Keira Anindya memiliki rencana hidup yang sempurna. Lulus kuliah, kerja, lalu menikah dengan pria dewasa yang matang dan berwibawa. Namun rencana itu hancur lebur saat ayahnya memaksanya menikah dengan anak rekan bisnisnya demi menyelamatkan perusahaan.
Masalahnya calon suaminya adalah Arkan Zayden. Pria seumuran yang kelakuannya minus, tengil, hobi tebar pesona, dan mulutnya setajam silet. Arkan adalah musuh bebuyutan Keira sejak SMA.
"Heh Singa Betina! Jangan geer ya. Gue nikahin lo cuma biar kartu kredit gue gak dibekukan Papa!"
"Siapa juga yang mau nikah sama Buaya Darat kayak lo!"
Pernikahan yang diawali dengan 'perang dunia' dan kontrak konyol. Namun bagaimana jika di balik sikap usil dan tengil Arkan, ternyata pria itu menyimpan rahasia manis? Akankah Keira luluh atau justru darah tingginya makin kumat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
Jam dinding digital di kamar tidur utama menunjukkan angka 02:15. Suasana sangat hening, hanya terdengar suara dengkuran halus dari AC dan napas berat Arkan yang sedang bergelut dengan demam tingginya.
Keira terbangun karena merasakan guncangan di kasur. Dia membuka matanya yang terasa berat karena kantuk. Di sebelahnya, Arkan sedang menggigil hebat. Tubuhnya meringkuk seperti udang, dan giginya bergemeretuk menahan dingin, padahal tubuhnya panas seperti bara api.
Keira langsung panik. Kantuknya hilang seketika. Dia menyentuh dahi Arkan. Panasnya belum turun juga, malah rasanya semakin tinggi dari tadi sore.
"Arkan. Arkan, bangun. Lo kenapa? Menggigil banget," panggil Keira sambil mengguncang bahu suaminya pelan.
Arkan membuka matanya sedikit, tetapi tatapannya kosong dan tidak fokus. Dia menatap Keira dengan pandangan nanar seolah tidak mengenali siapa wanita yang ada di depannya.
"Ra? Itu lo?" tanya Arkan dengan suara serak dan lemah.
"Iya ini gue. Lo kedinginan ya? Gue ambilin selimut tambahan ya," Keira hendak beranjak dari kasur untuk mengambil selimut tebal di lemari.
Namun tiba-tiba Arkan menahan tangan Keira dengan cengkeraman yang cukup kuat. Matanya membelalak horor menatap ke sudut ruangan yang gelap.
"Jangan pergi! Bahaya!" seru Arkan panik.
Keira ikut menoleh ke sudut ruangan dengan jantung berdegup kencang. Dia takut ada maling atau hantu. Namun dia tidak melihat apa-apa selain lemari pakaian dan lampu indikator TV yang berkedip merah kecil.
"Bahaya apa Arkan? Enggak ada apa-apa di sana," kata Keira berusaha menenangkan.
"Itu! Liat enggak? Ada monster matanya merah! Dia lagi ngintip kita dari tadi! Dia mau nyulik lo karena lo belum bayar cicilan panci!" racau Arkan ngawur.
Keira menghela napas panjang. Ternyata suaminya sedang mengigau karena demam tinggi. Antara kasihan dan ingin tertawa, Keira kembali duduk di tepi ranjang.
"Itu bukan monster, Arkan. Itu lampu TV. Lagian gue enggak punya cicilan panci. Gue belinya tunai," jelas Keira sabar layaknya menghadapi balita.
Arkan menggeleng keras kepala. Dia menarik tangan Keira hingga tubuh Keira jatuh ke pelukannya. Arkan memeluk Keira erat-erat seolah menjadikan tubuh mungil istrinya sebagai guling pelindung.
"Enggak percaya. Pokoknya lo jangan ke sana. Di sini aja. Monster itu takut sama orang ganteng. Jadi kalau lo nempel sama gue, lo aman," gumam Arkan sambil membenamkan wajahnya di leher Keira yang hangat.
Keira pasrah. Dia membiarkan dirinya dipeluk oleh suami yang sedang halusinasi itu. Tubuh Arkan benar-benar panas dan berkeringat dingin. Keira bisa mencium aroma keringat bercampur minyak telon yang tadi sore dia balurkan ke tubuh Arkan.
"Iya, iya. Gue di sini. Gue enggak ke mana-mana. Sekarang lo tidur lagi ya. Biar monsternya pergi," bujuk Keira sambil mengusap punggung Arkan yang basah.
Arkan tidak menjawab, tetapi pelukannya semakin erat. Napas panasnya menyapu kulit leher Keira, membuat gadis itu merinding.
"Ra," panggil Arkan pelan setelah beberapa saat hening.
"Apa lagi? Ada monster lagi?"
"Lo wangi. Wangi kayak bubur ayam," gumam Arkan tidak jelas.
Keira mendengus. "Pujian macam apa itu. Wangi bubur ayam."
"Enak. Bikin laper. Gue sayang sama bubur ayam," lanjut Arkan makin ngelantur. "Eh maksud gue, gue sayang sama lo. Jangan pergi ya. Nanti siapa yang marahin gue kalau gue nakal."
Jantung Keira mencelos. Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Arkan yang sedang tidak sadar. Keira terdiam, mencoba mencerna apakah itu ungkapan hati yang jujur atau sekadar efek obat penurun panas yang bereaksi aneh di otak Arkan.
"Gue enggak akan pergi, Arkan. Gue bakal marahin lo terus sampai lo bosen," bisik Keira lembut.
Arkan tersenyum dalam tidurnya. Senyum yang sangat damai. Perlahan, napasnya mulai teratur. Menggigilnya berkurang karena panas tubuh Keira yang dia peluk menyalurkan kehangatan.
Keira tidak berani bergerak sedikit pun. Dia takut membangunkan Arkan dan memicu drama monster jilid dua. Akhirnya, Keira ikut tertidur dalam posisi itu. Berpelukan dengan suami yang menganggapnya bubur ayam dan lampu TV sebagai monster penagih utang.
Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui celah gorden, menimpa wajah Arkan. Pria itu mengerjapkan matanya, merasa silau. Kepalanya masih terasa berat, tetapi rasa pusing yang berputar-putar kemarin sudah hilang. Badannya terasa lengket dan tidak nyaman.
Arkan mencoba bergerak, tetapi dia merasa ada beban berat di lengan kanannya. Dia menoleh dan mendapati pemandangan yang membuat jantungnya berdebar kencang.
Keira tidur pulas di lengannya. Wajahnya sangat dekat, hidungnya menempel di dada Arkan. Tangan Keira memeluk pinggang Arkan posesif. Rambut panjangnya berantakan menutupi sebagian wajah, tetapi tetap terlihat cantik.
Arkan tersenyum lebar. Ingatan semalam samar-samar kembali. Dia ingat dia merasa kedinginan luar biasa, lalu ada 'benda' hangat dan empuk yang memeluknya. Ternyata benda itu adalah istrinya sendiri.
"Cantik juga kalau lagi mode diam begini. Coba kalau melek, langsung berubah jadi singa," gumam Arkan pelan.
Dia mengangkat tangannya yang bebas, hendak menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Keira. Namun gerakannya terhenti saat melihat mata Keira bergerak-gerak.
Keira membuka matanya perlahan. Dia mendapati dirinya sedang memeluk Arkan erat-erat. Dan Arkan sedang menatapnya dengan senyum jahil yang sangat menyebalkan.
Sadar akan posisinya, Keira langsung melepaskan pelukannya dan berguling menjauh sampai ke tepi kasur.
"Lo! Ngapain lo peluk-peluk gue!" tuduh Keira panik, padahal jelas-jelas dia yang memeluk.
Arkan tertawa renyah. Suaranya sudah tidak terlalu serak, tanda radangnya membaik.
"Dih, amnesia. Jelas-jelas lo yang nempel kayak perangko. Tangan gue sampai kesemutan nih jadi bantal lo," Arkan mengibas-ngibaskan tangannya yang mati rasa.
Keira duduk dan merapikan rambutnya yang seperti sarang burung. Wajahnya memerah mengingat kejadian semalam.
"Itu karena lo yang maksa! Semalam lo mengigau parah. Lo bilang ada monster matanya merah mau nyulik gue gara-gara panci. Terus lo narik gue dan enggak bolehin gue pergi," bela Keira berapi-api.
Arkan menaikkan alisnya. "Masa sih? Gue enggak inget soal monster. Yang gue inget cuma gue bilang gue sayang sama lo. Itu gue ngigau juga enggak ya?"
Skakmat.
Wajah Keira semakin merah padam, menyaingi kepiting rebus saus padang. Dia ingat betul ucapan Arkan semalam.
"I-itu... itu pasti efek obat! Lo kan lagi teler! Orang teler omongannya enggak bisa dipercaya!" elak Keira gugup. Dia segera turun dari kasur dan pura-pura sibuk mencari sandal rumahnya.
"Gue mau mandi. Badan gue lengket semua. Lo juga mandi gih kalau udah kuat. Bau lo asem banget kayak cuka pempek," kata Keira mengalihkan topik lalu kabur ke kamar mandi.
Arkan tertawa puas melihat tingkah salah tingkah istrinya. Dia meregangkan otot-ototnya. Badannya memang masih lemas, tetapi demamnya sudah turun drastis. Sepertinya pelukan Keira semalam lebih ampuh daripada parasetamol dosis tinggi.
"Terima kasih Dokter Keira. Terapi pelukannya manjur," gumam Arkan senang.
Setengah jam kemudian, Arkan keluar dari kamar mandi dengan wajah segar. Dia sudah keramas dan mencukur brewok tipis yang tumbuh selama dia sakit. Dia mengenakan kaos putih polos dan celana pendek santai.
Dia turun ke dapur dan menemukan Keira sedang menuangkan bubur ke dalam mangkok.
"Pagi, Nyonya Zayden. Masak apa hari ini? Bubur hambar lagi?" tanya Arkan sambil duduk di meja makan.
Keira meletakkan mangkok di depan Arkan. "Masih bubur. Tapi kali ini gue kasih bonus."
Keira meletakkan botol kecap manis dan toples kerupuk di depan Arkan.
Mata Arkan berbinar. "Wah! Kecap! Kerupuk! Akhirnya gue bisa makan makanan manusia!"
Arkan langsung menuangkan kecap cukup banyak sampai buburnya berwarna cokelat pekat. Dia meremas kerupuk dan menaburkannya di atas bubur. Dia menyendok bubur itu dengan penuh kenikmatan.
"Enak banget. Sumpah. Bubur buatan lo emang juara, Ra. Apalagi kalau udah dikasih kecap," puji Arkan tulus.
Keira tersenyum tipis sambil meminum kopinya. Dia senang melihat Arkan sudah kembali lahap makan. Itu tandanya suaminya sudah sembuh.
"Lo hari ini mau ke kantor?" tanya Keira.
"Enggak dulu deh. Gue masih agak lemas. Lagian gue mau manfaatin jatah sakit gue buat manja-manjaan sama lo di rumah. Lo enggak ke kantor kan?" tanya Arkan penuh harap.
"Gue ambil cuti dua hari. Tadinya buat ngerawat lo. Tapi berhubung lo udah bisa makan kerupuk kayak kuli bangunan, kayaknya lo udah sembuh total," ledek Keira.
"Belum sembuh total, Ra. Tenaga gue baru pulih lima puluh persen. Sisanya butuh diisi ulang pakai kasih sayang istri," Arkan mengedipkan mata genit.
"Dasar modus. Giliran udah sembuh, tengilnya balik lagi," Keira melempar kerupuk utuh ke wajah Arkan.
Arkan menangkap kerupuk itu dengan mulutnya. Hap.
"Jago kan gue? Kayak lumba-lumba sirkus," pamer Arkan.
Mereka menghabiskan pagi itu dengan santai di rumah. Menonton film di Netflix, berdebat soal ending film yang menggantung, dan berebut camilan. Suasana rumah terasa hangat dan penuh tawa. Tidak ada lagi ketegangan, tidak ada lagi kecanggungan. Mereka benar-benar menikmati peran sebagai suami istri.
Namun, ketenangan itu tidak berlangsung selamanya. Menjelang siang, bel pintu berbunyi.
Arkan yang sedang tiduran di paha Keira sambil main gim di ponsel langsung bangkit.
"Siapa tuh? Jangan bilang Mama balik lagi karena ketinggalan panci," tebak Arkan.
"Coba cek di CCTV," kata Keira.
Arkan membuka aplikasi CCTV di ponselnya. Dia melihat ke layar. Di depan pagar berdiri seorang kurir paket dengan kotak yang cukup besar.
"Paket, Ra. Lo belanja lagi?" tanya Arkan.
"Enggak. Gue puasa belanja online minggu ini. Coba lo cek," suruh Keira.
Arkan berjalan ke depan dan membuka pintu. Dia menerima paket itu dan menandatangani resi. Kotaknya cukup berat dan dibungkus rapi dengan kertas kado bermotif bunga. Tidak ada nama pengirim di luarnya.
Arkan membawa masuk paket itu dengan perasaan curiga. Trauma paket sepatu bayi dari Clara dan teror masa lalu membuatnya waspada.
"Apa isinya?" tanya Keira penasaran.
"Enggak tau. Enggak ada namanya. Berat lumayan," Arkan meletakkan kotak itu di meja tamu.
"Buka gih. Siapa tau hadiah dari klien lo," kata Keira.
Arkan mengambil gunting dan membuka bungkus kado itu dengan hati-hati. Di dalamnya terdapat sebuah kotak kayu yang terlihat antik dan mahal. Arkan membuka tutup kotak kayu itu.
Isinya membuat dahi mereka berkerut.
Di dalam kotak itu terdapat sebuah set cangkir teh porselen yang sangat indah bermotif bunga mawar merah. Ada satu set lengkap: teko, cangkir, tatakan, dan sendok emas. Di tengah-tengah set cangkir itu, terselip sebuah kartu ucapan berwarna hitam elegan dengan tulisan tinta emas.
Keira mengambil kartu itu dan membacanya keras-keras.
"Selamat menempuh hidup baru, Arkan & Keira. Semoga pernikahan kalian seindah porselen ini. Tapi ingat, porselen seindah apa pun, sekali jatuh akan pecah berkeping-keping dan tidak bisa kembali utuh. Hati-hati menjaga apa yang kalian miliki. Salam dari masa lalu yang belum selesai."
Hening.
Arkan dan Keira saling pandang. Bulu kuduk mereka meremang.
"Ini bukan dari Clara. Clara udah di penjara. Dan Clara enggak punya selera seni setinggi ini buat kirim porselen antik," analisis Arkan cepat.
"Dan bukan dari Sasha. Sasha pasti kirimnya barang warna pink atau boneka," tambah Keira.
"Terus siapa?" tanya Arkan.
Keira menatap cangkir porselen itu. Indah, tapi pesannya sangat mengancam. "Pecah berkeping-keping".
"Arkan, lo punya mantan yang kolektor barang antik enggak? Atau mantan yang psikopat elegan?" tanya Keira serius.
Arkan berpikir keras. "Enggak ada. Mantan gue rata-rata normal. Paling cuma matre atau posesif. Enggak ada yang puitis serem gini."
Arkan mengambil salah satu cangkir itu. Di bagian bawah cangkir, dia melihat sebuah inisial kecil terukir halus.
V.A
"V.A? Siapa V.A?" gumam Arkan.
Keira ikut melihat. "V.A? Vina? Vira? Vanessa?"
Mata Arkan membelalak. Wajahnya yang tadi sudah segar kembali pucat pasi.
"Vanessa? Jangan bilang ... Vanessa Adhitama?" desis Arkan horor.
"Siapa itu Vanessa Adhitama?" tanya Keira menuntut.
Arkan menelan ludah. Dia menatap Keira dengan pandangan takut.
"Dia ... dia bukan mantan pacar gue, Ra. Dia mantan tunangan gue yang batal nikah tiga tahun lalu karena dia kabur ke Paris. Gue pikir dia enggak bakal balik lagi ke Indonesia."
Keira ternganga. Mantan tunangan? Arkan pernah bertunangan? Fakta baru ini menghantam Keira telak.
"Lo pernah tunangan? Dan lo enggak pernah cerita sama gue?" suara Keira meninggi satu oktaf.
"Gue lupa Ra! Sumpah gue lupa! Itu masa lalu kelam yang mau gue kubur! Gue kira dia udah nikah sama bule Prancis!" Arkan membela diri panik.
Keira menatap set cangkir itu dengan tatapan nyalang. Mantan pacar saja sudah bikin pusing. Sekarang muncul mantan tunangan yang levelnya pasti di atas mantan pacar. Dan pesannya jelas sekali. Dia ingin menghancurkan pernikahan mereka seperti porselen pecah.
"Oke. Mantan tunangan. Bagus. Koleksi lo lengkap banget ya Arkan. Dari yang halu hamil, yang manja pinky, sampai yang kabur ke Paris. Hidup lo kayak sinetron," sindir Keira pedas.
"Ra, jangan marah dulu. Kita hadapi bareng-bareng ya? Kita kan tim," bujuk Arkan memegang tangan Keira.
Keira menepis tangan Arkan pelan. "Gue butuh waktu buat mencerna ini. Dan gue butuh makan siang yang enak buat ngilangin stres. Lo yang masak. Gue mau nasi goreng spesial pakai telur dadar bentuk hati. Kalau bentuknya enggak hati, gue pecahin porselen ini di kepala lo."
Arkan menelan ludah. Tantangan diterima. Demi menyelamatkan rumah tangganya dari ancaman Vanessa, Arkan rela belajar mengukir telur dadar.
"Siap, Nyonya. Telur hati segera meluncur!" Arkan lari ke dapur.
Keira menatap kotak porselen itu sekali lagi. Dia mengambil kartu ucapan hitam itu dan meremasnya.
"V.A ... Vanessa Adhitama. Selamat datang di medan perang. Lo pikir gue takut sama porselen lo? Gue punya ulekan batu di dapur yang lebih keras," gumam Keira menyeringai. Perang babak baru telah dimulai.