NovelToon NovelToon
JEDA

JEDA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:612
Nilai: 5
Nama Author: Wiji

Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.

Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

6

Nathan berdiri mematung di depan cermin di kamar mandinya. Pancaran lampu hangat dari atas kepalanya menyoroti wajah yang tampak lebih lelah daripada usianya. Lingkaran gelap di bawah matanya semakin jelas, dan untuk pertama kalinya, ia menyadari, dirinya berubah.

Dulu, wajah itu penuh cengiran malas. Kini, hanya ada kerutan kecil di kening, sisa-sisa tekanan yang belum hilang dari rapat siang tadi.

Ponselnya kembali bergetar.

Notifikasi kedua dari teman lamanya muncul.

[Kita udah di tempat biasa. Jangan mikir terlalu banyak, Nat. You deserve one night off.]

Nathan meletakkan handuk, lalu langkahnya pelan menuju lemari pakaian. Ia membuka laci bawah yang sudah lama tak disentuh. Berisi jaket kulit, jam tangan mahal, dan sepatu sneakers putih yang dulu selalu jadi andalannya saat keluyuran.

Tangannya sempat meraih jaket itu.

Lalu terdiam.

Ia teringat kembali pandangan Alea di ruang rapat tadi. Kata-kata perempuan itu terus bergema di kepalanya.

"Bukan soal jatuhnya, tapi gimana Bapak bangkit."

Nathan menarik napas panjang. Tapi akhirnya, ia tetap ambil jaket itu. Bukan karena ingin kembali ke kebiasaan lamanya, tapi karena malam ini, ia butuh suara. Butuh teman. Butuh... pengingat bahwa ia bukan satu-satunya yang pernah jatuh.

***

Klub itu masih sama. Musik berdentum. Lampu-lampu berganti warna. Wajah-wajah asing tertawa seperti hidup mereka ringan.

Nathan menemukan teman-temannya di sofa sudut ruangan VIP. Mereka bertiga. Ada Davin, Adhit, dan Nuel—masih berpakaian kantor, tapi dengan gaya santai ala orang lelah bekerja. semuanya berdasi, meski dasi mereka sekarang sudah longgar dan ujung kemeja keluar dari celana bahan. Sama-sama berpendidikan, sama-sama punya jabatan, tapi malam ini mereka berubah jadi bocah SMA yang baru gajian.

"NATHAN! Pewaris takhta yang turun gunung juga akhirnya!" seru Davin sambil mengangkat gelas.

"Gue butuh pelarian," jawab Nathan sambil menjatuhkan diri ke sofa. "Otak gue kebakar gara-gara kerjaan."

"Gue pikir karena lo kangen kita," cibir Nuel.

"Gue kangen hidup gue yang dulu, sih," gumam Nathan pelan.

Adhit menyodorkan minuman. "Minum dikit. Buat ngelurusin pikiran. Tapi jangan cari solusi di dasar gelas, Nat. Nggak ada."

Beberapa teguk kemudian, Nathan membuka suara lagi. "Lo semua kerja karena lo milih bidang lo sendiri. Gue nggak. Gue cuma lanjutin... sesuatu yang harusnya dilanjutin."

"Lo megang perusahaan bokap lo. Itu udah keren," kata Davin.

"Keren? Di atas kertas. Tapi orang-orang di sana ngelihat gue kayak anak kemarin sore yang bisa ngancurin semua yang bokap gue bangun dari nol. Gue nggak punya pengalaman. Gue nggak punya waktu buat salah. Sialnya, gue juga nggak bisa berhenti."

Nuel mengangguk pelan. "Lo bukan satu-satunya yang pernah ngerasa kayak boneka pengganti. Bedanya, boneka biasanya nggak bisa mikir. Tapi lo bisa. Lo punya pilihan."

"Pilihan buat terus dijadiin bayangan bapak gue?"

"Atau lo bikin bayangan lo sendiri," sahut Adhit. "Warisan itu bukan beban kalau lo ngerti caranya ngelola. Tapi emang berat banget kalau lo ngerasa harus jadi dia."

Nathan terdiam. Ia menatap gelasnya, bukan karena butuh isi ulang, tapi karena kalimat Adhit barusan menampar halus. Ada rasa sesak yang tidak ia mengerti. Mungkin malu. Mungkin takut. Mungkin... marah pada dirinya sendiri.

"Gue bahkan nggak tahu gue mau jadi siapa di perusahaan itu," katanya lirih. "Setiap hari rasanya kayak ulangan tanpa belajar."

"Lo kan CEO, gimana sih? Lo bukan nggak tahu," potong Davin. "Lo cuma belum tahu cara belajar yang pas."

Nathan hendak menjawab, tapi suaranya tercekat. Matanya menangkap sosok yang berdiri di pinggir ruangan.

Kayla.

Beberapa detik kemudian, pintu ruang VIP terbuka. Kayla masuk, melangkah cepat dengan wajah tak ramah.

Teman-teman Nathan langsung diam. Bahkan Davin, yang biasanya cerewet, meneguk minumannya tanpa suara.

"Akhirnya kamu punya waktu juga, ya, Nat," kata Kayla, berdiri di depan Nathan dengan tangan terlipat di depan dada. "Tapi bukan buat aku."

Nathan berdiri pelan, mencoba menjaga suasana. "Kay, kita lagi ngobrol. Anak-anak yang ngajak–"

"Ngobrol? Di tempat kayak gini? Kamu pikir aku bodoh?" Potong Kayla, suaranya naik satu oktaf. "Kamu bisa sempatin datang ke sini, tapi chat aku jarang kamu bales. Kamu nggak pernah kasih kabar, kamu ngilang gitu aja. Kamu tahu rasanya ditinggalin di tengah hubungan kayak gini?"

Nathan mencoba bersabar. "Aku juga lagi di posisi yang berat, Kay. Bukan cuma kamu yang butuh dimengerti."

Kayla menatapnya sinis. "Tapi aku pacar kamu, Nat. Yang harusnya jadi prioritas itu aku, bukan mereka! Harusnya kamu nyari waktu buat aku, bukan melarikan diri terus-terusan. Sekalinya ada waktu, kamu milih sama mereka? Nggak ngerti aku sama kamu."

"Iya, oke. Aku minta maaf, ya. Aku lagi kacau sekarang. Makanya aku ke sini sama mereka. Aku juga nggak lagi seneng-seneng di sini, aku berbagi beban sama mereka, Kay. Ini nggak kayak yang kamu lihat. Aku nggak bermaksud mengesampingkan kamu, enggak gitu. Tolong kasih aku napas, aku juga mau tenang. Kamu pikir hari-hari aku nggak berat setelah segalanya berubah?"

"Ya, kayaknya napas kamu lebih lega kalau nggak sama aku."

Nathan memijit pelipisnya, merasa frustasi dengan semua yang terjadi malam ini. Suara musik, lampu berkedip, tatapan teman-temannya, dan kini, kemarahan Kayla. Semuanya berputar di kepalanya, membuatnya pening.

"Aku capek, Kay," gumamnya akhirnya, lirih tapi cukup terdengar.

Kayla terdiam, sejenak kehilangan kata-kata. Namun, matanya masih menatap Nathan dengan luka yang dalam.

"Kalau kamu capek," katanya pelan, "kenapa bukan aku yang kamu ajak istirahat bareng?"

Nathan mengangkat wajahnya. Ada nyeri aneh di dadanya mendengar pertanyaan itu. Karena ia tahu, Kayla tidak salah. Ia hanya... takut melibatkan orang lain dalam kekacauannya.

"Karena aku takut malah nyakitin kamu," jawabnya akhirnya. "Takut kamu ikut tenggelam. Aku lagi nggak stabil. Aku butuh waktu buat nemuin pijakan sendiri."

Kayla mengangguk pelan. Tapi ekspresinya bukan pengertian, melainkan kecewa yang dalam. "Sayangnya, hubungan nggak bisa jalan kalau cuma satu orang yang dikasih tahu kapan waktunya datang dan pergi."

Suasana hening. Hanya suara musik dari lantai dansa yang mengisi ruang.

"Aku pulang," ucap Kayla akhirnya, membalikkan badan dan pergi tanpa menoleh lagi.

Nathan berniat untuk mengejar kekasihnya, namun cekalan tangan dari Davin membuatnya urung.

"Lo nggak perlu jelasin apa pun ke siapa pun. Orang yang sayang sama lo, orang yang mencintai lo dari hati nggak akan bersikap seperti dia. Ayolah, Bro. Sejak orang tua lo pergi mendadak, kita semua tahu keadaan lo. Kita yang laki-laki aja ngerti, kita yang urakan aja paham sama kondisi lo. Masa dia sebagai perempuan yang seharusnya lebih peka perasaannya malah nuntut lo dalam kondisi yang kayak gini."

Nathan terdiam. Ia menatap pintu yang sudah tertutup rapat. Menatapnya dalam diam, ia masih mematung, seolah berharap pintu itu terbuka kembali dan Kayla muncul lagi. Tapi itu tidak terjadi.

"Lo tahu, kadang cinta itu bukan soal saling sayang doang," gumam Adhit, menyusul perkataan Davin. "Tapi soal timing. Dan lo lagi ada di fase di mana lo bahkan nggak bisa sayang sama diri lo sendiri, Nat. Gimana lo mau nyayangi orang lain?"

Nathan menghela napas panjang. Berat. Sesak. Tapi dalam sesak itu, ia tahu, ada kebenaran yang harus ditelan mentah-mentah.

"Gue... cuma nggak mau kehilangan semua hal yang penting di hidup gue," katanya akhirnya, suaranya hampir tenggelam oleh dentuman musik. "Tapi kalau harus milih, gue bahkan belum tahu mana yang benar-benar penting."

Davin menepuk bahunya. "Berarti saatnya lo cari tahu. Bukan untuk siapa-siapa, tapi buat diri lo sendiri. Lo nggak bisa terus hidup buat nurutin ekspektasi orang. Termasuk ekspetasi cewek lo sendiri. Come on, Bro. Kita masih muda. Nggak usah pusing sama urusan wanita, selagi lo masih berduit, semua bisa lo beli."

Nathan meraih gelasnya sekali lagi, mengisinya dengan minuman lalu meneguknya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!