NovelToon NovelToon
Office Girl Cantik Kesayangan CEO Tampan

Office Girl Cantik Kesayangan CEO Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / CEO / Cinta Seiring Waktu / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:40k
Nilai: 5
Nama Author: ijah hodijah

Fatharani Hasya Athalia, atau biasa disapa Hasya oleh teman-temannya itu harus terjebak dengan seorang pria di sebuah lift Mall yang tiba-tiba mati.
Hasya yang terlalu panik, mencari perlindungan dan dengan beraninya dia memeluk pria tersebut.

Namun, tanpa diketahuinya, ternyata pria tersebut adalah seorang CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Hasya sendiri bekerja subagai Office Girl di perusahaan tersebut.

Pada suatu hari, Hasya tidak sengaja melihat nenek tua yang dijambret oleh pemotor saat dirinya akan pergi bekerja. Karena dari perangai dan sifatnya itu, nenek tua tersebut menyukai Hasya sampai meminta Hasya untuk selalu datang ke rumahnya saat weekend tiba.

Dari sanalah, nenek tua tersebut ingin menjodohkan cucu laki-lakinya dengan Hasya.

Akankah Hasya menerima pinangan itu? Sedangkan, cucu dari nenek tua tersebut sedang menjalin kasih bahkan sebentar lagi mereka akan bertunangan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35

Bugh

Bugh

Bugh

"Argh!" Sebelum saya menyerahkan Anda ke polisi, saya mewakili Tuan Bara untuk menghukum Anda!" anak buah Edo dengan puas memukvl Devan.

Ya, anak buah Edo sudah menemukan tempat persembunyiannya Devan yaitu di sebuah villa di luar kota. Mereka menggunakan berbagai cara pelacakan untuk menemukannya.

"Ampun, Pak. Ampun!"

"Sangat tidak beradab! Anda telah mengotori kampus yang sejatinya untuk menuntut ilmu. Anda menjadi contoh yang sangat buruk untuk mahasiswa Anda dan para dosen di sana!"

"Tolong, Pak. Maafkan saya!" Devan bersujud di kaki Alvin, anak buahnya Edo.

"Semua perbuatan ada konsekuensinya!" Alvin memberi isyarat kepada anak buah yang lain untuk membawa Devan ke kantor polisi.

Alvin keluar dari ruangan itu, yang tak lain adalah ruang keluarga.

Ceklek!

Pintu depan terbuka dan nampak lah seorang wanita masuk dalam keadaan hamil besar.

Deg!

"Ada apa ini?" wanita itu sepertinya tersentak kaget melihat banyaknya orang di dalam villa tersebut. "Mas, kamu?" wanita itu berhambur kepada Devan yang di pegang kanan dan kiri oleh anak buah Edo.

Alvin segera keluar, dia tidak ingin ikut campur dengan yang tidak ada sangkut pautnya kepada Bara. Ia segera menghubungi Edo untuk memberitahu kalau Devan akan dibawa ke kantor polisi.

"Maafin, Mas, Dek. Mas sudah mengkhianati kamu dan mas juga harus menerima konsekuensinya. Aku bebasin kamu mau bagaimana kedepannya, karena aku menyadari kesalahannya ada di aku. Semua tabunganku kamu pakai untuk keperluan kamu dan calon anak kita. Aku cuma berharap, jika nanti aku selesai masa hukumanku, kamu mengizinkan aku untuk bertemu dengan anak kita," Devan berbicara panjang lebar.

"Mas..." Delia tidak bisa berkata-kata, ia menutup mulutnya dengan air mata yang berdesakan keluar.

"Jika memang biaya hidup kamu tidak cukup selama aku di sana, kamu boleh menjual villa ini. Tapi dengan syarat kamu tidak menikah lagi. Kalau kamu menikah lagi, villa ini untuk anak kita dan tidak boleh dijual,"

"Mas! Maksud kamu apa begitu? Kamu melakukan apa?"

"Mohon maaf, Nyonya. Saya tidak punya banyak waktu untuk berbicara panjang lebar. Mengingat jarak ke kota dari tempat ini jauh, jadi kami harus segera membawanya pergi!"

"Siapa kalian? Kenapa kalian mau membawa suami saya?"

"Maaf, aku yang khilaf, Sayang. Aku telah mengkhianati kamu. Tapi, kamu harus tahu bahwa perasaan yang sesungguhnya aku sangat mencintai kamu, hanya saja karena khilaf mas melakukan hal yang mungkin tidak bisa kamu maafkan," Devan memeluk Delia untuk terakhir kalinya.

Delia tidak bisa berkata apa pun, dia hanya diam mematung, mencerna apa yang Devan katakan.

"Sekali lagi, maaf, Sayang. Semoga saat aku pulang nanti aku masih bisa memelukmu bersama anak kita. Bi Tini sudah aku hubungi untuk menemani kamu." Devan melepaskan pelukannya perlahan, ia mencoba menyembunyikan kesedihannya namun air matanya tidak bisa membohongi perasaannya, air matanya luruh juga.

Devan sangat mencintai Delia. Mereka pacaran sejak kuliah. Namun, saat keduanya memutuskan untuk menikah, orang tua dari kedua belah pihak tidak merestui mereka karena tembok mereka sangat kokoh.

Devan, dia sangat mencintai Delia tetap menikahi Delia. Dengan diam-diam Devan berpindah keyakinan mengikuti Delia. Sampai akhirnya, keluarga Devan mengetahuinya dan mereka marah besar. Devan dikeluarkan dari keluarganya, dan diusir dari rumahnya. Beruntung, dia pernah diberi sebuah villa oleh opungnya sebelum dia meninggal dunia.

Akhirnya Devan menikahi Delia dan membawa Delia pindah ke villanya. Namun, karena sulitnya mencari pekerjaan di lingkungan yang notabene penduduknya menjadi petani. Devan pergi ke kota untuk menjadi dosen. Dia akan pulang satu minggu sekali saat libur tiba, namun jika ada kegiatan yang bersangkutan dengan kampus dia tidak akan pulang.

"Ada apa ini, Den?" Bi Tini berlari tergopoh-gopoh saat ia masuk ke dalam villa tersebut.

"Maafkan saya, Bi. Tolong jagain Delia untuk saya. Saya harus mempertanggungjawabkan perbuatan saya. Saya menyesal, Bi." Devan menangis tanpa suara, kemudian pandangannya beralih kepada Delia yang sedang duduk sambil menangis juga. Ia menghampirinya, memeluknya untuk terakhir kali.

"Aku gak akan memohon, tapi aku tetap berharap kamu bisa memaafkan aku dan mau menjaga anak kita. Aku pergi dulu, sayang. Jaga diri kamu dan calon bayi kita baik-baik." Devan mengecup perut Delia yang semakin besar karena usianya sudah memasuki delapan bulan, kemudian ia mengecup kening Delia sambil terisak tidak bisa menahan desakan air mata yang tidak bisa dibendungnya. "I love you forever," bisiknya, tepat di telinga Delia.

"Mas! Jangan tinggalin aku, mas! Anak kita sebentar lagi lahir, hiks! Mas!" namun teriakan Delia hanya menggema di ruangan karena Devan sudah berangkat dengan anak buahnya Edo.

"Bibi! Aku hanya mimpi, kan?" Delia memeluk bi Tini.

"Harus sabar, Non."

***

Sore ini Bara baru saja sampai di kampus dia menunggu Hasya dengan tidak sabaran di dalam mobilnya.

Karena tidak kunjung datang, padahal ia sudah mengirim pesan kepada Hasya, Bara memutuskan untuk keluar dari dalam mobilnya.

Para mahasiswi yang baru saja keluar dari kelas seperri mendapatkan angin segar melihat Bara yang sedang berdiri di depan mobilnya, mereka terlihat kembali fresh.

"Wah... Ada angin segar, tumben banget cucu kesayangan pemilik kampus ini setiap hari ke kampus?"

"Kan, sudah gue bilang, kalau dia lagi dekat sama mahasisiwi populer kita di kampus ini,"

"Mimpi aja, kali."

"Lo, gak percaya sama gue," dia.merasa kesal dengan temannya satu ini. "Tuh! Lihat! Lo masih gak percaya sama gue?" dia menunjuk ke arah Hasya yang menghampiri Bara.

"What? Yang benar saja?" matanya membola apalagi saat melihat Bara menggenggam tangan Hasya dan membukakan pintu untuk Hasya.

"Lo, sih, gak percayaan sama gue,"

"Hehe... Sorry. Tapi gue boleh, gak, sih, iri sama dia?"

"Boleh-boleh saja, yang penting jangan lo s*ntet aja tuh anak. Kasihan juga penderitaannya selama ini, mungkin itu balasan rasa sabarnya dia,"

"Benar juga, lo! Secara hampir seantero kampus, sudah tahu siapa dia,"

***

"Kenapa lama sekali?" Bara sudah melajukan mobilnya, meninggalkan kampus.

"Padahal aku turun lewat tangga, loh," Hasya menatap Bara yang terlihat muram.

"Tetap kelamaan," jawab Bara tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan.

"Kamu kenapa?" tanya Hasya penuh keheranan.

"Kangen," jawabnya datar.

Mata Hasya membola, "gak salah?" gumamnya pelan.

"Gak!"

"Loh, kamu dengar?"

"Gak!"

Bibir Hasya merekah, kenapa ia merasa lucu dengan Bara yang sedang mode kangen. "Oh, seperti ini, ya, mode kangennya Tuan Bara yang terhormat," Hasya berbicara formal.

"Jangan meledek!" Bara menaikan laju mobilnya sampai Hasya hampir kepentok.

"Jangan kencang-kencang, aku takut,"

Akhirnya Bara memelankan lagi laju mobilnya, ia lupa kalau Hasya bisa saja ketakutan. Tapi rasa rindunya kepada Hasya begitu membuncah, ditambah dengan apa yang terjadi pagi tadi, dia masih merasa marah walaupun tadi sempat bertemu Devan dan melampiaskan kekesalannya. Ya, sebelumnya Bara habis dari kantor polisi untuk memberikan keterangan sebagai pelapor.

"Maaf," gumamnya pelan.

Bara memarkirkan mobilnya sembarang, kemudian ia menuntun Hasya dan membawanya ke lantai dua, kamarnya.

Blamb!

Bara menutup pintunya dengan kaki, kemudian ia mendorong Hasya ke dinding dan memegang kedua tangannya.

"M-mau apa?" Hasya terlihat gugup. Apalagi saat tatapan Bara yang sulit diartikan.

"Sibuk banget?" Bara menarik dagu Hasya ke atas supaya Hasya mendongak.

"I-iya," jawab Hasya jujur. Karena hari ini memang sibuk banget. Bahkan setelah sore, dia gak sempat melihat ponselnya sama sekali dan ponselnya juga ia matikan. Sebelum pulang barulah dia membuka ponselnya dan berpuluh-puluh panggilan juga chat masuk dari bara membuat Hasya terbelalak.

"Bagus! Tapi aku sangat merindukan kamu," bibir Hasya terangkat. Apa Bara bersikap begini karena merindukannya? Tapi ia tetap masih tidak ingin berekspetasi lebih.

"Sayang... Kamu gak merindukan aku?"

"Gak tahu," celetuk Hasya.

Jawaban Hasya membuat Bara meradang, ingin sekali ia menangis guling-guling.

Cup!

Bara mengecup bib1r Hasya sekilas, lalu tatapannya beralih kepada Hasya. "Benar, kamu gak rindu sama aku?" ia bertanya satu kali lagi.

"A-aku gak tahu," jawaban jujur dari Hasya membuat dia tambah gemas kepada Hasya. Bara mendekatkan wajahnya, ia menyatvkan bibirnya dengan bibir Hasya. Melvm*tnya dengan lembut, sambil memejamkan matanya, meresapi setiap gerakan yang ia lakukan.

"Kamu benar gak rindu aku?" dengan napas yang memburu, Bara kembali bertanya setelah melepaskan tautan bibirnya. Ia melepaskan tangan Hasya yang ia tahan di dinding sejak tadi.

"Aku rindu sama kamu, kok," jawab Hasya. Dia tahu apa yang dilakukan Bara itu adalah bentuk rasa yang dipendamnya sejak pagi tadi. Dan Hasya mencoba untuk meredakan apa yang sedang Bara rasakan walaupun dirinya tidak mengetahui apa yang sedang dirasakannya.

"Maaf, aku gak sempat membuka ponselnya," Hasya mengusap dada bidang Bara lembut. Jemari lentiknya beralih ke wajah Bara. Tatapan keduanya bertemu. Hasya tersenyum tipis lalu kedua tangannya mencvbit pipi Bara dengan gemas.

"Aku gemas sama kamu, Honey!" Hasya berjongkok, kemudian ia keluar dari kukungan Bara dan langsung masuk ke kamar mandi.

"Sayang?!"

****

"Ada apa dengan Aurel, Bunda?"

Bersambung

1
Rosmeini Yazid
lanjut Thor, kok selalu sedang seru2 nya, gak bisa lagi utk dibaca, mengapa hrs bgt!
reza indrayana
ada apalagi org² hahat tuchh...
reza indrayana
Apa tuch masudnya...🤔🤔🤔
reza indrayana
akhirnya...👍🏻👍👍🏻🫰🏻🫰🏻💙💛💙😘😘😘
reza indrayana
pada apa dg Hasya...
reza indrayana
Bara mau ngapain dikau ..😍😍
reza indrayana
kejutan apa nichh...
reza indrayana
miris bener hidup Hasya...😥😥😥
reza indrayana
Baper...🥰🥰
Pijaran Hati 89
ini novel muter-muter msa iya suami ceo ngk tegas bgtt
reza indrayana
ada apa nichh...🤔🤔🤔
reza indrayana
bikin oenasaraaanNn....🫰🏻🫰🏻😘😘😘
reza indrayana
Nachh...,bagus lah mulut ulat bulu emang hrs d bungkam...👍🏻👍👍🏻😍😍😍
reza indrayana
bikin Baper ajee,..💛💙💛🫰🏻🫰🏻😘😘😘
reza indrayana
lhochh..., ada apa Bara ko' sampe' segitunya...🤔🤔🥰🥰🥰
reza indrayana
makin penasaran dgn latar belakang Hasya...
reza indrayana
makin seru nichh...👍🏻👍👍🏻💙💛💙🫰🏻🫰🏻😘😘😘
reza indrayana
awal baca aja udh mitis nichh....😥😥😥
Jar Waty
lanjut thor
Yurniati
tetap semangat terus thorr
Ijah Khadijah: Terimakasih, kak. Semangat juga untuk kakaknya🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!