Andreas Wilton sudah terlahir dingin karena kejamnya kehidupan yang membuatnya tidak mengerti soal kasih sayang.
Ketika Andreas mendengar berita jika adik tirinya akan menikah, Andreas diam-diam menculik mempelai wanita dan membawa perempuan tersebut ke dalam mansion -nya.
Andreas berniat menyiksa wanita yang paling disayang oleh anak dari istri kedua ayahnya itu, Andreas ingin melihat penderitaan yang akan dirasakan oleh orang-orang yang sudah merenggut kebahagiaannya dan mendiang sang ibu.
Namun, wanita yang dia culik justru memberikan kehangatan dan cinta yang selama ini tidak pernah dia rasakan.
“Kenapa kau peduli padaku? Kenapa kau menangis saat aku sakit? Padahal aku sudah membuat hidupmu seperti neraka yang mengerikan”
Akankah Andreas melanjutkan niat buruknya dan melepas wanita tersebut suatu saat nanti?
Follow instagramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teman Yang Lucu
Suasana kamar Andreas pagi itu masih dipenuhi aroma samar dari teh chamomile dan obat-obatan ketika pintu diketuk tiga kali, suara berderak dari engsel mengiringi masuknya dua pria bertubuh tegap—Arthur dan Dimitri. Keduanya berpakaian kasual, tetapi aura kewaspadaan masih melekat kuat di mata dan gerak tubuh mereka. Begitu masuk, pandangan keduanya langsung tertuju pada Andreas yang tengah bersandar di ranjang, dengan wajah yang sedikit pucat namun tetap memancarkan aura dominasi yang tak pernah luntur.
"Andreas," sapa Arthur sambil menyunggingkan senyum miring, "masih belum mati rupanya. Kukira kau akan lebih dramatis dari ini."
Andreas mendengus, malas menanggapi. "Terlalu sibuk untuk mati. Kau pikir aku punya waktu untuk urusan remeh seperti itu?"
Dimitri tertawa pelan, kemudian meletakkan tas kecil miliknya di atas meja di dekat ranjang. Ia segera mendekat, meneliti wajah Andreas sejenak sebelum menarik kursi dan duduk di samping ranjang. "Aku tidak percaya kau bisa bertahan semalam tanpa dokter. Tapi itu memang gaya bodohmu sejak dulu."
"Karena dokter yang aku kenal sibuk memburu penjahat sampai pagi," balas Andreas datar. "Jangan pura-pura peduli sekarang."
Arthur berjalan mengitari ruangan, matanya mengamati detail interior kamar seolah mencari sesuatu yang berubah. “Kami baru bisa ke mari setelah pelakunya ditangkap. Salah satu anggota Barack. Dia menyamar selama lebih dari dua bulan. Sialan itu cerdik juga. Hampir saja lolos.”
"Dia bicara?" tanya Andreas cepat, nada suaranya berubah serius.
Dimitri mengangguk. "Sebagian. Kami belum mendapatkan semua informasi, tapi cukup untuk menelusuri jaringan yang lebih besar. Namun bukan itu yang ingin kubicarakan sekarang."
Ia membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa peralatan medis kecil: stetoskop, sarung tangan lateks, kain kasa steril, dan beberapa tabung kecil. Andreas menghela napas panjang, menoleh dengan malas ke arah sahabatnya itu.
"Jangan bilang kau akan menyentuhku dengan alat-alat itu."
"Kalau tidak kau mati perlahan karena infeksi," jawab Dimitri ringan. "Dan aku tidak sempat melayat."
Arthur tertawa dari sisi ruangan. “Ayo, biarkan dia memeriksa luka itu. Mungkin kau bisa menjerit seperti anak kecil—akhirnya aku melihat sisi manusiawimu.”
Andreas mencibir. “Aku akan menjerit setelah menendangmu keluar jendela.”
Namun tetap saja, ia menyibakkan selimut dan mengizinkan Dimitri membuka perban yang melilit perutnya. Luka bekas tembakan itu tampak mulai mengering, tetapi area di sekitarnya masih terlihat kemerahan. Dimitri meneliti dengan serius, sesekali menyentuh kulit di sekitar luka dengan gerakan hati-hati.
“Tidak buruk. Tapi kau harus tahu ini akan mengering dalam waktu sekitar satu bulan penuh. Dan meskipun kau sekeras batu, tetap saja, luka seperti ini seharusnya menyakitkan.”
Andreas mendesah pendek. "Aku sudah pernah mengalami yang lebih parah."
“Bagus, berarti kau tidak akan keberatan dengan ini.”
Tanpa peringatan, Dimitri menekan bagian sekitar luka dengan dua jari—cukup kuat hingga membuat Andreas memekik tertahan.
"Sialan, Dimitri!" desis Andreas, mengumpat dalam bahasa asing yang hanya dimengerti oleh mereka bertiga.
Arthur langsung terbahak. “Ah, akhirnya! Nada tinggi dari Andreas! Aku sudah menunggu itu.”
Dimitri hanya mengangkat bahu dengan santai. “Sudah kubilang, kalau tidak sakit berarti aku tidak serius memeriksanya.”
Andreas hanya memutar mata malas dan menarik napas tajam, berusaha menahan denyut yang kembali terasa. Saat suasana mulai sedikit mereda, terdengar langkah pelan di luar kamar. Pintu terbuka perlahan, dan sosok Mistiza masuk dengan nampan makan siang di tangannya.
Langkahnya terhenti seketika saat ia melihat dua pria asing berada di kamar Andreas. Ia menatap mereka sebentar, sebelum akhirnya kembali menunduk sedikit dan melangkah pelan menuju meja di sisi ranjang.
Arthur dan Dimitri saling melirik sejenak, lalu hampir serempak memutar kepala ke arah wanita muda itu. Arthur mengangkat alis tinggi, sedangkan Dimitri menatap dengan mata menyipit penasaran.
"Bukankah itu… Mistiza?" gumam Arthur sambil menunjuk dengan dagunya.
"Benar," sahut Dimitri cepat. "Calon istri Ryan, bukan? Adik tirimu yang sok manis itu."
Andreas mendesah keras. “Jangan mulai—”
Tapi sudah terlambat.
“Wah, perhatian sekali ya,” ujar Arthur dengan nada menggoda. “Sampai-sampai membawakan makan siang ke kamar. Ryan pasti akan cemburu.”
Mistiza terlihat kaget, namun berusaha tetap tenang. Ia menaruh nampan dengan hati-hati di atas meja dan menoleh pelan ke arah Andreas, seolah meminta penjelasan.
Andreas memutar bola matanya, jelas merasa muak dengan arah pembicaraan. “Jangan bodoh. Aku yang menyuruhnya.”
“Oh?” sahut Dimitri cepat, seakan menangkap sesuatu dari nada suara Andreas. “Jadi, kau memilihnya secara khusus untuk menyuapimu dan membawakan makanan?”
Arthur ikut tersenyum lebar. “Jangan bilang padaku kau mulai tertarik padanya, Andreas. Ini pertama kalinya aku melihatmu membiarkan seseorang—terutama wanita—berada di dekatmu lebih dari sepuluh menit.”
“Aku sedang tidak bisa bergerak bebas, dasar tolol!” sahut Andreas tajam.
Namun serangan baliknya justru menjadi boomerang.
“Ah, jadi hanya karena tidak bisa bergerak, ya? Bukan karena ingin dia yang ada di sini?” goda Dimitri dengan seringai lebar.
Mistiza menunduk, wajahnya memerah, entah karena malu atau tidak nyaman. Andreas, di sisi lain, mulai terlihat frustasi. Ia menutup wajah dengan telapak tangannya sebentar, lalu mendongak, menatap tajam kedua sahabatnya.
"Keluar kalian. Sekarang."
“Mau aku saja yang menyuapi mu, pria malang??”
“Kau mau mati, ya!” Sentak Andreas memuncak.
Arthur dan Dimitri tertawa lagi, tak sedikit pun tampak takut pada ancaman Andreas. Namun keduanya tetap menurut, bangkit dari tempat duduk mereka sambil mengangkat tangan seolah menyerah.
“Baiklah, baiklah,” ujar Arthur sambil melangkah ke pintu. “Tapi aku akan kembali sore nanti. Pastikan kau tidak melamun terlalu dalam dengan gadis itu.”
“Simpan sindiranmu untuk musuh kita berikutnya,” balas Andreas kesal.
Dimitri menyusul Arthur keluar dari kamar, namun sebelum keluar sepenuhnya, ia menoleh sebentar ke arah Mistiza. “Jangan biarkan dia menyuruhmu sesuka hati. Pria seperti Andreas butuh seseorang yang bisa memberinya perlawanan.”
Mistiza hanya mengangguk kecil, tidak yakin harus membalas apa.
“Hey, aku bilang keluar! Jangan mencoba mengajaknya berbicara” tukas Andreas.
“Ya ya ya…. Dasar cemburuan!”
Pintu pun tertutup kembali. Kamar menjadi sunyi sejenak, hanya terdengar suara napas Andreas yang sedikit berat. Mistiza menoleh padanya, berusaha menahan senyum kecil yang sempat tersungging tadi karena tingkah dua sahabat Andreas.
Andreas melirik ke arahnya, lalu berkata datar, “Jangan dengarkan mereka.”
“Aku tidak melakukan itu, tapi mereka cukup lucu” jawab Mistiza tenang, meskipun masih terdengar sedikit ragu.
Andreas mengangguk kecil. “Bagus. Sekarang, makan siangnya mana?”
Mistiza menghela napas, lalu duduk di tempat semula, kembali membuka tutup piring dan mengambil sendok untuk menyuapi Andreas.
sehat sehat Mak othor... maaf kan aku yg tamak ini .. crtmu bgs bingittt
aku baca yg sudah tamat dan ingat cerita ini pernah ku baca dulu