Ayla Navara, merupakan seorang aktris ternama di Kota Lexus. Kerap kali mengambil peran jahat, membuatnya mendapat julukan "Queen Of Antagonist".
Meski begitu, ia adalah aktris terbersih sepanjang masa. Tidak pernah terlibat kontroversi membuat citranya selalu berada di puncak.
Namun, suatu hari ia harus terlibat skandal dengan salah seorang putra konglomerat Kota Lexus. Sialnya hari ini skandal terungkap, besoknya pria itu ditemukan tewas di apartemen Ayla.
Kakak pria itu, yang bernama Marvelio Prado berjanji akan membalaskan dendam adiknya. Hingga Ayla harus membayar kesalahan yang tidak diperbuatnya dengan nyawanya sendiri.
Namun, nyatanya Ayla tidak mati. Ia tersadar dalam tubuh seorang gadis cantik berumur 18 tahun, gadis yang samar-samar ia ingat sebagai salah satu tokoh antagonis di dalam novel yang pernah ia baca sewaktu bangku kuliah. Namun, nasib gadis itu buruk.
“Karena kau telah memberikanku kesempatan untuk hidup lagi, maka aku akan mengubah takdirmu!” ~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Joy Jasmine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 ~ Kembali Jahat
'Ya Tuhan, apa aku jadi sakit beneran?' batinnya ketika merasa wajahnya yang memanas.
.
.
.
Beberapa hari kemudian, di hari Senin.
Semuanya telah kembali normal, para mahasiswa juga telah kembali berkuliah seperti biasa. Begitu juga Edric yang sudah mulai mengajar kembali, walau lukanya belum sembuh betul dan masih diperban.
"Gimana keadaan, mu?" tanya Nico sembari menepuk pundak sang sahabat.
"Seperti yang kau lihat."
"Aku penasaran, apa gunung es sudah mulai mencair?" ledek Nico sembari memperhatikan perban di lengan Edric.
Edric hanya diam, tidak membantah dan tidak juga setuju. "Aku tidak pernah melihatmu menaruh perhatian sebesar itu pada seseorang sebelumnya," ledeknya lagi yang lagi-lagi tak mendapat respon atau balasan.
"Huh, memang susah ngomong sama gunung es. Ini aku bawakan sesuatu, aku yakin ini akan berguna dalam proses pencairan gunung nanti," ujarnya kemudian sembari meletakkan sebuah buku kemudian pergi tanpa menoleh lagi.
Sementara Edric tampak tidak tertarik. Ia membiarkan buku itu tetap ditempatnya, lalu kembali fokus pada laptop didepannya.
Tok... tok... tok...
"Masuk!"
"Permisi, Pak."
"Hmm, ada apa?"
"Tentu saja mengganti perban Bapak."
"Tidak perlu, nanti saya bisa ganti sendiri."
"Biasa juga saya yang gantiin," gumam Alice dan tanpa persetujuan sang empu, ia meraih lengan pria itu dan memulai ritualnya. Luka Edric memang sudah agak kering, semua berkat Alice yang selalu membantu merawatnya sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Tangannya tanpa kaku mengganti perban, wajahnya terlihat serius menambah kadar pesonanya.
Di sisi lain Aldric sedang dalam perjalanan ke ruangan sang kakak, sejak pulang ia belum menjenguk Edric. Kebetulan sekarang sedang jam istirahat dan tidak ada mamanya yang akan melarang ia bertemu sang kakak.
Dengan langkah lebar ia melangkah, ia juga merasa harus berterima kasih pada Edric karena telah menyelamatkan tunangannya.
Sampai di depan pintu ruangan sang kakak, ia ingin mengetuk. Namun ternyata pintu itu terbuka sedikit dan mengurungkan niat Aldric untuk mengetuk, ia ingin mengintip terlebih dahulu.
"Argh, pelan-pelan. Meski sudah biasa tapi ini masih sakit." Terdengar suara Edric yang terucap dengan ambigunya.
Mengira sang kakak sedang melakukan yang tidak-tidak, ia ingin pergi terlebih dahulu namun sebuah suara menghentikan langkahnya dan membuat emosinya seketika mendidih.
"Ini sudah pelan-pelan, Pak. Tahan ya! Sebentar lagi selesai kok," bujuk Alice dengan lembut.
Aldric tersenyum pedih, tunangannya dan kakaknya sendiri memiliki hubungan di belakangnya. Tangannya terkepal erat, kemudian menerobos masuk ke sana.
"KALIAN ... ." Lidah Aldric seketika keluh tak dapat berucap, baru saja ingin marah-marah tapi ternyata Alice hanya membantu mengganti perban Edric.
Kini keduanya menatap Aldric penuh tanya, "Hmm, a-aku hanya ingin menjenguk keadaan Pak Edric," ujarnya kemudian dengan wajah yang dibuat senormal mungkin.
Walau mereka tidak melakukan apapun, tapi Aldric masih merasa panas di hati. Terlebih ketika melihat Alice dan Edric yang sangat dekat.
"Sudah selesai, saya pamit dulu," ujar Alice dan keluar dari ruangan.
Aldric pun mendekat pada sang kakak, ia tatap perban dengan ikatan kupu-kupu karya Alice. Kemudian beralih menatap pada Edric yang tampak tersenyum melihat ikatan itu.
"Kakak tidak lupa kan? Alice Lawrence adalah tunanganku," ujar Aldric dengan datar, kalimat itu ia ucapkan agar kakaknya sadar.
"Kau juga tidak lupa kan, adikku tersayang? Dulu kau tidak pernah menganggapnya ada," balas Edric dengan sinis.
"Sekali milikku, aku tidak akan membiarkan orang lain mengambilnya meski sudah ku buang sekalipun."
"Ck, ck, ck. Inilah yang wanita itu ajarkan padamu, dan bodohnya aku selalu mengalah dulu. Tapi sekarang tidak lagi, aku tertarik pada gadis itu dan mari kita bersaing." Edric menaikkan sebelah alisnya, menantang pada sang adik yang kini wajahnya sudah merah menahan amarah.
"Tidak akan kubiarkan kau merebutnya dariku."
"Aku juga akan berusaha merebutnya darimu. Lagian apa kau ingin menjilat ludahmu sendiri?" Sebuah provokasi yang membuat Aldric sangat marah, ia bahkan pergi dengan membanting pintu. Sementara Edric hanya tersenyum, namun senyum itu pudar ketika Aldric keluar dari ruangan.
.
.
.
"Dimana Alice?" tanya Aldric dengan marah pada Lucy.
"A-alice sedang ke toilet, Tuan," jawab Lucy terbata-bata, ia ketakutan ketika melihat wajah Aldric yang sangat menyeramkan.
"Sudah berapa kali aku bilang jangan memanggilnya dengan nama, apa kau tidak punya telinga? Kalau perlu kau panggil dia nyonya muda Nelson, paham!" bentak Aldric hingga menyita perhatian mahasiswa sekelas.
Mereka pun saling berbisik-bisik, namun Aldric tidak peduli. Amarah sudah menguasai dirinya.
"Apa yang Anda lakukan, Tuan Aldric Nelson?" Alice yang baru kembali dari toilet bersama Kiara merasa terkejut ketika melihat Lucy dibentak seperti itu.
Bukannya menjawab Aldric malah meraih tangan Alice, menggenggamnya erat dan menariknya untuk pergi dari sana.
"Hey, apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!" pekik Alice tidak terima, tangannya terasa sangat sakit. Terlebih ia harus mengikuti langkah Aldric yang lebar dan cepat.
Namun Aldric tidak mendengar, ia terus menarik tangan gadisnya dan membawanya ke lantai teratas kampus yang jarang di kunjungi orang. Atap kampus ini memang diperuntukkan bila mana ada acara kampus, terutama acara private anggota yayasan dan lainnya.
Ia kunci pintu atap, kemudian menghimpit tubuh kecil Alice di dinding hingga gadis itu nyaris hilang ditutupi tubuh besar miliknya.
"Kau!" pekik Alice marah.
"Apa yang kau inginkan?"
"Aku? ... Aku menginginkanmu!" Setelah berkata seperti itu, Aldric menundukkan kepalanya dan ingin mencium paksa Alice. Namun ciuman itu mendarat di pipi karena Alice yang memalingkan wajahnya.
Merasa dikuasai sinyal bahaya, Alice menginjak kaki Aldric kemudian menekuk lututnya dan memukul titik paling berharga milik pria itu.
"Arghh, Alice. Kau!" jerit Aldric tertahan, Alice telah berhasil keluar dari kungkungannya.
Gadis itu tersenyum sinis, "Sebagai tuan muda dari keluarga terhormat, aku harap kau tidak akan menjilat ludahmu sendiri Aldric Nelson!"
Setelahnya ia pergi dari sana, meninggalkan Aldric yang masih mencoba meredam amarahnya.
Dua kali.
Dua kali ia mendengar kalimat menjilat ludah sendiri hari ini. Sebuah kalimat yang sangat melukai harga dirinya.
"Haha... HAHAHAHAHA." Aldric tertawa dengan nyaring namun sedetik kemudian wajahnya berubah menjadi sangat dingin. Bahkan lebih dari Edric.
"Kita lihat, sampai mana kau bisa menghindar dariku Alice Lawrence," gumamnya dengan seringai yang sangat menyeramkan.
Di sisi lain Alice yang berada di dalam lift sedang berusaha menetralkan rasa takutnya. Kejadian tadi benar-benar di luar dugaan, sangat menyeramkan.
Terlebih ketika ia mengingat adegan dimana Aldric bahkan tidak segan untuk mengikat Olivia di kamar mereka, hanya karena Oliv ketahuan jalan bersama teman-temannya yang salah satunya adalah pria.
Di dalam cerita yang asli, Aldric adalah devil yang mengikat Olivia dengan segala belenggu cintanya. Bahkan ia menikahi gadis itu walau masih memiliki perjanjian pertunangan dengan Alice Lawrence.
Memikirkan itu semua membuat Alice bergidik, ia tidak mau dibelenggu seperti itu. Sepertinya ia harus mencari cara agar Aldric membencinya kembali. Tapi bagaimana caranya?
Ia berpikir hingga lift terbuka, matanya melebar dan bibirnya tersenyum penuh arti ketika melihat Olivia dan Haven yang sedang bercanda ria. Sejak kembali dari camping, keduanya memang semakin dekat. Terutama Haven yang sepertinya tertarik pada gadis itu.
Melihat keduanya yang berpisah, Alice segera mengikuti langkah Olivia. "Oliv," panggil Alice dengan tersenyum.
"Ya."
Alice pun menyamai langkah Oliv dan berjalan bersamanya, "Kulihat kamu makin dekat sama Haven ya?"
"Eh, ma-mana ada," elak Oliv dengan senyum malu-malu.
"Haven adalah sahabatku sedari kecil, keluarga kami juga saling bersahabat. Jadi tentunya kamu tahu Haven juga memiliki keluarga yang terpandang, aku hanya ingin ... ."
Oliv menghentikan langkahnya kemudian menatap Alice yang juga menatapnya penuh makna.
"Saya mengerti maksud Anda Nona Alice Lawrence, perbedaan kami memang sangat jauh. Terima kasih telah menyadarkan saya akan posisi saya yang sebenarnya," jawab Oliv sembari tersenyum pedih, ia sadar diri bahwa ia hanyalah mahasiswa yang menyandang beasiswa di kampus bergengsi ini.
Sedangkan gadis yang berdiri di hadapannya ini adalah putri pemilik kampus yang bisa menendangnya kapan saja. Jadi ia akan menuruti permintaan Alice untuk bertahan di kampus ini.
Setelahnya ia pergi dengan langkah yang cepat, meninggalkan Alice yang merasa tidak enak hati. Meski ia terbiasa berlaku jahat dalam sebuah peran, tapi bersandiwara di dunia nyata membuatnya merasa sangat jahat.
'Tenang, Ayla. Berpura-pura jahat akan membuat Aldric kembali membencimu dan bisa membuat orang yang membuat Alice menderita akan menunjukkan batang hidungnya.'
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Tbc.
🌼🌼🌼🌼🌼
tembak tembak tembak
🤣🤣🤣