Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.
Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?
Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Andi Tinggalkan Medan
Seperti tahun lalu, kepindahan Dion sore itu juga mendapat bantuan dari Hendrik dan Andi. Perpindahan tak mendapat perhatian dari para penghuni indekos karena saat itu sedang libur semester. Hanya Anto, sang penjaga yang sedih melepas Dion usai membantu mengunggah barang-barang ke atas mobil pikap.
“Wah, kamar ini mewah. Yang hilang hanyalah tempat nongkrong untuk menyanyi sambil minum-minum,” ujar Hendrik. Ketiganya berbincang di depan kamar Dion sambil memandangi keadaan sekitar sambil menikmati minuman kaleng.
“Ah, itu bisa dilakukan di bawah pohon sana. Lagipula jarak dengan rumah utama cukup jauh tapi tidak tahu kalau penghuni di bawah keberatan,” usul Andi sambil menunjuk ke arah pohon yang berada di samping paviliun.
“Yang di bawah itu digunakan sebagai kantor, malam ditutup. Aku satu-satunya penghuni di sini” timpal Dion.
“Suatu waktu kita bertiga nongkrong di situ, ya!” cetus Hendrik memandangi pekarangan luas dan dua pohon rambutan rindang di samping kamar Dion.
“Oh iya. Aku ingin mengatakan sesuatu,” Andi menyela ajakan Hendrik.
“Ada apa, Bro?” tanya Hendrik dan Dion hampir bersamaan.
“Aku sudah diterima bekerja, jadi tidak bisa nongkrong lagi,” ujar Andi.
Dion merasa senang akhirnya Andi mendapatkan pekerjaan setelah empat tahun lalu terkena PHK, meskipun ia tak bisa disebut pengangguran karena Andi bekerja di toko buku ayahnya. “Selamat, Ndi! Soal nongkrong itu gampang, kapan-kapan saja kalau ada waktu luang.”
“Masalahnya aku tidak diterima bekerja di sini tapi di kapal pesiar. Kontraknya tiga tahun,” sahut Andi lirih.
“Malah lebih bagus, Bro. Pasti gajinya besar. Sekali lagi, selamat!” Dion menepuk pundak Andi dengan gembira.
“Bagaimana dengan Nita? Apa ia setuju?” tanya Hendrik.
“Mulanya sih tidak, tapi dengan berat hati akhirnya ia setuju karena aku berjanji akan menikahinya bila kontrak berakhir.”
“Memang bukan keputusan mudah, tapi aku harus bekerja di sana. Tahun depan Tria akan kuliah, beban orang tuaku akan semakin berat. Lagipula aku ingin menabung dulu sebelum menikah.”
Dion mendukung keputusan sahabatnya itu. “Itu adalah keputusan yang tepat. Tiga tahun itu tak terlalu lama, kok. Aku juga yakin Nita akan menunggumu dengan setia.”
“Kapan berangkat, Bro?” tanya Hendrik.
“Minggu depan. Kapal pesiar itu akan sandar di Belawan dan kami rekrutan baru akan bergabung dengan mereka di sana,” jawab Andi.
“Wah, hilanglah satu teman,” ujar Hendrik sedih.
“Jangan begitu dong, Bro. Nanti langkah Andi jadi berat. Lagipula kan cuma tiga tahun, itu tak lama. Malah kita akan merayakan pesta pernikahan ketika ia kembali,” timpal Dion.
Sebenarnya kata-kata itu ia tujukan pada dirinya sendiri juga. Ia merasa berat melepas sahabat yang telah ia anggap seperti saudara sendiri. Begitupun, ia sangat mendukung Andi yang ingin membantu meringankan beban orang tua dan mempersiapkan masa depannya.
...***...
Sudah hampir jam sepuluh ketika Dion selesai membersihkan tubuh di kamar baru.
Sehabis Magrib tadi, Andi meninggalkannya karena akan menghabiskan malam minggu bersama Nita. Sehabis makan malam, Hendrik juga pamit karena harus menjaga warung internet.
Dion yang merasa segar karena guyuran air hangat sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk dan keluar dari kamar mandi. Ia sempat merasa heran ketika mendengar suara televisi. Dion melemparkan pandangan ke tengah kamar dan mendapati Melati tengah sibuk menyusun buku ke floating shelves.
“Raknya tak akan cukup menampung semua buku. Pilih yang Kakak suka saja,” ujar Dion.
“Bagaimana dengan yang Dion suka?” Melati balik bertanya.
“Aku suka semuanya. Nanti yang dibutuhkan aku ambil dan letakkan di meja saja.”
“Kak, nggak capek?” tanya Dion setelah beberapa saat karena Melati terus saja sibuk dengan buku-buku yang masih tersimpan di dalam dus.
“Baru juga dimulai,” sahut Melati.
“Kakak suka di sini?”
“Suka. Ini lebih baik dari yang Dion jelaskan. Tapi Kakak merasa aneh karena merasa sangat familier dengan tempat ini.”
“Familier bagaimana maksudnya?”
“Entahlah. Sepertinya sudah pernah tinggal di sini. Atau mungkin di kamar dengan penataan dan desain yang sama.”
“Aku tak akan heran karena mereka meniru desain hotel. Aku kan pernah kerja di perhotelan.”
“Mungkin juga,” timpal Melati singkat.
“Kak, aku mau jalan-jalan dengan Kak Melati,” Dion mencari perhatian.
“Baru juga sehari, sudah bosan. Menyesal pindah ke sini?” tanya Melati.
“Nggak. Bosan lihat Kakak malah sibuk dengan buku-buku,” sahut Dion.
Untuk sesaat Melati menghentikan kegiatannya dan menatap ke arah Dion. Melati tahu Dion tak hanya sering sekali bersikap manja, tapi juga kekanakan kepadanya.
“Jalan-jalannya besok saja. Tuh beresin baju atau yang lainnya saja. Atau pikirkan untuk mengganti posisi televisinya.”
“Ada apa dengan televisinya, Kak?”
“Posisinya bikin tidak nyaman soalnya mengarah ke tempat tidur.”
“Bukannya malah enak nonton sambil tiduran?”
“Iya. Tapi masak aku nonton di tempat tidur juga?”
“Hmm… Kan tidak apa-apa, toh?” goda Dion. Sebenarnya ia sudah paham maksud wanita itu, tapi sikap manjanya selalu muncul bila berhadapan dengan Melati.
“Enak saja. Nggak mau. Pokoknya Dion ganti posisinya,” sanggah Melati.
Dion lalu menggeser tempat tidur ke kiri memberi ruang lebih banyak di sebelah kanan dan meletakkan televisi di kiri dipasangkan dengan kursi dan meja kopi.
“Kak Mel, aku ingin makan bakso,” ajak Dion usai memindahkan pesawat televisi pada Melati yang mulai membuka kotak berisi pakaian untuk dipindahkan ke dalam lemari.
“Kakak mau beresin pakaian dulu,” sahut Melati.
“Nanti kan bisa. Lapar nih. Kakak tak mau? Kalau tidak malam ini, berarti seminggu lagi lho baru punya waktu ajakin makan bakso,” ujar Dion.
...***...
Hari masih gelap ketika Dion tiba di rumah Andi. Dion tiba dengan mobil MPV rental agar bisa memuat seluruh anggota keluarga sahabatnya itu untuk mengantar Andi yang akan bekerja di kapal pesiar.
“Sugeng enjing, Pakdhe!” sapa Dion pada Pakdhe Sugeng yang membukakan pagar.
“Sugeng enjing, Le. Lho, Hendrik neng endi?” tanya ayah Andi ketika mendapati Dion datang sendirian.
“Pasti ketiduran. Mungkin sedikit lagi dia akan ke sini,” ujar Dion sambil menenteng dua kantung plastik memasuki rumah Andi.
Andi dibantu ibunya sedang memeriksa barang-barang yang akan ia bawa. Ia tersenyum lebar melihat Dion muncul di pintu. “Bawa apa, Bro?” tanya Andi melihat sahabatnya itu menenteng dua plastik besar.
Dion lalu menyerahkan kedua kantung itu pada Andi. “Aku tak punya apa-apa. Cuma bisa kasih ini untuk kau pakai sehari-hari.”
“Itu jaket. Sebentar lagi Eropa akan memasuki musim dingin jadi musti punya banyak persediaan pakaian tebal,” jelas Dion.
Andi merasa senang dengan perhatian Dion. Segera saja ia membuka bungkusan dan mencobai jaket hoodie pemberian Dion. “Ukurannya pas, keren lagi. Terima kasih, Bro! Trus satu lagi apa?”
Dion menyerahkan kotak yang masih tersimpan di dalam plastik kepada Andi. “Itu cuma sepatu kanvas dengan sol karet, supaya tidak licin di atas kapal.”
“Nak jangan kasih banyak-banyak. Uangnya ditabung saja,” kata Budhe pada Dion.
Dion tersenyum menyahut Budhe Sugeng. “Memang pun ditabung untuk hal seperti ini, Budhe. Tapi kalau sudah enak dan nyaman bekerjanya, jangan lupakan kami yang kau tinggalkan.”
“Pasti tidak akan lupa, Bro. Aku pasti kembali.”
“Iya. Kembalilah dengan membawa uang yang banyak dan lamar Nita, jangan biarkan ia menunggu lama,” Dion berkelakar membuat Andi dan ibunya tertawa.
Baru saja nama Nita disebut, kekasih Andi itu pun tiba di rumah Andi dengan diantar oleh adik lelakinya, disusul Hendrik beberapa menit kemudian.
Setelah sarapan bersama, mereka lalu berangkat menuju kantor perwakilan yang merekrut Andi. Di sana, mereka masih menunggu satu jam lebih sebelum berangkat menuju tujuan berikutnya, pelabuhan.
Pagi itu, Terminal Penumpang Bandar Deli Belawan sedikit lengang karena tidak ada jadwal pelayaran utama. Dion dan keluarga Andi serta Hendri dan Nita tampak kagum dengan kapal pesiar berukuran raksasa dan megah berwarna putih yang bersandar.
“Selamat jalan, Bro! Hati-hati dan selalu ingat berdoa,” Dion berinisiatif terlebih dahulu memberi ucapan selamat jalan pada sahabatnya itu karena ingin memberi waktu lebih banyak pada Nita dan keluarga Andi.
“Titip Surya dan Tria! Terlebih Surya, aku takut ia salah bergaul dan menelantarkan kuliahnya,” ujar Andi pada Dion sebelum memberinya pelukan singkat. Dion membalas pelukan itu sambil menyelipkan amplop putih ke saku celana Andi tanpa diketahui oleh sahabatnya itu.
Tindakan Andi diikuti oleh Hendrik dan Nita.
Dion dan Hendrik menolehkan pandangannya ke arah lain karena tak ingin membuat Nita dan Andi merasa canggung ketika berpamitan.
Dengan mata berkaca-kaca, Nita kemudian berjalan ke samping Dion untuk memberikan Andi kesempatan berpamitan pada keluarganya.
“Sudah delapan tahun sejak pertama kali kita berkenalan. Rasanya seperti kemarin saja. Tiga tahun itu tak akan lama,” hibur Dion sambil menyodorkan air mineral kepada Nita yang tak kuasa menahan air matanya. Nita menerima sodoran Dion sambil menganggukkan kepalanya.
“Hapuslah air matamu. Beri senyuman agar langkahnya tidak berat,” tambah Dion karena Nita tak juga berhenti menangis setelah beberapa saat.
Setelah kapal pesiar raksasa itu akhirnya melaut dan menjauh dari pelabuhan, Dion beserta enam orang yang mengantarkan Andi meninggalkan terminal penumpang.
Tidak banyak kata-kata yang terucap selama perjalanan pulang. Mereka masih diliputi rasa sedih melepas Andi. Hanya Tria yang sempat melontarkan beberapa kata.
“Tadi ada berapa uang di dalam amplop itu, Kang?” tanya Tria dari bangku tengah. Ia diapit oleh Bude Sugeng dan Nita.
“Amplop apa, Dik?” Dion balik bertanya sambil mengemudikan mobil.
“Halah. Tadi Tria lihat Kang Dion selipkan amplop ke saku Kang Andi. Tria mau juga dong.”
“Oh itu. Dik Tria mau juga amplop serupa?”
“He eh. Uangnya tak usah banyak-banyak, seratus ribu saja.”
“Tahu dari mana isinya uang? Kang Dion kan tak punya uang.”
“Lho kalau bukan uang, apa lagi dong?”
“Itu isinya surat makanya dikasih amplop. Suratnya berisi pesan supaya sering-sering menelepon ke rumah, rajin ibadah, jangan lupa makan, rajin bekerja. Dik Tria mau juga aku tulisin surat begitu?” tanya Dion.
“Ih… nggak deh,” sahut Tria menyerah membuat seisi mobil tertawa.
Dari rumah Andi, Dion berpamitan kepada Tria, Pakdhe dan Budhe Sugeng. Sementara Surya dan Hendrik sudah terlebih dahulu meninggalkan mereka. Hendrik membantu Surya membukakan toko di Titi Gantung sebelum keduanya pergi memancing, kegiatan yang belakangan sering mereka lakukan bersama.
Dion yang sudah berjanji mengantarkan Oppung Duma menghadiri pesta di Kota Tebing Tinggi berangkat bersama Nita yang harus bekerja pagi itu. Rumah Oppung dan restoran Nita bekerja memang berdekatan.
“Sabtu depan kan hari kemerdekaan. Nita bekerja atau sudah punya rencana?” tanya Dion pada Nita yang duduk di sampingnya.
“Nggak. Dion ada rencana?” tanya Nita.
“Bukan rencana sih. Aku ada ide kita ngumpul seharian di rumah Andi. Kita bikin pesta kecil-kecilan. Aku curiga Hendrik punya pacar baru, aku ingin paksa dia kenalin pacarnya,” ungkap Dion.
“Boleh. Tapi bukan cuma Hendrik yang perlu memperkenalkan pacar barunya. Dion juga,” balas Nita membuat Dion heran.
“Aku dan Andi pernah melihatmu bersama seorang wanita cantik makan siang di Mall,” tambah Nita.
“Sejujurnya aku tak yakin perempuan mana yang Nita lihat.”
“Ha? Dion punya banyak pacar sekarang?”
“Aih, aku tak punya pacar. Tapi belakangan aku ketambahan beberapa teman perempuan. Makanya aku tak tahu yang Nita dan Andi lihat ketika itu yang mana.”
“Pilih satu saja jadikan pacar. Jangan dipacarin semua,” Nita sewot.
“Nita nggak percaya deh. Benaran aku tak memacari siapapun. Tapi memang aku ingin memintai pendapatmu mengenai seseorang.”
“Oh, sekarang aku mengerti maksudmu. Setidaknya ada seseorang yang lebih istimewa dari beberapa teman tadi. Bawa saja ke restoranku, pura-pura makan siang gitu supaya aku bisa bantu menilai.”
“Kok malah diam,” tambah Nita lagi.
“Nothing. Sabtu, ya!” kata Dion.
“Baiklah,” sahut Nita.