Jae Hyun—seorang CEO dingin dan penuh perhitungan—menikahi Riin, seorang penulis baru yang kariernya baru saja dimulai. Awalnya, itu hanya pernikahan kontrak. Namun, tanpa disadari, mereka jatuh cinta.
Saat Jae Hyun dan Riin akhirnya ingin menjalani pernikahan mereka dengan sungguh-sungguh, masa lalu datang mengusik. Youn Jung, cinta pertama Jae Hyun, kembali setelah pertunangannya kandas. Dengan status pernikahan Jae Hyun yang belum diumumkan ke publik, Youn Jung berharap bisa mengisi kembali tempat di sisi pria itu.
Di saat Jae Hyun terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya, Riin mulai mempertanyakan posisinya dalam pernikahan ini. Dan ketika Seon Ho, pria yang selalu ada untuknya, mulai menunjukkan perhatian lebih, Riin dihadapkan pada pilihan: bertahan atau melepaskan.
Saat rahasia dan perasaan mulai terungkap, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang harus melepaskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Where the City Sleeps
Udara malam menyelimuti kota. Jalanan mulai sepi, hanya suara kendaraan yang sesekali melintas. Di antara keremangan itu, motor besar berwarna hitam matte berhenti di depan sebuah minimarket 24 jam yang masih terang benderang. Lampu neon toko berkedip-kedip samar, memberi kesan nostalgia.
Jae Hyun mematikan mesin motornya dan melepas helmnya perlahan, sementara angin malam membelai rambutnya yang sedikit berantakan karena perjalanan. Ia berbalik, lalu dengan lembut membantu Riin turun dari jok belakang. Tangannya sigap membuka pengait helm milik Riin, jemarinya berhenti sejenak di dagunya_hanya sekilas, tapi cukup membuat Riin membeku sesaat.
"Kenapa tempat ini rasanya seperti… tidak asing?" gumam Riin sambil melirik sekeliling. Matanya menelusuri dinding minimarket, papan promosi, bahkan bangku plastik di pinggir toko. "Aku merasa pernah_"
"Tempat ini punya sedikit kenangan bagiku," sela Jae Hyun pelan, suaranya dalam dan datar, tapi sarat makna. "Biasanya aku ke sini saat pekerjaan terasa terlalu berat. Hanya duduk, makan ramyeon instan, dan pura-pura jadi orang biasa. Lalu suatu hari, ada seorang gadis ceroboh yang duduk di sebelahku… dan dia menggangguku." Ia mengalihkan pandangan ke arah Riin, bibirnya menyunggingkan senyum samar. “Gadis yang sama yang juga pernah menumpahkan kopi di jas mahalku, di bandara.”
Mata Riin melebar, lalu menatapnya penuh tuduhan. “Hei! Jadi maksudmu gadis ceroboh itu aku?!” Ia memukul lengan Jae Hyun pelan, matanya menyipit kesal. “Kita bertemu lagi di minimarket ini setelah aku masuk kerja di perusahaanmu. Dan aku tidak mengganggu! Justru kau yang menyebalkan. Kau bahkan menyuruhku membuang sisa makananmu tanpa merasa bersalah.”
"Anggap saja itu pembalasan dariku. Karena ulahmu_kecerobohanmu, aku harus menghadapi klien penting dengan jas basah dan aroma kopi yang memalukan," ujar Jae Hyun, suaranya datar namun terkesan sinis, sementara sudut bibirnya terangkat membentuk senyum kecil yang penuh makna.
Riin menghela napas dramatis, menggulung lengan jaketnya dengan kesal. “Dan bodohnya, aku malah menikah denganmu.”
Jae Hyun mendekat sedikit, cukup dekat hingga napasnya menyentuh pipi Riin. “Dan aku cukup gila karena menyukai gadis ceroboh seperti dirimu.”
Perkataan itu membuat jantung Riin berdetak sedikit lebih kencang_bukan karena terkejut, tapi karena cara Jae Hyun mengatakannya. Tenang, dingin, dan jujur, tapi terasa seperti panah yang menusuk perlahan ke bagian dalam yang rapuh.
“Sudah. Jangan mengomel lagi. Aku lapar.” Jae Hyun meraih tangan Riin dan menggenggamnya, melangkah masuk ke dalam minimarket.
***
Minimarket itu terasa hangat dibandingkan luar, dengan aroma campuran antara deterjen murah dan kopi instan. Lampu-lampunya terlalu terang, menyilaukan, membuat semuanya tampak lebih nyata dari yang diinginkan.
Mereka memilih dua cup ramyeon, beberapa camilan asin, dan sebotol air mineral. Mereka duduk di bangku kecil di sisi minimarket, tepat di dekat jendela besar yang menghadap ke jalanan. "Kenapa jauh-jauh ke sini hanya untuk makan ramyeon instan?" sindir Riin dengan nada datar. "Apa masakan rumahan dari wanita tadi siang tidak cukup memuaskan seleramu?"
"Aku tidak memakannya." Jawaban Jae Hyun langsung, tanpa jeda.
Riin mengangkat wajahnya, sedikit bingung. “Kenapa?”
Jae Hyun menatap ramyeon-nya sejenak sebelum menjawab. Suaranya sedikit serak, seolah ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokannya. “Karena aku sudah punya istri yang bisa memasak lebih baik. Aku tidak ingin lidahku terbiasa dengan rasa lain. Dan…”_matanya kini beralih pada istrinya_“…karena aku tahu, istriku tidak suka aku menerima makanan dari wanita lain.”
Riin terdiam, bibirnya terbuka sedikit, tapi tak ada suara keluar.
"Kau tahu, istriku itu sangat galak. Tapi dibanding takut pada omelannya… aku lebih takut kehilangan dia," lanjut Jae Hyun. "Aku juga benci kalau dia mengabaikanku. Atau yang lebih buruk… jika dia membela orang lain di hadapanku.” Nada posesif dalam kalimatnya tak bisa disembunyikan, tapi juga tak bisa disalahkan. Jae Hyun bukan tipe yang bisa menjelaskan perasaan dengan gamblang, tapi setiap kalimatnya menyimpan lapisan demi lapisan emosi yang tak pernah benar-benar ia izinkan untuk keluar.
“Kalau kau begitu takut kehilangan istrimu…” Riin menatapnya. “...kenapa kau terus menyakiti perasaannya?”
“Aku tidak tahu cara lain,” kata Jae Hyun pelan. “Aku… hanya bisa menunjukkan lewat caraku sendiri. Dengan membuatnya cemburu. Dengan membuatnya marah. Karena saat dia marah… aku tahu dia masih peduli.”
Riin menunduk, suaranya melemah. “Lain kali… jangan lakukan sesuatu yang menyebalkan lagi hanya untuk membuktikan kau cemburu.”
Hening. Jae Hyun terdiam, menatap wajah Riin yang samar tertutup bayangan cahaya toko. Jemarinya menggenggam sumpit, lalu meletakkannya pelan di tangan Riin. "Makanlah." Ia juga menarik kursi Riin, menjauhkannya dari pria asing yang baru saja duduk di bangku sebelah. Gerakan kecil, tapi tegas. Ada kepemilikan di sana_posesif.
“Jae Hyun~a…” Riin nyaris kehilangan keseimbangan karena kursinya ditarik mendadak. Ia berpegangan pada lengan suaminya dan berdecak pelan. “Aku bukan anak kecil. Kau tidak perlu bersikap seperti itu setiap kali ada pria lain di dekatku.”
“Aku tidak suka istriku terlalu dekat dengan pria lain,” bisiknya. “Setelah ini… aku ingin kita jalan-jalan. Hanya berdua.”
***
Angin malam di tepian Sungai Han bertiup lembut. Jae Hyun berjalan pelan di sisi kanan, bahunya bersentuhan tipis dengan bahu Riin. Tangannya menyusup ke dalam saku jaketnya, menggenggam tangan istrinya yang mungil dengan erat namun lembut. Meski tampak tenang dari luar, pikirannya sibuk berputar-putar. Ada kegelisahan yang menggerogoti hatinya_tentang Riin, tentang Seon Ho, dan tentang dirinya sendiri yang sering gagal mengungkapkan apa yang ia rasakan.
Malam itu sepi. Hanya ada suara gesekan sepatu di aspal dan gemericik air yang terdengar dari kejauhan. Tak ada dialog selama beberapa menit, dan Riin-lah yang pertama kali memecahkan keheningan. “Kenapa memilih tempat ini?” tanyanya pelan, nada suaranya nyaris tenggelam oleh desir angin malam. Ia menoleh ke Jae Hyun, matanya menyipit karena silau oleh lampu jalan.
Jae Hyun menoleh sedikit, tidak sepenuhnya memandang. “Saat jenuh, aku selalu ke sini... setelah makan ramyeon di minimarket tadi,” katanya singkat, suaranya tenang tapi menyiratkan kepenatan.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Riin bertanya penuh rasa ingin tahu.
“Tidak ada,” jawabnya jujur. “Hanya… melangkah santai dan memperhatikan kegiatan orang lain. Seperti yang kita lakukan sekarang.”
Riin memutar bola matanya pelan. “Apa dengan begitu masalahmu selesai? Aku rasa tidak.”
Jae Hyun menoleh kali ini, tatapannya sedikit tajam namun melembut. "Tentu saja tidak. Tapi setidaknya, suasana seperti ini membuatku lebih tenang. Bisa berpikir jernih. Bisa... mencari cara agar tidak merusak semuanya dengan emosi."
Ada jeda. Angin bertiup lebih dingin sekarang, namun baik Jae Hyun maupun Riin, tidak ada yang ingin bicara. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar lebih nyaring. Riin kemudian mencibir, menggigit bibir menahan nyeri kecil di betisnya. “Jae Hyun~a… sebenarnya kita mau berjalan sejauh apa? Sampai kau mendapat solusi dari semua masalahmu yang lebih suka kabur daripada menghadapinya?”
Langkah Jae Hyun terhenti. Ia menoleh, pandangannya penuh penyesalan, seperti pria yang sadar telah membuat wanita yang paling ia cintai tersakiti_lagi. "Maaf. Kalau begitu, kita istirahat dulu." Ia menunjuk bangku kayu panjang yang menghadap ke sungai. Mereka duduk. Riin segera memijat kakinya sendiri, matanya sempat memejam, menahan pegal yang mulai menjalar.
Mereka duduk berdampingan. Suasana hening kembali menyelimuti, namun kali ini Jae Hyun-lah yang pada akhirnya bicara lebih dulu. “Menurutmu… apa yang harus aku lakukan? Apakah cemburuku memang berlebihan?”
Riin memijat betisnya yang pegal, matanya lurus menatap air sungai. "Tidak berlebihan. Hanya menyebalkan." jawab Riin jujur. Suaranya datar, tapi bukan marah. "Kau bisa bicara baik-baik. Bukan malah diam, menghilang, lalu pura-pura tidak peduli."
Jae Hyun memperhatikannya. Tanpa banyak kata, ia berjongkok di hadapan Riin, mengambil alih kaki mungil yang sedang dipijat sendiri oleh istrinya. Ia mulai memijat pelan. Gerakannya teliti dan hati-hati, seolah ia tahu persis letak otot yang tegang. Jarinya panjang, telaten, dan terasa seperti ucapan maaf dalam bentuk lain. Tatapan matanya serius, seakan pekerjaan itu jauh lebih penting daripada egonya sendiri. “Kalau aku tetap di sana… aku takut,” ujarnya lirih. “Takut kalau emosiku meledak. Ah Ri bilang… aku sangat mengerikan saat marah.”
Riin sempat terkejut_bukan karena pijatan itu, tetapi karena ia tahu betapa gengsi dan tertutupnya Jae Hyun. Tapi ia diam. Membiarkan Jae Hyun menebus kesalahannya dengan perbuatan kecil yang bermakna besar. Meski beberapa orang menatap mereka dengan pandangan heran, pria itu tetap di posisinya, tidak peduli pada dunia lain selain dirinya dan istrinya.
“Tapi tetap saja,” gumam Riin akhirnya. “Kalau kau benar-benar mencintaiku… seharusnya kau memperjuangkanku. Bukan malah membuatku kesal dan bertanya-tanya. Bagaimana kalau karena tidak tahan dengan sikapmu, aku... mulai jatuh cinta pada Seon Ho? Dia lebih perhatian darimu, tahu cara bicara dengan benar, tahu kapan aku butuh seseorang.”
Jae Hyun menegakkan tubuhnya cepat. “Hei, itu tidak boleh terjadi!” Nada paniknya terlalu jelas. Wajahnya menegang, rahangnya mengeras, dan matanya menyipit sedikit_pertanda bahwa pikirannya sedang dipenuhi berbagai kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.
Ia menggenggam tangan Riin, erat. Ada ketakutan nyata dalam matanya. Ketakutan yang langka bagi seorang pria seberani dan sepintar Jae Hyun. “Tunggu,” katanya sambil menatap dalam-dalam. “Apa kau… pernah tertarik pada Seon Ho?” nada suara Jae Hyun menegang, wajahnya mencoba membaca kebenaran dalam ekspresi Riin.
Riin menahan tawa. “Menurutmu?” Ia mengangkat alis, matanya menyipit jahil.
Ekspresi Jae Hyun berubah menjadi lebih cemas, dan tanpa sadar ia mencengkeram tangan Riin lebih erat. “Ck. Harusnya aku setuju saat kau bilang ingin berhenti bekerja. Dengan begitu kau tidak perlu bertemu dengannya lagi.” Suaranya mulai serak, dan kali ini lebih emosional dari biasanya. “Aku tidak akan pernah melepaskanmu untuk siapapun… kecuali aku mati.”
Jae Hyun terdiam. Kepalanya penuh bayangan yang tidak ingin ia bayangkan. Ia tahu Seon Ho pria baik. Terlalu baik, bahkan. Tahu waktu. Tahu sopan santun. Dan yang paling mengganggu: tahu cara memeluk Riin tanpa menyentuhnya. “Aku tidak suka itu,” gumamnya akhirnya. Suara Jae Hyun hampir terdengar seperti anak kecil yang kehilangan mainannya. Ia masih menggenggam tangan Riin erat.
***