Mahesa Sura yang telah menunggu puluhan tahun untuk membalas dendam, dengan cepat mengayunkan pedang nya ke leher Kebo Panoleh. Dendam kesumat puluhan tahun yang ia simpan puluhan tahun akhirnya terselesaikan dengan terpenggalnya kepala Kebo Panoleh, kepala gerombolan perampok yang sangat meresahkan wilayah Keling.
Sebagai pendekar yang dibesarkan oleh beberapa dedengkot golongan hitam, Mahesa Sura menguasai kemampuan beladiri tinggi. Karena hal itu pula, perangai Mahesa Sura benar-benar buas dan sadis. Ia tak segan-segan menghabisi musuh yang ia anggap membahayakan keselamatan orang banyak.
Berbekal sepucuk nawala dan secarik kain merah bersulam benang emas, Mahesa Sura berpetualang mencari keberadaan orang tuanya ditemani oleh Tunggak yang setia mengikutinya. Berbagai permasalahan menghadang langkah Mahesa Sura, termasuk masalah cinta Rara Larasati putri dari Bhre Lodaya.
Bagaimana kisah Mahesa Sura menemukan keberadaan orang tuanya sekaligus membalas dendamnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ebez, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dewi Kipas Besi
Sesampainya di depan gerbang istana Lodaya, mereka berdua berpapasan dengan Tumenggung Dandang Pengaron yang juga hendak masuk ke dalam istana untuk melaporkan hasil kerja nya.
"Tumenggung Dandang Pengaron, bagaimana hasil penyidikan mu pada perempuan itu? ", tanya Mahesa Sura segera.
Mendengar pertanyaan itu, Tumenggung Dandang Pengaron mengernyit heran. 'Bukankah aku sudah melaporkan hasil penyelidikan ku pada Gusti Putri Rara Larasati sepekan yang lampau? Kenapa Pendekar Sura masih menanyakannya lagi? ', batin Tumenggung Dandang Pengaron dalam hati.
"Mohon maaf Pendekar. Saya sudah melaporkan hasil penyelidikan hamba sepekan yang lalu. Apa pendekar belum menerima hasil nya? ", sang perwira malah balik bertanya.
"Pada siapa kau melaporkan nya? ", ganti Mahesa Sura menatap tajam ke arah Tumenggung Dandang Pengaron.
" Pada Gusti Putri Larasati, Pendekar. Saat itu pendekar kata beliau, masih sibuk dan ada urusan di luar istana. Jadi saya melaporkan nya untuk diteruskan pada pendekar. Eh maaf, apakah pendekar belum menerima nya? "
Mahesa Sura menggelengkan kepalanya mendengar pertanyaan itu.
"Kalau begitu, ini bukan salah saya Pendekar. Mohon pendekar tidak marah pada saya", lanjut Tumenggung Dandang Pengaron.
'Kurang ajar, Larasati. Berani-beraninya ia sengaja menyembunyikan hasil penyelidikan murid Dewi Upas itu. Apa sebenarnya yang ia inginkan?! ', batin Mahesa Sura sambil mengepalkan tangannya.
" Baiklah, katakan saja hasilnya sekarang mumpung kita bertemu disini ", sambung Mahesa Sura kemudian.
" Saat ini Dewi Upas kemungkinan ada di tiga tempat. Yang pertama adalah Lembah Seribu Bunga di tepi sungai Kapulungan timur Kotaraja Kertabhumi, Padepokan Bukit Tengkorak di lereng Gunung Penanggungan atau di Perguruan Kalajengking Hitam milik saudara laki-laki nya yang ada di perbatasan antara Kembang Jenar dan Paguhan", jawab Tumenggung Dandang Pengaron segera.
Hemmmmmmm....
"Setan betina itu benar-benar tahu cara menyembunyikan diri dengan baik!
Terimakasih atas kerja kerasnya, Tumenggung Dandang Pengaron. Sekalian aku juga mau pamitan karena mungkin esok pagi aku akan meninggalkan Lodaya. Jika ada umur panjang, kelak pasti akan berjumpa lagi. Permisi.. ", setelah berkata demikian, Mahesa Sura bergegas berjalan menuju ke arah balai tamu kehormatan, meninggalkan Tumenggung Dandang Pengaron yang masih termangu ditempatnya berdiri.
" Aku yakin Pendekar Mahesa Sura pasti marah pada Gusti Putri Larasati karena hal ini. Ah itu bukan urusan ku, lebih baik aku segera melaporkan hasil kerja ku pada Gusti Bhre Lodaya.. ", Tumenggung Dandang Pengaron pun segera berlalu menuju Pendopo Agung Istana Lodaya.
Setibanya di balai tamu kehormatan, Mahesa Sura langsung berkemas. Pusparini di persilahkan untuk mengambil barang bawaannya dan bertemu di gerbang istana esok pagi sebelum ia masuk ke balai tamu kehormatan.
"Mau kemana Sura? Kok kemas barang begitu? ", tanya Tunggak yang baru saja datang entah darimana.
" Ya pergi ke Kertabhumi. Murid Dewi Upas itu sudah memberitahukan dimana gurunya berada. Kau mau ikut atau masih mau tinggal disini? ", tanpa menoleh ke arah Tunggak, Mahesa Sura terus mengemasi barang-barang nya.
" Ya ikut to, wong kita sahabat sehidup semati. Jangankan ke Kertabhumi, ke neraka pun dengan mu juga tidak masalah.
Tunggu aku ya, jangan ditinggal ", habis bicara demikian, Tunggak bergegas ke kamar peristirahatannya dan segera mengemasi barang-barang pribadinya.
Saat Tunggak dan Mahesa Sura sibuk berkemas, dari ujung lorong penghubung Rara Larasati datang bersama Gupit, emban setianya sambil membawa beberapa jenis makanan termasuk daging rusa yang dibawa oleh Mahesa Sura tadi siang. Melihat Mahesa Sura sedang sibuk berkemas, Rara Larasati segera meletakkan nampan ke atas meja dan mendekati Mahesa Sura.
"Kau sedang apa Kakang? "
Mahesa Sura menoleh ke arah belakang dan melihat Rara Larasati berdiri di depan pintu kamar. Setelah itu ia kembali meneruskan kesibukannya.
"Berkemas. Aku sudah tahu dimana Dewi Upas bersembunyi jadi sudah waktunya aku mengejarnya", jawab Mahesa Sura dengan santainya.
Wajah Rara Larasati langsung keruh mendengar jawaban itu. Dia tidak rela Mahesa Sura pergi meninggalkan nya. Belum sempat ia bicara, omongan Mahesa Sura membuatnya terkejut.
"Aku tahu kau sudah mengetahui hal ini sejak beberapa hari terakhir. Sayangnya kau malah sengaja menyembunyikan hal ini dari ku. Aku sungguh kecewa dengan sikap mu, Gusti Putri.. "
"A-aku aku hanya... ", Rara Larasati tak meneruskan omongan nya.
" Hanya apa? Hanya ingin aku terus ada disini dan menjadi pesuruh pribadi mu? "
Dingin. Itu kesan dari omongan Mahesa Sura baru saja dan ini semakin membuat Rara Larasati merasa bersalah karena telah menutupi berita itu.
"Bukan begitu Kakang. Aku hanya ingin Kakang Sura tidak segera pergi dari istana ini. Karena...
Karena aku mencintaimu.. "
Deggg...!!!!
Jantung Mahesa Sura seolah berhenti berdetak mendengar kata cinta dari mulut putri penguasa kerajaan Lodaya ini. Sungguh, kata ini tak pernah ia dengar sejak ia meninggalkan Pakuwon Janti dan menjadi gelandangan usai dikejar-kejar oleh orang-orang yang ingin memusnahkan keluarga ayah angkatnya dulu.
Segera ia menghentikan kegiatan nya dan menoleh ke arah Rara Larasati yang menundukkan kepalanya. Tetes-tetes air mata terlihat luruh dari sudut mata Rara Larasati. Melihat itu, Mahesa Sura langsung mendekati Rara Larasati dan menyentuh dagu nya. Benar kata pepatah ; Segarang-garangnya seorang laki-laki akan luruh oleh air mata seorang perempuan.
Begitu tangan Mahesa Sura menyentuh pipinya, Rara Larasati langsung memeluk erat Mahesa Sura.
"Maafkan aku Kakang, maafkan aku. Aku bersalah pada mu.. ", ucap Rara Larasati di sela-sela tangisannya.
" Cup cup cup... Sudah Gusti Putri, jangan menangis lagi. Nanti orang mengira aku telah menganiaya kau. Jadi tolong jangan menangis lagi ya.. ", bujuk Mahesa Sura.
" Tapi Kakang Sura mau memaafkan ku bukan? ", Rara Larasati merenggangkan pelukan nya dan menatap wajah tampan Mahesa Sura.
" Iya-iya aku maafkan. Sudah aku maafkan..
Tetapi aku juga tetap akan pergi ke Kertabhumi, Gusti Putri. Ini adalah wasiat guru ku sebelum mereka meninggal. Dan sebagai murid aku juga harus membayar biaya pendidikan ku sebagai wujud dharma bakti ku untuk mereka".
Meskipun masih sedih karena Mahesa Sura akan pergi namun Rara Larasati juga tidak bisa egois karena apa yang diucapkan Mahesa Sura tidak ada salahnya. Maka malam hari itu menjadi malam terakhir Mahesa Sura tinggal di Lodaya.
Hingga larut malam, Rara Larasati berada di balai tamu kehormatan, menemani Mahesa Sura dan Tunggak melihat bulan separuh yang menggantung di langit malam. Ia baru kembali ke Keputren bersama dayang setia nya saat malam hampir mencapai puncaknya.
Karena hal itu, Rara Larasati kesiangan bangun. Begitu ia bangun, tanpa berdandan lebih dulu ia langsung berlari menuju ke arah balai tamu kehormatan. Begitu melihat kamar tidur Mahesa Sura sudah kosong, hati perempuan cantik itu sedih.
Dari arah samping, Gupit dayang setia nya menyerahkan sepucuk nawala pada Rara Larasati. Buru-buru putri Bhre Lodaya itu membacanya.
'Gusti Putri Rara Larasati,
Aku mohon pamit dulu,
Maaf aku tidak pamitan secara langsung,
Ku harap Gusti Putri mengerti.
Jika kelak masih diberi kesempatan,
Dan semua urusan ku telah selesai,
Aku pasti akan kembali mengunjungi mu,
Terimakasih untuk cinta yang kau berikan,
Dan ku harap kau masih akan tetap sama,
Saat aku kembali lagi,
Mahesa Sura.'
Rara Larasati menggenggam erat helaian daun lontar di tangannya sembari berkata,
"Aku pasti akan menunggu mu Kakang Sura. Cepatlah kau kembali".
******
Tunggak asyik menyantap makanan di warung makan dekat dermaga penyeberangan yang ada di Desa Tanjung Kalang. Dua hari menempuh perjalanan menggunakan perahu besar menyusuri Sungai Kapulungan membuatnya kehilangan selera makan karena di guncang riak air sungai yang keruh.
Beruntung, selama perjalanan dari dermaga Lodaya hingga ke tempat ini tidak ada masalah yang berarti. Meski sempat ribut dengan beberapa orang di Pelabuhan Bandar yang masuk ke dalam wilayah kerajaan Daha, masalah itu berhasil di selesaikan dengan mudah. Apalagi orang-orang tampaknya sedikit ketakutan melihat baju yang dikenakan oleh Mahesa Sura. Mungkin mereka juga tidak mau bermasalah dengan Si Iblis Wulung yang terkenal kejam dan bengis dalam pertempuran Lodaya.
Tetapi sayangnya ketenangan makan Tunggak, Mahesa Sura dan Pusparini tak berlangsung lama setelah seorang perempuan paruh baya berbaju ungu memasuki warung makan itu. Sebuah kipas besi berwarna hitam setinggi setengah depa yang ia tenteng menunjukkan bahwasanya ia adalah seorang pendekar.
Dua orang wanita muda dengan sebuah kipas besi berukuran lebih kecil juga ikut perempuan ini. Sepertinya keduanya adalah murid dari perempuan paruh baya itu.
Warung makan ini sudah penuh dengan pengunjung. Hanya meja yang ditempati oleh Mahesa Sura, Pusparini dan Tunggak saja yang masih ada 3 kursi tersisa. Itupun sudah menjadi tempat barang bawaan mereka.
Melihat ada kursi yang tidak ditempati, tiga perempuan itu segera mendekat ke arah meja Mahesa Sura dan kawan-kawan. Salah satu perempuan muda langsung berteriak lantang, "Hei ambil barang bawaan mu, kursi ini mau ditempati guru ku! ".
Sontak semua orang langsung menoleh ke arah meja makan Mahesa Sura dan kawan-kawan. Tunggak langsung geram karena diganggu saat makan.
" Apa maksud mu hah?! Kami datang lebih dulu, kenapa harus memberikan tempat ini untuk mu?
Wong yang punya warung saja tidak mempermasalahkannya kok! ", balas Tunggak tak terima di usir.
"Sombong sekali kau! Apa kau tak tahu sedang berhadapan dengan siapa heh bogel?!
Buka kuping mu lebar-lebar dan jangan mengompol setelah mendengar nama besar guru ku aku sebut. Beliau ini adalah Dewi Kipas Besi, pendekar wanita tersohor di Kerajaan Kertabhumi. Cepat minggir, jika tidak.... ", perempuan muda itu langsung mengacungkan kipas besi nya ke arah Tunggak.
Mahesa Sura yang sudah tidak tahan lagi dengan sikap pongah nya langsung angkat bicara,
" Jika tidak, kau mau apa?!! "