Sebuah novel romansa fantasi, tentang seorang gadis dari golongan rakyat biasa yang memiliki kemampuan suci, setelahnya menjadi seorang Saintes dan menjadi Ratu Kekaisaran.
Novel itu sangat terkenal karena sifat licik dan tangguhnya sang protagonis menghadapi lawan-lawannya. Namun, siapa sangka, Alice, seorang aktris papan atas di dunia modern, meninggal dunia setelah kecelakaan yang menimpanya.
Dan kini Alice hidup kembali dalam dunia novel. Dia bernama Alice di sana dan menjadi sandera sebagai tawanan perang. Dia adalah pemeran sampingan yang akan dibunuh oleh sang protagonis.
Gila saja, ceritanya sudah ditentukan, dan kini Alice harus menentang takdirnya. Daripada jadi selir raja dan berakhir mati mengenaskan, lebih baik dia menggoda sang duke yang lebih kejam dari singa gurun itu. Akankah nasibnya berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Luciaaaan!
“Haciu!” Alice bersin saat dirinya kini berada di tengah hutan belantara, hawa dingin menusuk kulitnya saat kabut tebal menyelimuti hutan itu.
“Kenapa aku merasa ada firasat buruk, ya?” Alice kembali bersin dan terus melangkah di hutan itu.
Sementara itu, di kediaman Corvin, Lucian menatap para bawahannya yang baru saja melaporkan tentang keberadaan Alice.
“Sungguh rencana yang hebat, Alice. Aku tak akan membiarkanmu pergi dariku!” ucap Lucian turun dari kediaman itu dan menaiki kudanya.
Tak ada yang dapat menghentikan Lucian pergi, sedangkan itu Alice kini tersesat, tubuhnya bahkan sudah menggigil akibat kedinginan.
“Aku sebaiknya membuat api saja,” gumam Alice. Yah, dasar kurang persiapan dalam berbagai hal. Membuat api di hutan belantara tak semudah apa yang dikatakan dengan entengnya.
Alice beberapa kali menggunakan cara seperti yang dia lihat dalam reality show. Namun, ternyata gagal. Bahkan kini tubuhnya sudah ikut menggigil. Alice mengutuk dirinya sendiri.
“Auuuu!” Lolongan serigala berhasil membuat bulu kuduk Alice berdiri. Dia menatap sekeliling yang hanya ada gelap.
Alice ingin menangis, dia ingin kembali ke kediaman Corvin dan memilih jalan hidup lain. Setidaknya bila di kediaman Corvin, dia bisa mencegah Lucian untuk ikut campur dalam urusan kerajaan nantinya dan lebih fokus dalam pembangunan wilayahnya.
Namun kini, penyesalan memang selalu datang terlambat. Alice seolah sudah berada di ujung tanduk. Dia lapar, haus, dan juga kedinginan.
“Apa aku akan mati?” gumamnya, hingga matanya menatap binatang besar yang kini ada di hadapannya.
“Benar, aku pasti akan mati.” Dalam momen terakhirnya, Alice memilih mengambil kayu bakar. Meski mungkin tak akan bisa melawan banyak, namun setidaknya dia tidak langsung dimakan seperti bunuh diri.
Jiwanya berontak, tak ingin mati lagi. “Luciaaan!” teriak Alice saat seluruh tubuhnya bergetar.
Serigala itu tampak siap menyerang. Kukunya yang tajam siap mengoyak tubuh Alice dan giginya yang tajam siap menghabisi seluruh tubuh Alice.
“Alice!”
Crat!
Suara darah keluar dari leher serigala itu. Alice perlahan kembali membuka matanya. Kini di hadapannya tampak Lucian dengan kuda hitamnya. Kesadaran Alice mulai menghilang.
Bruk!
Alice pingsan. Lucian membelalakkan matanya dan langsung memeluk Alice lalu membawanya ke atas kuda. Tubuh Alice begitu dingin, kakinya dipenuhi luka, dan wajahnya pucat.
Lucian mengepalkan tangannya. Nama Lucian yang dipanggil oleh Alice membuat Lucian kian marah pada dirinya sendiri.
Dia mengenal perasaan apa yang kini hinggap di hatinya, namun dia juga sadar bahwa perasaannya itu tak diterima dengan baik oleh Alice.
Malam itu, Lucian membawa Alice kembali ke kediaman Corvin. Seluruh kesatria di kediaman itu langsung hening, tak ada yang berani bersuara. Begitu pun para pelayan. Lucian langsung membawa Alice ke kamarnya.
“Ambilkan rantai dari gudang!” perintah Lucian pada bawahannya. Kesatria yang diperintahkan mengangguk dan pergi mengambilkan barang yang diminta oleh Lucian.
Dengan sangat hati-hati, Lucian menyelimuti tubuh Alice. Rantai yang diminta akhirnya datang.
Lucian mengikat kaki Alice dengan rantai pada ranjang. Sungguh, Lucian tak ingin lagi kehilangan Alice. Sudah cukup baginya ditinggalkan banyak orang yang dicintainya, dan sekarang tidak lagi.
“A-air,” gumam Alice. Lucian mengambilkan air dan membantu Alice bangkit dari tidurnya.
“L-Lucian?” gumam Alice. Lucian mendekat dan kembali memeluk Alice. Tak ada satu kata pun keluar dari mulut Lucian, namun tangannya kini bergetar hebat.
“Maafkan saya, Alice. Maafkan saya,” gumam Lucian. Alice yang ada dalam setengah sadar mendengarnya dan kembali tertidur.
---
Pagi akhirnya tiba, Alice merasakan kepalanya berdenyut dan menatap sekeliling. Alice menghela napas kasar dan hendak bangun dari tidurnya.
“Apa ini?” Alice tertegun mendapati rantai kini mengikat kakinya pada ranjang.
“Apa aku jadi tahanan ranjang? Yang benar saja!” umpat Alice. Makanan hangat tampak sudah tersedia di samping Alice, namun dalam kondisi seperti itu, Alice lebih ingin mandi. Namun mandi bagaimana bila dia diikat seperti itu?
Jendela kamar itu bahkan kini dipasangi besi penutup. Alice menghela napas kasar dan akhirnya memilih sarapan saja.
Berbeda dengan hari-harinya dulu, kini dia benar-benar menjadi orang tawanan. Dia tak bertemu dengan Lucian. Pelayan hanya datang membawakan makanan dan setiap hari hanya seperti itu.
“Nona, hari ini Anda akan menempuh perjalanan ke wilayah Corvin.” Seorang pelayan membawakan gaun yang nyaman, dan seorang kesatria melepaskan rantai yang mengikat kakinya.
Alice akhirnya bisa mandi setelah sekian lama. Namun gilanya, pelayan itu kini ikut masuk ke dalam kamar mandi dan membantu Alice mandi.
Setelah selesai, Alice dikawal dua kesatria sekaligus, dibawa ke sebuah kereta kuda.
“Lucian mana?” tanya Alice memperhatikan sekeliling dan tak menemukan Lucian. Bahkan sejak hari dia kembali, Lucian tak pernah menampakkan batang hidungnya lagi.
“Beliau akan bersama para kesatria. Silakan, Nona,” jawab seorang kesatria. Alice pun masuk dan segera berangkat. Sementara itu, Lucian yang melihatnya diam-diam hanya bisa merasakan dadanya berdenyut sakit.
Dia ingin dekat dengan Alice, namun pasti kebencian Alice padanya kini sudah melebihi ambang batas. Merantai manusia layaknya tawanan, itu memang bukan keinginan Lucian. Namun, bila itu bisa membuat Alice tetap berada di sampingnya, maka hal itu dapat dia lakukan.
“Kita berangkat!” perintah Lucian pada seluruh kesatria yang sudah bersiap. Alhasil, mereka semua berangkat.
Perjalanan ke wilayah Corvin memakan waktu sekitar empat hari perjalanan menggunakan kereta kuda, dan itu cukup melelahkan.
Siang hari mereka istirahat untuk makan siang dan Alice juga bisa menghirup udara segar, meski harus dijaga oleh dua kesatria sekaligus.
Saat malam datang, mereka mendirikan tenda untuk beristirahat. Malam itu, Alice memperhatikan sekeliling dan tak menemukan Lucian.
“Saya ingin membersihkan diri. Apa ada sungai di dekat sini?” tanya Alice pada kesatria yang menjaganya.
“Kami tidak bisa mengambil risiko, Nona. Silakan Anda masuk ke dalam tenda Anda,” ucap kesatria itu. Alice menghela napas kasar dan akhirnya masuk ke dalam tenda yang sudah disediakan.
Tampak air hangat sudah tersedia untuk mandi di dalam tenda tersebut. Ada juga baju yang nyaman dan tempat tidur.
Alice ingin kembali memberontak dan tidak suka dikekang seperti itu. Namun saat ini, dia hanya akan cari mati saja bila melakukannya.
“Di mana Lucian?” Alice mengintip ke luar tenda setelah mandi, hingga kini matanya menangkap sosok Lucian yang tengah berada di depan api unggun dan menyantap makan malamnya.
“Lucian!” teriak Alice dan berlari menuju ke arah Lucian berada. Lucian bahkan terkejut dan hendak kembali melarikan diri, namun sayang Alice sudah bergerak cepat tanpa bisa ditahan oleh dua kesatria yang menjaganya.
“Saya sibuk. Anda kembalilah ke tenda Anda,” ucap Lucian dingin. Alice meneguk salivanya.
Apa dia benar-benar membenciku, ya? Aduh, betapa sialnya diriku! umpat Alice dalam hati kecilnya.