Setelah mengetahui sebuah rahasia kecil, Karina merasa bahwa ia akan mendapatkan banyak keuntungan dan tidak akan rugi saat dirinya mendekati Steve, pewaris dari perusahaan saingan keluarganya, dengan menawarkan sebuah kesepakatan yang sangat mungkin tidak akan ditolak oleh Steve. Sebuah pernikahan yang mendatangkan keuntungan bersama, baik bagi perusahaan maupun secara pribadi untuk Karina dan Steve. Keduanya adalah seseorang yang sangat serius dan profesional tentang pekerjaan dan kesepakatan, ditambah keduanya tidak memiliki perasaan apa pun satu sama lain yang dapat mempengaruhi urusan percintaan masing-masing. Jadi, semuanya pasti akan berjalan dengan lancar, kan? * * Cerita ini hanyalah karangan fiksi. Baik karakter, alur, dan nama-nama di dalam tidak ada sangkut paut dengan dunia nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Theodora A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 34
•
Ketika Karina melangkahkan kakinya keluar dari pintu balkon, keadaan di luar masih lembab karena badai yang terjadi semalam. Meja dan kursi-kursi balkon masih memiliki tetesan air hujan yang menempel di atasnya. Pagar balkon yang terbuat dari semen yang dipoles masih dilapisi dengan kilau air. Hujan meninggalkan jejak pada segala sesuatu yang bisa disentuhnya, dan bekas airnya seperti noda yang hanya akan hilang seiring berjalannya waktu. Segala sesuatu yang ia lihat di balkon membuat Karina berpikir mungkin itu juga yang ia butuhkan saat ini. Yang ia butuhkan adalah waktu.
Menghela nafas pelan, Karina mengedarkan pandangannya. Halaman depan yang terlihat dari balkon tampak lebih hijau dari yang Karina ingat. Semak dedaunan yang mengelilingi halaman bagaikan pagar tampak lebih rimbun, semak-semak bunga mawar yang berjejer juga tampak lebih tinggi dari yang ia ingat. Udara dipenuhi dengan aroma embun pagi yang segar, membawa kesejukan yang pas di dalam setiap hembusan anginnya, mengalun lembut saat melewati telinga Karina.
Sekilas ia melihat dua sosok wanita yang tidak asing di dekat air mancur di halaman, duduk mengobrol sambil menikmati secangkir teh hangat yang dibawakan oleh pelayan. Tentu saja, ibu mereka adalah tipe yang selalu bangun cepat untuk menikmati suasana pagi di taman. Seiring dirinya yang beranjak dewasa, Karina ingat ia menjadi lebih sering melihat ibunya di taman depan rumah saat dirinya keluar untuk pergi ke kantor daripada melihatnya di dalam rumah. Kenangan itu membawa rasa nostalgia yang menangkan di hatinya.
Karina kembali menghela nafas, menyandarkkan bagian depan tubuhnya pada pagar meskipun kelembapan yang ada di sana terasa menempel pada pakaiannya. Badai petir di malam hari memang sangat buruk dan menakutkan, tapi Karina harus mengakui bahwa bau hujan yang tercium di pagi hari setelah itu terasa sangat menenangkan.
Karina berdiri dengan satu tangan yang menopang dagunya. Ia menghembuskan nafas dan melihat udara yang mengepul menjadi kabut kecil di depan wajahnya. Masuk akal jika pagi hari terasa lebih dingin di sebuah pulau seperti ini, karena letaknya yang sangat dekat dengan perairan.
Namun, Karina menyambut dinginnya udara pagi ini, berdiri dengan hanya mengenakan dua lapis pakaian, sementara kedua ibunya tampak mengenakan sweater wol dan turtleneck. Mungkin udara yang sejuk seperti ini dapat membantunya menjernihkan pikirannya. Hal ini pernah berhasil sebelumnya, saat dirinya berada di pantai malam itu.
Mata Karina menerawang ke kejauhan, dan kata-kata Steve saat mereka berada di mini-bar semalam melintas begitu saja di benaknya.
Jika kamu terus memendamnya, itu hanya akan membuatmu semakin menderita. Sebaiknya keluarkan saja semuanya selagi masih bisa.
Dengan pemikiran akan ucapan Steve itu, Karina pun memejamkan matanya, kini menopang pipinya dengan dua tangan di sisi kiri dan kanannya. Ia membiarkan angin pagi melayang-layangkan kekhawatirannya, dan perlahan ia mengunjungi kembali ingatan perih yang selama ini berusaha ia simpan di balik gerbang yang tertutup rapat di dalam hatinya, membiarkan dirinya sekali lagi memasuki ingatan yang sangat menyiksa itu.
Karina menghembuskan nafas yang tanpa sadar sudah ia tahan sedari tadi. Bayangan tatapan Felix yang penuh dengan kekecewaan kembali melayang-layang di benaknya. Ucapan-ucapan Steve juga ikut melayang-layang di sana, membuat Karina mendengus pelan, tidak menyangka bahwa ucapan dari seseorang yang tampaknya tidak memiliki perasaan seperti Steve ternyata kini terasa begitu benar. Mungkin Steve benar-benar tahu satu atau dua hal tentang cinta, kini Karina harus mengakuinya.
Kemudian, seperti serangkaian gulungan film, bayangan akan video call nya dengan Felix malam itu pun kembali terputar di kepalanya. Dimulai dengan konfrontasi yang Felix utarakan, lalu sorot terluka di matanya yang membuat rasa malu dan marah manyala-nyala di dada Karina malam itu. Setelah itu, nada suaranya yang penuh dengan penderitaan dan kekecewaan, terdengar begitu hancur. Dan yang dirinya lakukan saat itu adalah membantah dengan penuh kemarahan.
Bahkan ketika dirinya memang melakukan sebuah kesalahan, Felix tetap mencoba meyakinkannya, mengatakan bahwa dia tidak pernah meragukan atau tidak mempercayainya. Dan betapa bodoh dirinya yang tidak pernah melihat apa yang ia miliki sampai ia menghancurkannya dengan tangannya sendiri. Betapa egois dirinya malam itu.
Karina menahan isak tangis yang mulai terbentuk di tenggorokannya. Perasaan malu dan bersalah membanjiri dirinya saat ia mencoba untuk melihat semua yang terjadi dalam enam bulan terakhir ini dari sudut pandang Felix.
Apakah kamu tahu bagaimana rasanya menghadiri pernikahan kekasihmu sendiri?
Karina ingat dirinya merasa semuanya sangat tidak adil ketika Felix menanyakan pertanyaan itu, karena Karina tahu betul bagaimana rasanya... karena ia juga menghadiri acara pertunangan Felix dengan Roseane. Tapi Karina sadar, kedua situasi ini sangat berbeda. Pertuangan Felix dan pernikahannya dengan Steve adalah dua hal yang sangat berbeda. Pertuangan Felix ada sesuatu yang tidak bisa dia hindari, Felix tidak punya pilihan lain selain melakukannya. Namun pernikahannya ini adalah sesuatu yang dirinya sendiri rencanakan.
Karina kembali teringat hari ketika ia mendatangi Felix dengan rencananya ini, dan ia masih ingat dengan jelas ekspresi terkejut yang tergambar di wajah Felix saat itu, menatap dirinya seolah-oleh ia telah kehilangan akal sehatnya.
Namun tatapan itu kemudian berganti menjadi senyum yang lembut ketika dirinya terus berusaha menjelaskan tujuannya pada Felix, hingga akhirnya pria itu mengangguk pelan, menyetujuinya, sambil mengelus kepala Karina pelan. "Baiklah, sayang. Apapun yang kamu rencanakan, aku setuju. Selama itu yang terbaik untuk kita, aku akan percaya pada keputusanmu."
Karina mengingat bagaimana Felix mendengarkan rencananya tanpa banyak mengutarakan ketidaksukaan. Dan Karina ingat kelegaan yang ia rasakan ketika Felix menyetujuinya tanpa mengajukan banyak keberatan seperti yang ia bayangkan, menghilangkan semua kekhawatiran yang Karina rasakan dengan mengatakan, "Selama kita masih bisa bersama, aku akan menerima apa pun itu."
Karina mengingat kepercayaan dan keyakinan yang selalu Felix berikan pada dirinya, tidak pernah meragukannya, tidak peduli bagaimana tidak masuk akalnya rencana yang ia utarakan. Dan kini Karina menyadarinya, itu adalah bentuk cinta. Itu cara Felix mencintainya.
Lalu bagaimana ia mencintai Felix?
Karina berhenti sejenak saat ia mencoba mengingat kembali semuanya, bagaimana rasanya dari sudut pandang Felix, bagaimana rasanya ketika kekasih yang sudah dia kencani selama tiga tahun lebih tiba-tiba mengatakan bahwa ia akan menikah dengan orang lain demi hubungan mereka. Betapa semua itu terdengar tidak masuk akal.
Karina ingat segimana menggebu-gebu dirinya ketika dengan semangat menjelaskan semuanya pada Felix dan meminta persetujuannya, bagaimana dirinya sangat bersemangat karena mengira ia baru saja menemukan rencana yang paling jenius di muka bumi ini.
Ketika ia pikirkan baik-baik, semua ini memang hanya menguntungkan untuk dirinya saja, tidak untuk Felix.
Dan kini Karina sadar, Felix mungkin tidak memiliki pilihan lain saat itu kecuali menyetujuinya, hanya karena Felix memiliki hati yang lembut dan tidak ingin membuat Karina kecewa jika dia tidak menyetujui rencananya, walaupun dia mungkin harus mengorbankan perasaannya sendiri. Dan kini Karina sadar, pernikahan yang ia lakukan ini benar-benar berbeda dan tidak sebanding dengan pertuangan Felix.
Kini Karina sadar, jalan yang mereka pilih.... lebih tepatnya yang ia pilihkan untuk mereka, sejak awal hanya mendatangkan penderitaan bagi Felix. Dan butuh waktu selama ini bagi Karina untuk menyadarinya. Kini ia sadar Felix berhak merasa marah dan kecewa padanya, karena jika ia berada pada posisi Felix, Karina mungkin akan bereaksi dengan cara yang lebih parah.
Karina menghela nafas yang bergetar sambil mengusap-usap wajahnya dengan gusar. Kini ia merasa tidak pantas untuk bersedih ketika apa yang dirasakan oleh Felix pastinya lebih buruk.
Mana yang lebih kamu sukai? Felix, atau jabatanmu sebagai wakil direktur di perusahaan?
Pertanyaan dari Steve sekali lagi terngiang di kepalanya. Karina ingat dirinya menjawab pertanyaan dari Steve itu dengan jelas dan percaya diri.
Tentu saja aku memilih Felix. Aku tidak seburuk itu.
Lalu datanglah pertanyaan yang paling menghantui pikirannya.
Kalau begitu, apa yang sudah kamu lakukan sejauh ini untuknya?
Karina menghela nafas berat. Selama ini ia pikir dirinya pintar. Baru sekarang ia menyadari bahwa dirinya sangat bodoh.
•
•