Axeline tumbuh dengan perasaan yang tidak terelakkan pada kakak sepupunya sendiri, Keynan. Namun, kebersamaan mereka terputus saat Keynan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya.
Lima tahun berlalu, tapi tidak membuat perasaan Axeline berubah. Tapi, saat Keynan kembali, ia bukan lagi sosok yang sama. Sikapnya dingin, seolah memberi jarak di antara mereka.
Namun, semua berubah saat sebuah insiden membuat mereka terjebak dalam hubungan yang tidak seharusnya terjadi.
Sikap Keynan membuat Axeline memilih untuk menjauh, dan menjaga jarak dengan Keynan. Terlebih saat tahu, Keynan mempunyai kekasih. Dia ingin melupakan segalanya, tanpa mencari tahu kebenarannya, tanpa menyadari fakta yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutzaquarius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Setelah kejadian itu, Axeline seolah menciptakan tembok tidak kasat mata di antara mereka. Setiap kali berpapasan dengan Keynan, ia memilih untuk berpura-pura tidak melihat, seakan keberadaannya tidak lagi berarti untuk nya. Saat Keynan diam-diam mengamati para anak magang, berharap bisa melihat Axeline dari kejauhan, wanita itu tetap fokus pada pekerjaannya, tanpa sedikit pun menoleh ke arahnya.
Sikap Axeline yang menghindar membuat Keynan gelisah. Rasa tidak nyaman mulai menghantuinya, hingga akhirnya ia meminta manajemen departemen mengumpulkan para anak magang, hanya semata-mata agar bisa melihat Axeline. Tapi hasilnya tetap sama. Axeline tetap acuh, seolah keberadaannya tidak berpengaruh sedikit pun dalam hidupnya.
Keynan mendesah frustasi. Bukankah ini yang ia inginkan? Bukankah ini yang seharusnya terjadi? Sejak awal saat ia kembali ke tanah air, dia sudah memutuskan untuk menjauh, dan mengubur semua perasaan yang pernah ada.
Namun, setelah kejadian malam itu, segalanya terasa berbeda. Ada sesuatu dalam dirinya yang menolak menerima keadaan ini.
Keynan duduk di kursinya dengan rahang mengeras, jemarinya erat menggenggam kalung di tangannya. Napas terdengar berat, pikirannya kalut. Ia menatap benda itu dalam diam, seolah mencari jawaban di dalamnya.
"Tidak. Aku tidak bisa seperti ini terus. Aku harus bicara dengannya."
Tanpa ragu, Keynan bangkit, melangkah keluar dengan tekad yang sudah bulat. Ia berjalan menuju departemen tempat Axeline berada, namun langkahnya terhenti sejenak saat matanya menangkap pemandangan yang membuatnya menggeram kesal, dimana Axeline berbicara dengan seorang pria, begitu akrab, dengan senyum yang jarang ia lihat sejak kejadian itu.
Rahang Keynan mengatup, matanya menggelap. Dadanya terasa sesak, dan tanpa sadar tangannya mengepal erat.
Tanpa berpikir panjang, ia melangkah mendekat. Dengan suara yang cukup keras, ia berdeham, menghentikan percakapan mereka.
"EKHM!"
Axeline dan pria itu sontak menoleh, terkejut melihat Keynan yang berdiri tegak, menatap Axeline lekat-lekat dengan tatapan tajam yang penuh arti.
"Tu-Tuan Keynan!"
Keynan menatap tajam pria itu. Sekilas, ia melirik ID card yang tergantung di leher pria itu sebelum bersuara, dengan tegas dan dingin.
"Apa yang kalian lakukan? Apa aku mempekerjakan mu untuk bergosip?"
Wajah pria itu langsung pucat. Ia menelan ludah gugup sebelum buru-buru menggeleng. "Ma-maaf, Tuan. Sa-saya hanya menjelaskan sedikit hal yang Axeline tidak mengerti. Hanya itu. Kami tidak bergosip," ujarnya tergesa-gesa.
Keynan mendecak pelan, ekspresinya tetap datar namun penuh tekanan. "Kalau begitu, cepat kembali bekerja."
Pria itu mengangguk cepat dan langsung kembali ke mejanya, jelas tidak ingin membuat kesalahan lebih jauh.
Sementara itu, Keynan mengalihkan pandangannya pada Axeline. "Dan kau …" ucapnya sambil menunjuk tajam ke arahnya. "Ikut aku!"
Axeline mendengus kesal, menatap punggung Keynan yang sudah lebih dulu berjalan. Dia mengepalkan tangannya dan mengikuti pria itu yang berjalan dengan langkah cepat dan penuh tekanan.
Sesekali, Axeline melirik para karyawan yang mereka lewati, yang menatap mereka dengan rasa penasaran, tapi tidak ada yang berani mengeluarkan suara. Mereka hanya menunduk, seolah tidak ingin terlibat dengan apa yang terjadi.
Setelah berjalan cukup jauh, Keynan akhirnya berhenti di depan ruangannya, membuka pintu dengan kasar, lalu menatap Axeline tajam.
"Masuk."
Axeline menghela napas, menahan rasa kesalnya yang semakin memuncak, namun tetap melangkah masuk. Begitu ia berada di dalam, Keynan menutup pintu di belakangnya, menciptakan suasana tegang di antara mereka.
"Jangan pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan," suara Keynan terdengar rendah, tapi ada tekanan yang sulit diabaikan. "Kau menghindar dariku, berpura-pura tidak melihat ku dan menganggap ku tidak ada."
Axeline mendengus, menyilangkan tangan di depan dadanya. "Apa peduli mu? Bukankah lebih baik begini?"
"Lebih baik?" Keynan tertawa sinis, melangkah mendekat hingga jarak mereka semakin sempit. "Kau pikir aku bisa diam saja setelah semua ini?"
Axeline menatapnya, mencoba bersikap tenang meski dadanya berdebar tak karuan. "Apa lagi yang kau inginkan, Kak?"
Ruangan terasa hening setelah pertanyaan Axeline terlontar.
"Bukankah ini yang kau inginkan sejak awal? Lalu, kenapa setelah aku menghindar darimu, kau justru tidak terima?" Axeline terlihat bingung dengan sikap Keynan. Ia berusaha keras melupakan semuanya, perasaannya, kenangan yang menyakitkan, terutama, malam kelam yang merenggut segalanya darinya. Malam ketika kesuciannya direnggut oleh kakak sepupunya sendiri.
Ia hampir berhasil. Hampir bisa melangkah maju. Namun, Keynan justru menariknya kembali ke jurang yang ingin ia hindari.
Keynan terdiam. Kata-kata Axeline seperti hantaman telak yang membuatnya kehilangan suara. Dia tahu, apa yang dikatakan wanita itu benar. Tapi, mungkin alasan ia terus mengejarnya adalah karena rasa bersalah yang terus menghantuinya.
"Kau masih marah padaku?" suaranya terdengar lebih pelan. "Aku tahu, kesalahanku tidak bisa dimaafkan. Tapi, apa harus dengan menghindar?"
Axeline tertawa kecil, tawa yang terdengar lebih seperti ejekan. "Kau salah, Kak." Matanya menatap Keynan dengan sorot tajam. "Aku memang masih marah, bukan hanya karena perbuatanmu, tapi juga karena dirimu yang pengecut."
Keynan mengatupkan rahangnya, tangannya mengepal erat.
"Tapi, aku sadar apa yang kau katakan itu benar. Kita saudara. Tidak seharusnya kita terlalu intim. Jadi, lebih baik kita saling menjauh agar hal seperti itu tidak terulang lagi." Axeline berbalik, berniat pergi. Namun, baru beberapa langkah, lengannya tiba-tiba ditarik dengan kasar.
"Kak!"
Tanpa peringatan, tubuhnya terdorong ke dinding. Sebelum sempat memahami apa yang terjadi, Keynan sudah menghimpitnya, menatapnya dengan tatapan tajam dan emosi yang tidak bisa dijelaskan.
Kemudian, tanpa aba-aba, bibirnya menyergap bibir Axeline, membuat wanita itu tersentak. Kedua matanya melebar, tubuhnya menegang. Ia memberontak, mencoba mendorong pria itu, tapi kekuatannya jelas tidak sebanding dengan Keynan.
Marah, frustrasi, dan putus asa bercampur menjadi satu dalam dirinya. Tapi kemudian, tanpa ragu, ia menggigit keras bibir Keynan.
Pria itu tersentak mundur, merasakan rasa logam memenuhi mulutnya. Namun, sebelum ia bisa berkata apa pun, tiba-tiba ...
PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya.
Axeline menatapnya dengan mata yang berkilat penuh kemarahan dan air mata yang tertahan. "Jangan pernah lakukan itu lagi."
Dengan napas memburu, ia berbalik dan pergi, meninggalkan Keynan yang hanya bisa berdiri diam, merasakan perih di pipinya yang tidak lebih menyakitkan daripada perasaan yang kini berkecamuk di dadanya.