? Apa kau beneran punya bukti-bukti itu" Ananta menegakkan kepalanya dengan mata menyipit.
"Punya atau tidak itu urusanku. Mau aku lempar kapan ke publik, itu juga urusanku"
Karena kalau aku lempar ke publik, papanya Agnes akan langsung ditangkap alih-alih Ananta padahal aku lebih menginginkan Ananta. Yeeaahhh meskipun menghukum papanya Agnes juga penting. Amos menghela napas panjang karena ia sebenarnya tidak ingin membuat Agnes bersedih saat Agnes melihat papanya ditangkap polisi dan Amos juga tidak tega wajah cantiknya Agnes semakin mendung kala perempuan itu menemukan kenyataan bahwa papanya sangatlah jahat juga kejam.
"Kau berurusan dengan orang yang salah Amos"
"Apa kau juga yang membayar orang untuk menculik Archie dan kau juga yang membayar perawat untuk membunuh Agnes?"
Ananta hanya menyeringai.
Amos langsung berteriak penuh amarah, "Aku akan pastikan kau membusuk di penjara untuk semua kejahatan kamu, Ananta!"
"Tangkap dia!" Geram Ananta sambil mengayunkan tangan kanannya ke depan.
Di saat itu juga terdengar teriakannya Baskara, "Woiiii! Bocah SMP kalian, haha?! Mainnya keroyokan, cih!"
Amos menoleh ke belakang dengan napas lega. Semua anak buahnya datang dengan dukungan penuh.
Sial! Kenapa ada Pak Sapto juga? Amos menggaruk tengkuknya.
.