Ketegangan antara Kerajaan Garduete dan Argueda semakin memuncak. Setelah kehilangan Pangeran Sera, Argueda menuntut Yuki untuk ikut dikuburkan bersama suaminya sebagai bentuk penghormatan terakhir. Namun, Pangeran Riana dengan tegas menolak menyerahkan Yuki, bahkan jika itu berarti harus menghadapi perang. Di tengah konflik yang membara, Yuki menemukan dirinya dikelilingi oleh kebohongan dan rahasia yang mengikatnya semakin erat pada Pangeran Riana. Setiap langkah yang ia ambil untuk mencari jawaban justru membawanya semakin jauh ke dalam jebakan yang telah disiapkan dengan sempurna. Di sisi lain, kerajaan Argueda tidak tinggal diam. Mereka mengetahui ramalan besar tentang anak yang dikandung Yuki—anak yang dipercaya akan mengubah takdir dunia. Dengan segala cara, mereka berusaha merebut Yuki, bahkan menyusupkan orang-orang yang berani mengungkap kebenaran yang telah dikubur dalam-dalam. Saat pengkhianatan dan kebenaran saling bertabrakan, Yuki dihadapkan pada pertanyaan terbesar dalam hidupnya: siapa yang benar-benar bisa ia percaya? Sementara itu, Pangeran Riana berusaha mempertahankan Yuki di sisinya, bukan hanya sebagai seorang wanita yang harus ia miliki, tetapi sebagai satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Dengan dunia yang ingin merebut Yuki darinya, ia berjuang dengan caranya sendiri—menyingkirkan setiap ancaman yang mendekat, melindungi Yuki dengan cinta yang gelap namun tak tergoyahkan. Ketika kebenaran akhirnya terbongkar, akankah Yuki tetap memilih berada di sisi Pangeran Riana? Atau apakah takdir telah menuliskan akhir yang berbeda untuknya? Dalam Morning Dew V, kisah ini mencapai titik terpanasnya. Cinta, pengkhianatan, dan pengorbanan saling bertarung dalam bayang-bayang kekuasaan. Di dunia yang dipenuhi ambisi dan permainan takdir, hanya satu hal yang pasti—tidak ada yang akan keluar dari kisah ini tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9
Rapat telah berlangsung hingga larut malam, menyisakan hanya Bangsawan Xasfir dan Bangsawan Voldermon di ruangan itu bersama Pangeran Riana. Para penasihat lainnya telah pergi, meninggalkan keheningan yang hanya dipecahkan oleh suara perapian yang masih menyala di sudut ruangan.
Pangeran Riana, yang sejak tadi duduk tegak, akhirnya bergerak. Dengan hati-hati, ia menarik kursinya ke belakang.
Bangsawan Xasfir mengernyit, bingung melihatnya yang tiba-tiba berjongkok di bawah meja. “Apa yang kau lakukan?” tanyanya, suaranya penuh keheranan.
Namun, sebelum pertanyaan itu terjawab, Bangsawan Xasfir terperanjat ketika melihat apa yang terjadi di bawah meja kerja Pangeran Riana.
Yuki, dalam keadaan tertidur pulas, meringkuk di sana dengan napas yang teratur dan ekspresi wajah yang damai.
Pangeran Riana dengan lembut menyelipkan tangannya ke bawah tubuh Yuki, lalu mengangkatnya dengan penuh kehati-hatian ke dalam pelukannya. Seakan-akan, jika ia tidak cukup lembut, Yuki akan terbangun dan merasa tidak nyaman.
Bangsawan Xasfir menggelengkan kepala, masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Sejak kapan dia ada di sana?” tanyanya dengan nada tidak yakin.
Pangeran Riana tidak menjawab. Dia hanya membiarkan Yuki bersandar di dadanya, memperbaiki posisi agar lebih nyaman.
Bangsawan Voldermon, yang sejak tadi mengamati dengan tenang, akhirnya angkat bicara. “Mungkin kita bisa mengubah susunan meja agar ada kursi di belakang kursimu,” usulnya. “Agar dia bisa duduk menunggumu daripada terus bersembunyi di bawah meja.”
Pangeran Riana hanya diam, menatap wajah Yuki yang masih terlelap. Saran itu masuk akal, tapi dia tahu, Yuki mencari kehangatan dan perlindungan. Jika dia mengubah tempatnya, apakah Yuki masih akan merasa cukup aman?
...****************...
Yuki berjalan hati-hati di sepanjang lorong, memastikan langkahnya tidak menarik perhatian para pelayan. Hari ini, dia mengikuti permintaan Pangeran Riana untuk tidak lagi memanjat keluar jendela. Sebagai gantinya, dia mengambil jalan memutar menuju tangga di ujung lorong.
Saat mencapai anak tangga bawah, Yuki mendadak berhenti. Di depannya, sekelompok orang yang tampaknya berasal dari Argueda berdiri di tengah aula, berbicara satu sama lain.
Jantung Yuki berdetak lebih cepat. Dia tidak mengenali satu pun dari mereka.
Seorang lelaki tua dengan sorot mata tajam dan ekspresi galak menatapnya seolah sedang menilainya dari kepala hingga kaki. Dia memiliki janggut putih panjang, postur tegap meskipun usianya sudah lanjut, dan mengenakan jubah berat khas bangsawan tinggi Argueda.
Di sebelahnya, seorang pria paruh baya dengan wajah tenang dan mata yang sulit dibaca menatap Yuki dengan cara yang membuatnya tidak nyaman. Tatapannya bukan sekadar rasa ingin tahu, tapi ada sesuatu yang lain di dalamnya—sebuah penilaian yang Yuki tidak mengerti.
Namun, perhatian Yuki segera tertuju pada sosok ketiga.
Seorang pemuda berambut hitam berdiri sedikit di belakang mereka. Wajahnya masih muda, tapi tatapannya tajam dan penuh kewaspadaan. Ada sesuatu dalam dirinya yang terasa akrab, seolah-olah Yuki pernah mengenalnya sebelumnya. Namun, tidak peduli seberapa keras dia mencoba mengingat, ingatan itu tetap kabur, seperti bayangan di balik kabut.
Tubuh Yuki menegang. Dia tidak tahu siapa mereka, tapi firasatnya mengatakan bahwa mereka bukan sekadar tamu biasa.
Yuki membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata seolah tersangkut di tenggorokannya. Dia tidak tahu siapa orang-orang ini, namun tatapan mereka padanya membuatnya merasa seolah seharusnya dia mengenali mereka.
Pria paruh baya di tengah kelompok itu melangkah maju, senyumnya tipis namun matanya penuh arti. “Akhirnya Anda muncul juga, Putri Yuki,” katanya dengan nada yang terdengar ramah, tetapi ada ketegangan tersembunyi di baliknya.
Yuki menatapnya, masih bingung.
Pria itu melangkah mendekat. “Anda tidak mengenal saya?” tanyanya, nada suaranya terdengar penuh ironi. “Saya Gregor, Paman dari Pangeran Sera.”
Pangeran Sera…
Begitu nama itu disebut, Yuki merasakan sesuatu yang aneh. Kepalanya mendadak terasa berat, dan ada rasa nyeri yang menusuk di dalam tengkoraknya.
Nama itu—Sera—bergaung di kepalanya seperti suara jauh yang samar. Sera. Kenapa namanya terasa begitu akrab tetapi kosong di waktu yang bersamaan?
Dia menatap Paman Gregor, mencoba mencari petunjuk dalam ekspresinya, tetapi pria itu hanya menunggu. Seolah dia ingin melihat reaksi Yuki, ingin tahu sejauh mana ingatan yang dimilikinya.
Yuki akhirnya membuka suara dengan ragu, “Aku…” Dia terdiam sejenak.
Kakek tua di samping Paman Gregor mengerutkan kening, jelas tidak senang dengan jawaban itu. Sementara pemuda berambut hitam yang berdiri di belakang mereka tetap diam, tapi sorot matanya mengamati Yuki dengan tajam, seolah mencari sesuatu dalam ekspresi wajahnya.
Paman Gregor tersenyum tipis, meski sorot matanya tajam. “Begitu rupanya… benar-benar hilang ingatan, ya?” Ia menatap Yuki dari ujung kepala hingga ujung kaki, seakan mencari sesuatu yang hilang. “Sepertinya kita harus membicarakan banyak hal, Putri.”
Yuki menelan ludah. Ada sesuatu dalam nada bicara Paman Gregor yang membuatnya tidak nyaman.
“Banyak hal…” pria itu mengulangi.
Lalu ia menatap Yuki langsung dan berkata, “Mengenai Pangeran kami, Sera.”
Saat itu juga, rasa sakit di kepala Yuki semakin kuat.
Kelopak matanya bergetar, dan napasnya tercekat saat bayangan-bayangan asing berkelebat dalam pikirannya.
Sosok pria berambut pirang keemasan… berdiri di bawah sinar matahari, tersenyum padanya…
Tangan yang membelai rambutnya dengan lembut…
Tatapan hangat yang terasa akrab…
Tapi kemudian semuanya berubah.
Ada api. Ledakan. Darah.
Siluet pria itu kini berdiri di tengah kehancuran, tetapi wajahnya tidak terlihat jelas.
Jantung Yuki berdegup kencang. Tangannya secara refleks terangkat, mencengkeram pelipisnya, mencoba meredakan sakit yang tiba-tiba menyerang. Pandangannya berkunang-kunang.
Langkahnya goyah. Dunianya berputar.
“Putri?” Paman Gregor memanggilnya, tetapi suaranya terdengar jauh.
Yuki mundur selangkah, napasnya tersengal. Siapa dia? Kenapa namanya membuatku seperti ini?
Ia merasa tubuhnya hampir jatuh ke lantai.
Namun, sebelum itu terjadi, sepasang tangan kuat menangkapnya.
Pangeran Riana.
Yuki tidak tahu sejak kapan pria itu ada di sana. Tapi saat ia merasakan kehadiran Pangeran Riana, tanpa berpikir panjang, ia langsung mencengkeram lengan pria itu, meremas kain di dadanya dengan cengkeraman erat—seolah takut Pangeran Riana akan pergi.
“Cukup,” suara Pangeran Riana terdengar dingin dan tajam, penuh peringatan. Tatapannya menusuk ke arah Paman Gregor dan orang-orang Argueda yang berdiri di hadapannya. “Jangan memaksanya mengingat sesuatu yang tidak perlu dia ingat.”
Paman Gregor tidak langsung menjawab, tetapi ekspresinya menunjukkan ketidakpuasan yang jelas. Namun, perhatian Pangeran Riana tidak teralihkan sedikit pun darinya. Ia merasakan tubuh Yuki yang lemah di dalam pelukannya. Jemari gadis itu masih mencengkeram erat pakaiannya, seolah berusaha bertahan dari sesuatu yang tak terlihat.
Lalu, suara lirih terdengar dari bibir Yuki.
“Sera…”
Nama itu meluncur begitu saja, seperti bisikan halus yang hampir tertelan udara.
Pangeran Riana merasakan tubuh Yuki menegang sesaat, lalu bergetar pelan.
Di balik matanya yang tertutup, bayangan-bayangan berkelebat dalam pikirannya. Momen-momen samar yang terfragmentasi, berwarna keemasan dan buram.
Tangan yang membelai rambutnya dengan lembut…
Senyuman hangat di bawah sinar matahari…
Desahan napas di antara keheningan malam…
Kenangan itu seharusnya indah, tetapi yang Yuki rasakan hanyalah kesedihan yang menyusup hingga ke tulangnya.
Kemudian, suara itu terdengar.
“Kau harus hidup, Yuki… setidaknya sampai anak-anakmu tidak membutuhkanmu lagi.”
Suara yang familiar. Yang hangat. Tetapi juga menyakitkan.
Namun Yuki tidak tahu kapan—di antara banyaknya ingatan yang tumpang tindih—kata-kata itu pernah diucapkan.
Pusing itu semakin menjadi.
Denyutannya begitu menyakitkan, seperti ada sesuatu yang pecah di dalam kepalanya. Pandangannya semakin gelap, dan sebelum ia bisa mengerti apa yang sedang terjadi, kekuatannya sepenuhnya menghilang.
Tubuhnya merosot.
Pangeran Riana langsung menangkapnya sebelum ia jatuh.
“Yuki!”
Pangeran Riana menariknya erat ke dalam pelukan, wajahnya berubah tegang saat menyadari Yuki telah pingsan. Nafas gadis itu berat, tubuhnya terasa dingin.
Pangeran Riana memeluknya lebih erat, tatapannya beralih pada Paman Gregor dan rombongannya dengan sorot mata tajam dan penuh ancaman.
Ini salah mereka.
Dengan tanpa berkata apa-apa lagi, Pangeran Riana membalikkan tubuh dan mengangkat Yuki dalam gendongannya. Tanpa peduli pada tatapan orang-orang di sekitarnya, ia melangkah pergi, membawa Yuki menjauh dari mereka semua.
Sejauh mungkin.
...****************...
Kakek Veyron memperhatikan semuanya dengan diam, matanya yang sudah renta menelusuri setiap kejadian dengan penuh pemahaman. Ia telah menyelidiki semuanya, mencari kebenaran di balik lapisan-lapisan dusta dan kepalsuan.
Kematian cucunya yang paling ia sayangi meninggalkan luka yang dalam di hatinya. Luka yang tak bisa sembuh meski waktu terus berlalu. Namun, meskipun rasa kehilangan itu begitu menyakitkan, ia tahu satu hal dengan pasti—ini bukan salah Yuki.
Dari awal, Sera lah yang menyalahi takdirnya.
Sera yang menginginkan sesuatu yang seharusnya tidak pernah menjadi miliknya. Sera yang memaksakan kehendaknya, memaksa Yuki untuk menjadi bagian dari dunianya, meskipun ia tahu gadis itu tidak bisa dipaksa.