🌹Alan Praja Diwangsa & Inanti Faradiya🌹
Ini hanya sepenggal cerita tentang gadis miskin yang diperkosa seorang pengusaha kaya, menjadi istrinya namun tidak dianggap. Bahkan, anaknya yang ada dalam kandungannya tidak diinginkan.
Inanti tersiksa dengan sikap Alan, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain berdoa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Red Lily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makian
🌹VOTE🌹
Rumah sepi, Bi Idah pulang, begitupun dengan Mang Asep. Inanti mengambil visin, dengan uang koin juga minyak urut untuk mengerok punggung Alan. Itu yang dia inginkan.
Jam sudah menunjukan pukul 8 malam. sehabis isya, Inanti tidur sebentar sebelum siap siap melakukan apa yang diinginkan sang suami.
Tapi sepertinya Alan tertidur, napasnya pun sudah tenang saat Inanti dekati.
Kasihan dengan selimut yang ditendang sampai ke bawah, Inanti mengambilnya dan menyelimuti.
"Kamu mau kerokin saya pake selimut?"
"Kakak ga tidur?"
Tanpa menjawab, kakinya menendang selimut. Alan duduk dan membuka bajunya sebelum tengkurap. "Kerokin."
"Iya," ucap Inanti naik ke atas ranjang. Emang benar dugaannya, kasurnya empuk sekali, hangat lagi, mana diluar sedang hujan deras diiringi halilintar yang besar besar. Enak sekali tidur di kasur empuk.
Pikiran Inanti melayang, tapi tangannya melakukan pekerjaan. Punggung Alan lebar, otot-otot di tempat seharusnya terlihat jelas dan sungguh menggairahkan. 18 tahun Inanti hidup baru sekarang sering melihat tubuh seorang pria.
"Yang kuat, Nan."
Jantung Inanti berdetak kencang, itu pertama kalinya Alan menyebut namanya..
"Diteken, jangan gitu."
"Gini?"
"Agak ke bawah, pinggirnya yang kuat."
"Merah, Kak."
"Atasnya lagi."
"Iya."
Alanmengerang, seolah menahan rasa sakit. "Sakit, Kak?"
"Terusin, kaya tadi."
"Kakak sakit?"
"Saya bilang terusin."
Suaranya kembali penuh penekanan, membuat Inanti cemberut. Tangan Inanti terus mengerok punggungnya, cokelat dan liat.
'Ya Allah, pertahankanlah diriku, kok Inanti jadi nafsu gini ya? Jangan, Inanti, jangan mikirin hal itu. Inget, dulu kamu nangis pas Alan boboin kamu, masa sekarang mau aja karena liat punggungnya yang liat?
Inget, Inanti, kan rasanya sakit, kamu aja nyampe sulit jalan. Jangan, plis, pikiran itu jangan ada. Ishtigfar, ishtigfar, tenang dan tenang. Mana Alan bibirnya ga bisa diem lagi, duh mana dia ganteng lagi, ma- YA ALLAH!'
"Kak?"
mati lampu mendadak.
"Kak Alan?"
Mana hujan makin deras, angin kencang bersama petir terdengar jelas. Alan sudah terlelap.
"Kak Alan? Inan tidur di sini ya?"
Tidak adanya jawaban, membuat Inanti terpaksa mengandalkan cahaya kilat dari luar sana. Inanti melangkah, mengikuti dinding sampai akhirnya berhenti di sofa panjang dekat pintu penghubung balkon.
Inanti takut, dia berbalik arah. Dia takut jatuh dan sesuatu terjadi pada bayinya.
"Kak Alan, anterin Inan ke bawah. Inan takut, ga ada cahaya, takut jatuh."
Dia tetap tidur bersama dengkuran.
Inanti berbisik di telinga Alan. "Inan kalau tidur di sofa dingin, ikut tidur di sini ya, Inan bakalan jaga jarak kok."
Kata Inanti sebelum memberanikan diri mendiami sisi yang dingin, yang belum pernah tersentuh wanita yang tertidur di sana. Mungkin saja.
🌹🌹🌹
Alan sangat membenci istrinya, saat Inanti terbangun pun, dia sudah berpindah tidur menjadi ke sofa. Waktu sudah menunjukan pukul lima pagi, yang berarti Alan sudah di sana sebelumnya.
Inanti tahu diri, Inanti keluar dari kamar setelah menyelimutinya. Untungnya suhu tubuhnya sudah normal. Lagi-lagi, air mata Inanti kembali menetes. Entah mengapa semakin hari Inanti semakin sensitive. Alan tidak menginginkannya, dia benar-benar jijik padanya.
"Hallo? Assalamualaikum?"
'Bu, ini saya Bi Idah.'
"Iya, Bi, kenapa?"
'Maaf, Bu, saya tidak bisa bekerja. Orangtua saya di kampung meninggal da--' Suara Bi Idah terhenti, yang Inanti yakini itu adalah suara tangisan.
"Inallilahi, iya, Bi, tidak apa-apa. Bibi yang ikhlas ya."
'Iya, Bu. Saya tutup telponnya ya, ini mau naik bus. Assalamualikum.'
"Waalaikumsalam."
Berarti, hari ini tugas Inanti memasak dan beres-beres. Tapi dia ragu, Alan pernh bilang Inanti tidak boleh keluar dari kamar dan melarang memasuki area lain.
Karenanya, Inanti tidak masak. Lebih baik sholat lalu mengaji beberapa juz nyampe matahari terbit.
"Inanti?!"
"Inanti!"
"Iya, Kak?" Inanti buru-buru keluar. "Kenapa, Kak?"
Alan sudah rapi, padahal ini baru jam 6 pagi. "Kakak kok udah siap? Mau ke mana?"
"Mana sarapan saya?"
"Sarapan? Kakak mau Inan masak?"
Wajah tampan Alan menatap istrinya datar, seolah ingin memakannya bulat-bulat. Inanti tahu maknanya. "Kakak yang bilang, Inan gak boleh sentuh dapur, Inan gak boleh masak."
Inanti menunduk, tapi telinga Inanti dengan jelas mendengar dia terkekeh hambar, lalu mengatakan satu kata yang menyakitkan, "*****."
🌹🌹🌹
Tbc