NovelToon NovelToon
Mengapa, Harus Aku?

Mengapa, Harus Aku?

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:229
Nilai: 5
Nama Author: Erni Handayani

Alisha Alfatunnisa, putri dari pemilik pondok pesantren yang populer di kotanya. Belum menikah meski menginjak umur 29 tahun. Hati yang belum bisa move on karena Azam sang pujaan hati, salah melamar kembaran nya yaitu Aisha.

Peperangan batin dilalui Alisha. Satu tahun dia mengasingkan diri di tempat kakeknya. Satu tahun belum juga bisa menyembuhkan luka hati Alisha. Hingga datang sosok Adam, senior di kampusnya sekaligus menjadi rekan duet dalam menulis.

Apakah kehadiran Adam bisa menyembuhkan luka hati Alisha? Atau masih ada luka yang akan diterima Alisha? Cerita yang menguras air mata untuk kebahagiaan sang kembaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erni Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

1. Bab 1

Mereka hanya bertanya, mengapa dan mengapa tanpa tahu aku mau apa.

Mentari menyambut hangat diriku, yang berdiri dekat jendela. Memang luasnya asrama santri pondok santri. Damai setiap mendengar suara mereka mengaji. Tepat satu tahun lalu aku menetap disini. Pondok pesantren Al-Irsyad, tempat kakek dan nenekku.

Hatiku resah. Namun, tidak ada tempat berbagi selain pada Robb-ku. Kedatangan Ayah kemarin membuat aku tidak bisa tidur.

"Kamu pulang ke rumah, atau mau Ayah nikahkan sekarang, Alisha?" tanya Ayah yang membuat aku bagai makan buah simalakama.

Iya.. Aku, Alisha Alfatunnisa Anak dari pemilik pondok pesantren populer di kota ini. Siapa yang tidak kenal dengan, Kyai Burhanudin? Yang sering mengisi ceramah sampai ke luar kota. Menjadi seorang, Neng merupakan beban tersendiri bagiku. Apalagi usia yang memasuki angka 29 tahun, masih melajang. Sedangkan kedua adikku telah menikah.

"Ayah, jangan begitu! Alisha masih betah disini. Nemenin kakek dan nenek,"jawabku malam itu.

Ayah tetap pada pendiriannya, mungkin kesal dengan aku yang tidak berkunjung ke rumah selama satu tahun ini. Ada beban yang tidak bisa aku bagi pada mereka. Ada hati yang harus aku jaga, juga rasa yang harus aku kubur dalam-dalam.

Pintu kamar diketuk dari luar, aku bergegas menuju pintu. Nampak Bu Yuli, yang bertugas mengurus dapur di sini.

"Ada apa, Bu?" tanyaku dahulu karena Bu Yuli tampak gugup.

"Neng, di panggil kakek! Ada tamu yang mau ketemu kamu!" ucap Bu Yuli.

"Jangan gugup, Bu! Aku nggak gigit kok. Iya udah saya temui nanti."

"Iya, neng."

Bu Yuli pamit dari hadapanku. Entah mengapa, aku berusaha untuk bersikap tidak ada jarak di antara aku juga para santriwati di sini. Tetapi, mereka bersikap seolah aku ini orang yang harus di hormati. Jika bisa memilih aku ingin jadi orang biasa tidak terlahir sebagai anak kyai.

Setelah merapikan jilbab aku segera bergegas menuju tempat biasa kakek menemui para tamunya. Kakek tampak sedang berbicara dengan laki-laki bersarung hijau. Di temani nenek yang terlihat segar di usia senja.

"Kang Herman, tumben ke sini?" tanyaku setelah tahu jika lelaki itu Kang Herman, sopir Ayah. Juga pengurus di pondok Darul Arkom, pesantren Ayah.

"Bapak, nyuruh saya jemput, Neng Alisha!" jawab Kang Herman. Aku mendengus lesu, Ayah benar-benar nekad nyuruh aku balik ke pesantren Darul Arkom.

"Geura uih neng geulis! (Cepat pulang neng cantik!) Ibu-mu pasti rindu. Apalagi anak didikmu di Darul Arkom," ujar Kakek Ansor

Aku tidak bisa menjawab iya atau tidak. Mudah untuk aku kembali ke Darul Arkom. Namun, aku belum siap. Aku khawatir diri ini kembali terpuruk. Dilema melanda hati. Atau aku setuju menikah saja agar tidak kembali ke Darul Arkom? Nyatanya aku tidak sanggup untuk menikah dalam waktu dekat. Hati yang pernah patah juga masih berantakan belum bisa kembali utuh.

"Pulang, nak! Bukan maksud Kakek ngusir kamu. Justru kakek senang kamu ada di sini. Tapi, ingat kamu punya orangtua yang harus kamu patuhi!" tambah kakek. Lelaki bijaksana yang sangat aku kagumi.

"Sampaikan pada ayah besok saya pulang! Kang Herman nggak usah jemput. Biar di antar Kang Andi besok saya,"ucapku pada akhirnya. Tidak mudah untuk aku kembali ke rumah sendiri. Ya Allah, luka ini belum kering meski sudah satu tahun lamanya.

"Muhun (Iya) Neng, nanti saya sampaikan pada bapak," jawab Kang Herman.

Malam telah menyambut. Aku termenung, menatap baju-baju yang akan aku masukan ke dalam koper. Dada ini tiba-tiba sesak. Siapakah aku kembali ke rumah? Ancaman Ayah juga berat. Ku usap dengan kasar wajah ini, seperti anak-anak rambutku berantakan.

"Ya Allah, tidak ada pilihan lain kah? Haruskah aku bersandiwara baik-baik saja? Sedangkan sebenarnya berbeda dengan kenyataan,"lirihku.

Suara ketukan pintu membuat aku terperanjat, lalu segera aku pakai jilbab instan warna dongker.

"Mba Sinta!" ucapku saat tahu siapa yang mengetuk pintu.

"Kakek, nyuruh saya membantu, Neng Alisha beres-beres,"jawab Mba Sinta. Apa ini pertanda aku di usir dari sini. Tidak, kakek tidak begitu. Pasti ayah yang menyuruh.

"Ayo masuk, mba!" aku menarik tangan Mba Sinta.

"Ini yang mau di masukkan koper neng?" tanya Mba Sinta saat melihat pakaianku yang belum aku masukkan satu pun.

Aku hanya mengangguk pelan. Lemas tubuh ini, darah seakan tidak mengaliri tubuh. Aku memijat pelan kening yang terasa berat, memejamkan mata untuk sekedar membuat hati sedikit tenang.

"Neng Alisha, sakit?" tanya Mba Sinta. Ternyata baju sudah di masukan ke dalam koper.

Aku tersenyum tipis, untuk menepis ke khawatirannya.

"Capek saja, Mba! Seharian kencan sama laptop,"ucapku. Di sini aku ikut andil sebagai pengajar. Hanya untuk selingan, selebihnya aku menulis. Untuk curhat secara tidak langsung. Itulah enaknya penulis, pembaca tidak tahu fiksi atau nyata.

"Neng Alisha, yang sabar ya Bapak pasti ingin yang terbaik buat putrinya."

Aku tahu itu, terlalu konyol memang aku tidak berani untuk berdamai dengan keadaan. Malah memilih menghindari.

"Iya, Mba. Ada-ada saja! Justru saya senang jika neng terus ada di sini. Saya jadi tidak kudet tentang pengetahuan!" balas Mba Sinta.

Sejenak aku berpikir, mengapa tidak aku ajak saja, Mba Sinta. Biar tidak merasa sepi di Darul Arkom.

Mba, mau ikut ke Darul Arkom?" tanyaku pada Mba Sinta. Mata Mba Sinta tampak berkaca-kaca. Dia mondok di sini sejak SMA dan sudah yatim piatu.

"Yang benar, Neng?" Mba Sinta tampak tidak percaya. Aku mengangguk pasti.

"Makasih Neng." Mba Sinta memelukku dengan erat.

"Iya, Mba! Sekarang beresin bajunya ya!" ucapku. Tanpa di suruh kedua kali Mba Sinta lekas keluar kamar.

"Nenek sama Kakek sehat-sehat ya! Alisha pasti rindu!" ucapku ketika berpamitan. Sebenarnya aku lebih dekat dengan mereka. Waktu masih kecil, sering aku tinggal di sini. Jarak antara aku dengan Aisha, hanya satu tahun.

Apalagi aku terlahir kembar, Aisha kembaranku.

"Kapan saja mau ke sini pintu selalu terbuka untukmu sayang!" ujar Nenek mengelus pipiku.

"Mari, Neng! Keburu siang nanti jalanan macet!" ucap Kang Andi yang akan mengantarkan aku pulang.

"Iya, kang. Tolong bawakan ini ke mobil!" aku menyerahkan satu dus bawaanku, yang berisi buku-buku pelajaran juga beberapa novel.

Mobil melaju dengan lancar, sepanjang jalan aku hanya diam menatap jalanan yang penuh kendaraan. Mba Sinta malah tertidur, mungkin karena kelelahan. Dari google maps sampai ke rumah memerlukan waktu sampai setengah jam lagi.

Aku memejamkan mata, menenangkan hati yang bergemuruh. Mata ini memanas. Aku pasti kuat, akan berapa lama aku menghindari. Sudah saatnya aku berdamai dengan takdir.

1
Afu Afu
jangan bucin alisha,buka hati buat yg lain percm menghro Azam istri nya jg SDH hmil apa yg mau km hrapkan ,plis deh
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!