NovelToon NovelToon
Istri Muda Paman

Istri Muda Paman

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / CEO / Cinta Terlarang / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:40.9k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

Kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Mala, membuat gadis itu menjadi rebutan para saudara yang ingin menjadi orang tua asuhnya. Apa lagi yang mereka incar selain harta Pak Subagja? Salah satunya Erina, saudara dari ayahnya yang akhirnya berhasil menjadi orang tua asuh gadis itu. Dibalik sikap lembutnya, Erina tentu punya rencana jahat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Mala. Namun keputusannya untuk membawa Mala bersamanya adalah kesalahan besar. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang kehilangan harta paling berharga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KABAR BAHAGIA

Sudah seminggu berlalu sejak Bi Asih resmi tinggal di rumah Tama. Selama itu pula, hidup Erina berubah menjadi neraka yang tak berujung. Pagi hingga malam, ia harus melayani segala kebutuhan rumah tanpa istirahat. Sebenarnya pekerjaannya tidak berat. Yang mengerjakan pekerjaan berat adalah Bi Asih, Kemala tak mau ambil resiko dengan pekerjaan berat itu karena tahu Erina sedang mengandung.

Namun Kemala memerintahkan pekerjaan yang membuat Erina merasa sangat direndahkan. Kadang hanya membuatkan minuman saja, banyak aturannya. Dan jika tidak sesuai, sang Nyonya tidak segan untuk memarahi. Kemala seolah ingin melampiaskan dendam dengan cara memarahi tantenya itu.

Namun Erina sangat kebal. Lebih tepatnya tidak tahu diri. Hanya satu yang sering membuatnya sesak, suara tawa kecil Kemala dan Tama di ruang tamu terasa seperti cambukan di hati. Belum lagi jika mereka bermesraan, tidak tahu tempat dan waktu. Erina sering menahan cemburu.

Setiap pagi, Kemala akan sengaja membangunkannya pukul lima lewat sedikit, menyuruhnya membuatkan kopi panas-dengan suhu tertentu dan kekentalan yang diinginkan. Jika kurang dari itu, teguran akan langsung meluncur.

"Dasar, gak becus! Susu ini gak aku suruh pakai! Ulangi!" bentak Kemala satu pagi, lalu menuang isi

Cangkir ke lantai.

Erina menggertakkan gigi, tangan mengepal. Tapi ia tahu, melawan hanya akan membuatnya terusir. Dan ia tidak punya tempat lain.

Tama tak pernah bicara manis padanya lagi. Bahkan tatapannya lebih dingin dari es. Setiap kali mereka berpapasan, Tama hanya akan berkata tegas, "Panggil aku Tuan."

Sementara itu, di sisi lain rumah, Kemala dan Tama hidup dalam dunia yang seolah jauh dari penderitaan Erina.

Tama kerap mengecup dahi istrinya di pagi hari, membawakan bunga mawar segar dari halaman. Kemala akan menyambutnya dengan senyuman, membalas dengan pelukan hangat dan obrolan ringan tentang menu makan malam.

"Sayang mau makan sup buntut atau lasagna malam ini?" tanya Tama sambil tiduran dan menjadikan paha istrinya itu sebagai bantalan.

"Apa pun yang dimasak tanganmu, pasti enak," bisik Kemala mesra.

Erina yang melihat dari kejauhan hanya bisa mengerang dalam hati.

Pagi itu, rumah tampak lebih sepi dari biasanya. Kemala dan Tama sudah berpakaian rapi. Mereka akan menghadiri sidang pertama di Pengadilan Agama.

Erina duduk di sudut dapur dengan wajah lesu. Ia

Mengenakan daster lusuh berwarna abu. Perutnya yang mulai membesar tampak samar di balik kain longgar yang dikenakannya. Tapi tak satu pun dari mereka peduli akan kondisi itu.

Wajahnya yang dulu glowing selalu melakukan perawatan itu kini mulai dipenuhi jerawat. Erina juga mengalami pembengkakan pada hidung yang sering disebut pregnancy nose. Ia sendiri malu dengan wajahnya saat ini sehingga tidak pernah lagi aktif di media sosial seperti dulu yang sering flexing.

Erina buru-buru ganti baju dan berdandan. Ia harus hadir dalam persidangan itu untuk mengajukan mediasi. Karena jika tidak hadir, tentu saja sidang akan dilanjutkan dan proses perceraian akan dimenangkan oleh Tama. Ia masih berharap bisa memperbaiki semuanya. Erina tidak lagi berambisi untuk menguasai harta Kemala, ia ingin suaminya kembali.

Ketika mobil hendak melaju, Erina mencoba menghampiri Tama.

"Mas... aku ikut. Aku juga punya hak hadir di persidangan ini," ucapnya lirih.

Tama melirik ke arah Kemala, lalu membuka pintu mobil belakang tanpa berkata apa-apa. Tidak lagi ada kelembutan, hanya formalitas. Bahkan di pengadilan pun, ia tidak ingin duduk dekat dengan wanita itu.

Pengadilan Agama tampak ramai. Para pasangan yang datang dengan berbagai ekspresi: cemas, marah, atau pasrah.

Ruangan sidang Erina dan Tama terasa tegang. Hakim yang duduk di tengah memandang keduanya dengan datar.

"Sidang perceraian antara penggugat, Saudara Tama dan tergugat, Saudari Erina, kami mulai," ucap hakim.

Erina menunduk. Ia tak punya pengacara. Biayanya terlalu mahal, dan semua simpanannya telah habis. Ia hanya bisa mengandalkan mulut dan nalurinya.

"Saya... ingin mengajukan mediasi," ucap Erina pelan. "Saya hamil. Saya ingin kami mempertimbangkan lagi rumah tangga ini..."

Tama tertawa kecil. Bukan ejekan keras, tapi cukup menusuk.

"Mediasi? Setelah semua yang kau lakukan?"

Erina memeluk perutnya. "Tapi... anak ini..."

"Anak itu tidak menjadikanmu suci kembali!" potong Tama dengan suara lantang. "Yang mulia, anak itu bukan anakku. Dan saya menolak untuk mediasi."

Kemala yang duduk di barisan belakang hanya mengamati dengan tenang. Ia bahkan sempat membuka ponselnya, mengirim pesan pada Bi Asih di rumah: "Satu ronde selesai."

Hakim mengangkat tangan. "Cukup. Kami telah mendengar dari kedua belah pihak. Berdasarkan permintaan penggugat, dan karena tergugat tidak memiliki bukti kuat untuk memperjuangkan rumah tangga ini, maka permohonan mediasi ditolak. Sidang akan dilanjutkan dua minggu dari hari ini untuk pembuktian dan keputusan akhir."

Erina tertegun. "Tidak... Yang Mulia, tolong beri saya kesempatan..."

Tapi hakim sudah mengetuk palu.

"Sidang ditutup."

Erina terduduk di bangku luar ruang sidang.

Tangannya bergetar, matanya kosong. Ia kalah. Mediasi adalah satu-satunya peluangnya untuk bertahan. Sekarang semua jalan tertutup.

Tama keluar dari ruang sidang tanpa menoleh. Ia langsung menggandeng tangan Kemala yang baru saja menyusul dari ruang tunggu.

"Mau makan siang di mana, Sayang?" tanya Tama lembut.

"Kita coba tempat yang kamu suka waktu itu. Yang punya dessert stroberi keju," jawab Kemala manja.

Mereka berjalan melewati Erina yang masih duduk kaku. Tak satu pun dari mereka berhenti.

Seorang satpam pengadilan sempat melirik Erina dengan prihatin. Tapi ia hanya menggeleng dan kembali bertugas. Erina sendiri tahu... tak ada yang peduli lagi. Ia bukan siapa-siapa.

Sinar matahari menyengat saat ia keluar dari gedung pengadilan. Langkahnya lunglai, pelan. Ia bahkan lupa kapan terakhir kali ia merasa dicintai. Dulu, Tama adalah dunianya. Tapi kini, bahkan dunia pun ikut membuangnya.

Satu-satunya yang mencintainya adalah Yudha. Laki-

Laki yang mau berkorban demi dirinya. Namun Erina tidak menginginkannya lagi. Ia tidak mau direpotkan, Yudha tidak mungkin bebas dari jerat hukum.

Erina membuka dompetnya. Satu juta, pemberian Kemala pagi tadi. Ini diluar dari gaji yang dibayarkan. Erina tersenyum kecut, ini sebuah penghinaan. Tapi ia butuh uang ini.

Erina memesan taksi online, ia harus segera pulang. Ia

harus kembali ke rumah yang bukan lagi rumahnya.

Tempat ia dibenci, dihina, dan dilenyapkan perlahan.

Tapi satu hal yang belum mati dari dalam dirinya: rasa dendam.

Sementara itu, sinar matahari menembus kaca jendela kantor polisi, menyinari ruangan kunjungan yang dingin dan hening. Di dalam ruangan itu, dua pria duduk berhadapan, terpisah oleh meja kayu tua dengan noda yang sudah menghitam di sudut-sudutnya. Salah satu pria itu, Vino, mengenakan kemeja putih dan celana bahan gelap. Wajahnya tegang, namun penuh tekad. Di hadapannya, duduk sosok yang jauh berubah dari dulu-Yudha, kakaknya.

Rambut Yudha yang dulu selalu tertata rapi kini berantakan. Wajahnya kusam. Matanya sembab, seperti sudah terlalu sering begadang dan menangis dalam diam. Seragam tahanan membalut tubuhnya yang kini terlihat lebih kurus.

"Bang..." Vino memulai dengan suara serak. "Aku akan siapkan pengacara untukmu. Masih ada sisa uangmu

Di rekening. Kita bisa pakai itu."

Yudha hanya tersenyum samar. Ia menggelengkan kepala pelan, lalu menunduk, menatap kedua tangannya yang terikat borgol.

"Aku ingin mengakhiri ini, Vin. Gak perlu ada pengacara. Aku siap... kalau memang harus dihukum mati," ucapnya tenang, seolah sudah menyatu dengan keputusan itu. "Apa yang aku lakukan... kematian orang tua Kemala, itu... itu memang tidak bisa dimaafkan. Aku pantas dihukum."

Vino mengepalkan tangan di atas meja. Suaranya naik satu oktaf, mencampur amarah dan pilu.

"Tapi Bang! Harusnya Erina juga dihukum! Gak adil kalau semua ini cuma Abang yang tanggung!"

Yudha menatap adiknya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Tapi kali ini, ia tetap tersenyum. Senyum yang lebih mirip luka yang dibiarkan terbuka.

"Anak yang dia kandung... itu anakku, Vin. Aku yakin sekali. Dia harus bebas. Dia harus hidup dan punya kesempatan memperbaiki hidupnya. Walau dia gak datang ke sini... walau dia gak menghargai semua ini... aku tetap mau dia selamat."

Vino menggeleng keras. "Aku gak sudi, Bang. Aku gak akan pernah terima dia lagi! Tapi... anak itu... ya, aku janji. Kalau nanti lahir, aku yang akan rawat. Bahkan Om Tama bilang, meski anak itu bukan darah dagingnya, dia akan tetap bantu biayai. Tapi dengan satu syarat-anak itu gak di tangan Erina."

Yudha mengangguk pelan. Di matanya, jelas terlihat

Kekhawatiran. Kekhawatiran seorang ayah yang tidak bisa menjaga anaknya sendiri. Tapi ia tahu betul, Erina bukan lagi wanita manis yang dulu ia cintai. Perubahan dalam dirinya terlalu dalam, terlalu gelap. Setelah semua musibah ini, Erina tetap tak juga berubah. Tak ada penyesalan, tak ada pertobatan.

"Vin, tolong... kalau nanti anakku lahir, jaga dia baik-baik. Jangan sampai seperti aku. Jangan sampai tumbuh menjadi penjahat!"

"Aku janji, Bang," ujar Vino mantap.

Hening beberapa detik. Hanya bunyi detak jam di dinding yang terdengar.

Kemudian Vino menarik napas panjang. "Aku kemari juga bawa kabar baik. Operasi Ibu... berhasil, Bang. Dokter bilang kalau kondisinya terus membaik, InsyaAllah dua hari lagi udah boleh pulang."

Yudha menutup mata, menahan emosi yang menggelegak di dadanya. Bibirnya bergetar.

"Alhamdulillah... aku senang dengarnya, Vin. Terima kasih sudah urus semuanya."

Ia membuka mata perlahan. Kini sorot matanya lebih

tajam.

"Vin... tolong... jangan bilang ke Ibu kalau aku di penjara. Jangan sampai beliau tahu. Kalau nanti hakim menjatuhkan hukuman mati, aku sudah ikhlas. Tapi... jangan sampai Ibu tahu. Biar dia pikir aku kerja di luar negeri."

Vino menatap kakaknya dengan ragu. "Tapi, Bang..."

"Please... aku mohon," potong Yudha cepat, suaranya

Bergetar.

Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Vino akhirnya mengangguk, meski dalam hati, ia tak yakin bisa terus berbohong pada ibunya.

"Baik, Bang. Aku akan jaga rahasia ini."

Yudha tersenyum samar. Namun sedetik kemudian, cairan bening mengalir di sudut matanya, membasahi wajahnya yang tak lagi terawat seperti dulu itu.

"Apa Allah masih mau memaafkanku yang seorang pembunuh ini, Vin? Apa ada kesempatan untuk bertobat sebelum aku mati?" tanya Yudha dengan pilu.

Vino menghela nafasnya. Ia sadar, dirinya juga bukan orang baik. Ia bahkan merasa dirinya jauh dari Tuhan.

Namun dia percaya, jika Tuhan itu Maha pengampun.

"Tidak ada yang mustahil. Allah maha mengampuni dosa hambanya yang mau bertobat. Setidaknya Abang sudah menyesali semuanya."

Yudha semakin tergugu. "Jika ada kesempatan, aku ingin bertemu dengan Kemala dan meminta maaf secara langsung. Aku tahu, kesalahanku ini tidak akan termaafkan. Aku pembunuh, aku jahat. Aku tidak pantas mendapatkan maafnya."

Yudha menatap langit-langit ruangan. "Aku ikhlas jika memang harus dihukum mati. Tapi aku berharap bisa bertemu dengan Kemala. Meskipun dia mau menghabisiku secara langsung, aku rela."

Vino mengangguk lagi. Kali ini, matanya pun mulai basah. "Semoga ada kesempatan untukmu bertemu dan meminta maaf pada Kemala, Bang. Semoga Kemala mau

Membuka pintu maafnya."

Malam hari tiba, suasana begitu hening. Erina duduk di sofa ruang keluarga. Kakinya selonjor, perutnya mulai membesar. Ia memegang ponsel, membuka-buka media sosial. Tak satu pun terpikir olehnya untuk datang ke kantor polisi. Nama Yudha bahkan tak pernah ia sebut. Ia seperti tidak peduli pada laki-laki yang telah berkorban menyelamatkannya agar terlepas dari jerat hukum.

Sementara itu, Kemala berdiri di ambang pintu dengan tatapan penuh sindiran.

"Sidang kejahatan Yudha akan digelar dua hari lagi.

Kau tak berniat untuk mengunjungi pacarmu?"

"Diam, kamu. Gak usah ikut campur," balas Erina ketus.

Kemala kembali menyunggikan senyum sinisnya.

"Kamu tahu, kenapa hidup kamu seperti ini sekarang, Erina?" tanya Kemala pelan.

Erina mendongak, malas menjawab.

"Karena kamu membuang satu-satunya orang yang mencintaimu dengan tulus. Yudha mungkin salah, tapi dia lelaki yang rela mati demi kamu. Dan kamu... bahkan gak pernah datang sekali pun. Pria itu benar-benar bodoh. Dan kau tahu, mungkin Yudha akan dihukum mati atau seumur hidup. Kalau aku jadi kamu ya, aku bakal nyesel dan pastinya temani orang yang telah menjadi pahlawan kesiangan seperti si Yudha. Tapi sayangnya... Kau gak punya hati."

Erina hanya terdiam. Tatapannya kosong, tapi hatinya

Seperti tersayat.

"Aku gak mungkin lakuin hal bodoh. Biarlah Yudha yang menanggung hukuman itu sendiri," gumamnya. Namun sedetik kemudian air matanya mengalir. Entah penyesalan atau karena merasa telah kalah pada Kemala yang kini mendapatkan Tama seutuhnya.

Kemala berbalik, meninggalkan Erina yang kini menangis diam-diam. Tapi tidak ada yang datang menenangkan. Karena dalam hidupnya, semua jembatan sudah ia bakar sendiri.

Dan di balik jeruji besi, Yudha hanya bisa menunduk dalam sujud malamnya.

Yudha telah menyesali perbuatannya. Dia bertaubat, berharap ampunan dari Allah dan permintaan maafnya diterima oleh Kemala meskipun baginya mustahil.

Pagi itu, aroma tumisan bawang dan bumbu-bumbu memenuhi dapur rumah keluarga Tama. Di balik meja dapur, Erina tampak sedang sibuk menghidangkan sarapan.

Di ruang makan, Kemala duduk dengan wajah pucat. Matanya tampak sayu, dan tubuhnya terlihat sedikit lemas. Ia hanya menatap sepiring nasi goreng dan telur mata sapi di hadapannya tanpa banyak bicara.

Tama duduk di sampingnya, menatap istrinya dengan cemas.

"Kamu gak enak badan lagi, Sayang?" tanyanya penuh

Perhatian.

Kemala mengangguk pelan. Sudah beberapa hari dia merasa tidak enak badan. "Entahlah, Mas. Badanku lemas banget. Tapi aku pikir cuma kecapekan..."

Baru beberapa suap, Kemala tiba-tiba membekap mulutnya. Wajahnya berubah pucat pasi. Dalam sekejap, ia berdiri dan berlari ke kamar mandi.

"Mas... aku mau muntah..." katanya lemah sebelum akhirnya menghilang di balik pintu.

Terdengar suara muntah dari dalam. Tama langsung panik dan menyusul istrinya. Bi Asih yang mendengar keributan itu datang tergopoh-gopoh, membawa minyak angin dari kamar.

"Neng Kemala, Sayang, tenang ya..." ucap Bi Asih sambil memoleskan minyak ke bahu dan dada Kemala.

Tama berdiri di ambang pintu kamar mandi, wajahnya merah padam. Pandangannya langsung tertuju pada Erina yang berdiri di dekat meja makan dengan tatapan datar.

"Kamu kasih apa sih di makanan ini?! Lihat istriku! Dia sampai muntah-muntah!" bentak Tama penuh emosi.

Erina terperanjat. "Mas, aku gak ngasih apa-apa, sumpah! Kalau makanannya bermasalah, harusnya kamu dan Bi Asih juga muntah! Ini cuma Kemala. Mungkin... emang dasarnya dia lemah. Penyakitan kali," ucapnya sinis.

api. Tamparan verbal itu seperti menyiramkan bensin ke api "Diam kamu! Dasar babu gak tahu sopan santun!"

hardik Tama tajam, membuat wajah Erina memerah menahan amarah.

Erina mengepalkan tangannya. Dulu, pria itu pernah mencium tangannya dengan penuh kasih sayang. Dulu, Tama adalah segalanya. Tapi kini? Ia tak lebih dari seorang budak di rumahnya sendiri.

"Den Tama," suara Bi Asih memotong ketegangan, "sepertinya ini bukan mual biasa..."

Tama langsung menoleh. "Bukan mual biasa? Maksud Bibi?"

Bi Asih menatap Kemala yang masih terduduk lemas, tangannya mengusap perut wanita itu dengan lembut.

"Ehm, Neng Kemala sepertinya lagi isi."

Ucapan itu membuat ruangan mendadak hening.

Tama menatap istrinya dengan mata terbelalak, sementara Kemala menahan napas.

"Ya, sepertinya Neng Kemala hamil."

"H-hamil?" gumam Kemala lirih. "Aku... aku memang telat datang bulan, Mas. Tapi... aku pikir itu cuma karena kecapekan..."

Tama langsung menghampiri istrinya, menggenggam kedua tangannya. "Sayang... kamu yakin?"

Kemala mengangguk pelan, air mata mulai membasahi sudut matanya. "Aku gak berani berharap terlalu banyak..."

"Halah, halu kamu," celetuk Erina dari belakang. "Mana mungkin kamu hamil? Jangan-jangan cuma pura-

Pura biar dikasih perhatian."

Tama tidak menggubris ucapan itu. Ia langsung berdiri, lalu menggamit tangan Kemala. "Kita ke klinik sekarang. Kita pastikan, Sayang."

Setengah jam kemudian, mereka duduk di ruang periksa klinik bersalin sederhana. Seorang dokter wanita berhijab putih dan bertubuh agak gemuk tengah menatap hasil USG dengan senyum hangat.

"Selamat, Pak. Istri Anda positif hamil. Usia kandungannya sekarang memasuki minggu ke-4," ucap sang dokter sambil menoleh ke arah mereka. "Tolong dijaga baik-baik ya, Pak, Bu."

Tama tak mampu berkata-kata. Ia hanya menatap layar kecil itu-detak kecil yang nyaris tak terdengar namun sangat nyata. Detak kehidupan dari darah dagingnya bersama Kemala.

Kemala menggenggam tangan Tama, dan mereka saling bertatapan. Mata keduanya berkaca-kaca, penuh haru.

"Aku... beneran hamil, Mas?" bisik Kemala nyaris tak percaya.

Tama mengangguk, mengusap air mata di pipi istrinya. "Iya, Sayang. I-ini anak kita."

Untuk sesaat, dunia mereka seolah hanya berisi dua orang. Tak ada Erina, tak ada masa lalu, hanya harapan baru yang tumbuh di dalam rahim wanita yang ia cintai sepenuh hati.

Berbeda dengan kehamilan Erina, kali ini Tama benar-benar sangat bahagia. Dalam rahim Kemala, kini tumbuh darah dagingnya. Beda dengan Erina, Tama sangat yakin jika anak dalam kandungan wanita itu bukan anaknya.

Dan setelah ini, tentu saja Tama akan semakin overprotektif. Ia tak akan membiarkan Kemala celaka. Dalam benaknya, tiba-tiba ia punya sebuah rencana. Karena Erina yang tak tahu diri itu tak mau juga pergi, maka ia akan membawa Kemala pindah. Tentunya ke tempat yang lebih aman. Tama harus waspada, ia tak akan membiarkan Erina dekat-dekat dengan Kemala mulai detik ini!

1
Nunung Sutiah
Aku nangis baca bab ini. Yola dan Rendra. 😭😭😭
Hasri Ani: 😁😁😁 kuat bund
total 1 replies
Rika Anggraini
karma itu nyata
aku
jahat gk sih aq ngetawain ningsih 🤣🤣🤣
Herta Siahaan
Erina memang sangat salah dan jahat.. tapi kemala dan tama jg lebih jahat. dan hasil dari keserakahan Erina dan dendam Kemala dan tama adalah anak dalam kandungan jd korban tdk jelas status nya dan kalau sdh lahir akan kena bully jd anak haram. nah Vino sebagai adik Yuda jg g sadar telah ikut terlantar kan keturunan Abang nya. intinya sianak yg jd korban
Happy Kids
ya kan.. silau harta emang. ujung2nya duit
Happy Kids
emang yaa ga bsa dibaikin dikit. bsa jd subagya dijebak atau digoda
Towa_sama
Wah, cerita ini seru banget, bikin ketagihan!
✨HUEVITOSDEITACHI✨🍳
Ngakak banget!
im_soHaPpy
Datang ke platform ini cuma buat satu cerita, tapi ternyata ketemu harta karun!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!