"Pergi kamu dari sini! Udah numpang cuma nambah beban doang! Dasar gak berguna!"
Hamid dan keluarganya cuma dianggap beban oleh keluarga besarnya. Dihina dan direndahkan sudah menjadi makanan sehari-hari mereka. Hingga pada akhirnya mereka pun diusir dan tidak punya pilihan lain kecuali pergi dari sana.
Hamid terpaksa membawa keluarganya untuk tinggal disebuah rumah gubuk milik salah satu warga yang berbaik hati mengasihani mereka.
Melihat kedua orangtuanya yang begitu direndahkan karena miskin, Asya pun bertekad untuk mengangkat derajat orangtuanya agar tidak ada lagi yang berani menghina mereka.
Lalu mampukan Asya mewujudkannya disaat cobaan datang bertubi-tubi mengujinya dan keluarga?
Ikuti terus cerita perjuangan Asya di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Araya Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
"Asyafa, Dini! Apa yang kalian lakukan?"
Asya berbalik untuk melihat siapa yang datang. Ternyata itu beberapa santri yang mungkin sedang lewat dan mendengar kegaduhan antara Asya dan Dini.
Tiga santri itu melihat keadaan di sana lalu menatap Dini dan Asya berganti.
"Aku cuma negur Asya biar gak buang-buang makanan tapi dia malah marah sama aku," kata Dini dengan nada yang dibuat selirih mungkin.
"Astagfirullah. Niat Dini baik loh, Sya. Kok kamu malah marah sih?" tanya salah satu dari mereka.
"Iya, sampai mukul tangan Dini segala lagi. Kasar banget sih kamu," tambah yang lain saat melihat tangan Dini yang memerah. Padahal Asya merasa jika tadi dia tidak begitu keras memukul tangan Dini yang menjambak rambut dan jilbabnya. Oh iya Asya lupa jika Dini memiliki kulit yang sangat putih jadi wajar jika dengan pukulan pelan saja membuat tangannya jadi memerah.
"Gak kayak gitu kejadiannya." Asya mencoba membela diri. "Justru Dini---"
"Ada apa ini?" ucapan Asya terpotong ketika suara seseorang mengerupsi di sana.
"Eh, Bu Mawar." Mendengar nama itu disebut membuat Asya langsung menoleh ke arah wanita paruh baya yang sedang mendekat ke arah mereka. Sama seperti tiga gadis tadi, iris Bu Mawar juga jatuh pada makanan yang berserakan di atas tanah.
'Aduh! Gawat! Itu kan makanan pemberian dari Bu Mawar. Dia pasti bakalan berpikir yang enggak-enggak.' Batin Asya.
"Makanannya kok dibuang, Sya?" tanya Bu Mawar.
"Katanya makanannya gak enak, Bu. Makanya dibuang sama Asya."
Asya baru akan angkat bicara namun Dini sudah mendahuluinya. Gadis itu sampai ternganga seakan tidak percaya jika sepupunya itu bisa setega itu memfitnahnya. Rasanya semua orang yang namanya Dini dalam hidup Asya itu pada nyebelin banget.
"Bener itu, Sya?" Bu Mawar tidak percaya begitu saja.
"Enggak, Bu!" Tentu saja Asya mengelak sebab dia memang tidak seperti itu. "Tadi saya kesandung di kakinya Dini terus makanannya jatuh dan tumpah semua," katanya mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
"Bohong, Bu!" Tidak. Itu bukan Dini yang angkat bicara. Tapi, salah satu santri yang sudah termakan ucapan bohong Dini.
"Nih, buktinya tangan Dini sampai memerah hampir memar karna dipukul sama Asya," katanya lagi membuat Bu Mawar menoleh dan melihat tangan Dini yang semakin memerah dan sedikit bengkak.
"Astagfirullah! Dini tangan kamu!" Bu Mawar jadi panik dan khawatir di sana.
Dini langsung memasang wajah sedih di sana. "Sakit banget, Bu," lirihnya sudah hampir menangis.
"Ayo, Ibu obatin dulu ya," kata Bu Mawar. Mereka pun pergi dari sana meninggalkan Asya sendirian. Dini sempat menoleh sebentar untuk tersenyum ke arah Asya. Senyum penuh kemenangan karena dia sudah berhasil membuat nama Asya kembali jelek di depan Bu Mawar.
Sampai di rumah Bu Mawar.
"Kalo begitu kami pamit ya, Bu," kata salah satu santri yang ikut mengantar Dini ke sana.
"Iya," jawab Bu Mawar.
"Makasih ya," ujar Dini pada ketiga santri yang telah membantunya itu.
"Iya sama-sama. Kalo gitu kita pamit dulu ya. Assalamualaikum."
"Walaikumsalam," jawab Dini dan Bu Mawar bersamaan.
Mereka bertiga pun pergi dari sana bersamaan dengan Bu Mawar yang masuk ke dalam dapur mengambil es batu yang akan digunakan untuk mengompres tangan Dini.
"Ya ampun! Saya jadi gak enak sama Bu Mawar," kata Dini ketika wanita itu datang dengan es batu yang telah dimasukkan ke dalam sebuah kantong khusus.
Bu Mawar tersenyum simpul. "Gak apa-apa. Sini tangan kamu Ibu bantuin kompres," katanya.
Dini dengan senang hati mengulurkan tangannya ke arah Bu Mawar. Wajah wanita itu berubah sendu melihat pergelangan tangan Dini.
"Ya Allah! Ini pasti sakit banget ya?" tanya Bu Mawar sungguh kasihan dengan keadaan Dini.
Gadis itu tersenyum canggung lalu menjawab, "Sedikit, Bu."
"Tahan sebentar ya. Nanti kalo udah dikompres sakit dan bengkaknya akan berkurang," kata Bu Mawar.
"Iya, Bu," timpal Dini. Bu Mawar dengan hati-hati pun mengompres tangan Dini. Gadis itu meringis pelan merasakan sakit ketika Bu Mawar sedikit menekan tangannya yang memerah itu.
"Maaf. Sakit banget ya?" tanya Bu Mawar jadi merasa tidak enak namun Dini segera menggeleng dan mengatakan itu hanya sakit sedikit saja.
Mungkin benar yang berada di depan Bu Mawar sekarang adalah Dini, namun pikirannya saat ini justru jatuh pada Asya. Wanita itu masih ingat betul bagaimana raut wajah bahagia Asya saat menerima makanan tadi darinya. Itu bukanlah ekspresi yang dibuat-buat. Lalu beberapa menit berlalu saat Bu Mawar hendak memeriksa sesuatu dia melihat Asya yang katanya membuang makanan darinya.
Entah kenapa Bu Mawar tidak bisa mempercayai hal tersebut. Tidak peduli ada empat orang yang mengatakan jika Asya sungguh membuang makanan tersebut. Rasanya tidak mungkin Asya membuang makanan itu hanya dengan alasan tidak enak. Lagipula masakan Bu Mawar itu enak loh.
Lamunan Bu Mawar buyar ketika seseorang memberi salam.
"Assalamualaikum," salam seorang pria. Siapa lagi jika bukan Ustad Tiar.
"Walaikumsalam," jawab Bu Mawar hampir bersamaan dengan Dini yang seketika memperbaiki penampilannya sembari tersenyum manis.
"Kamu udah pulang, Nak," kata Bu Mawar mengulurkan tangannya untuk dicium oleh Ustad Tiar.
"Iya, Bu," jawab Ustad Tiar lalu menoleh ke arah Dini. Tepatnya ke tangan Dini.
"Itu tangan kamu kenapa?" tanya Ustad Tiar.
Mendapat pertanyaan tiba-tiba dari pria yang sangat disukainya membuat Dini salah tingkah. Sebab baginya itu bukan pertanyaan namun perhatian kecil yang membuat hatinya berbunga-bunga.
"Tangan saya dipukul sama Asya tadi," jawab Dini memasang raut wajah sedih sambil mengelus tangannya yang sudah tidak terlalu bengkak lagi.
"Apa?" Ustad Tiar terkekeh kecil seakan tidak habis pikir. "Kayaknya Asya itu tidak bisa ya sehari aja gak bikin ulah," komentar Ustad Tiar dengan nada kesal.
"Iya, Ustad. Padahal saya---"
"Tangan kamu udah baik-baik aja, Dini," potong Bu Mawar dengan cepat. "Sekarang lebih baik kamu kembali ke kamar kamu ya. Soalnya bentar lagi masuk waktu shalat ashar." Wanita itu memberikan alibi yang tak mungkin bisa dielak oleh Dini.
"Oh, iya, Bu," kata Dini berdiri dari tempatnya. "Makasih ya, Bu Mawar. Saya pamit dulu, assalamualaikum," lanjutnya kemudian berlalu dari sana dengan sedikit berat hati. Padahal dia sudah di beri kesempatan buat bisa bicara dengan Ustad Tiar. Tapi, tidak apa-apa. Setidaknya dia berhasil membuat nama Asya kembali jelek.
Dini menatap ke arah tangannya lalu memegangnya.
"Sssttthhh! Sakit juga," gumamnya rada kesal. Tadi dia menyuruh salah satu santri yang memergokinya dengan Asya memegang erat tangannya. Pukulan tangan Asya memang sudah lumayan sakit namun Dini ingin lebih mendramatisir keadaan dan itu berhasil meski dia harus menahan sakit, tapi tidak apa-apa. Dini sangat puas dengan hasilnya. Bahkan kedatangan ketiga santri itu juga atas suruhan Dini.
Ya itulah Dini dengan segala ide liciknya.
****
n memberitahu klo dia adalah tulang punggung kluarganya n ada utang yg harus dibayar
saran saya kalau bisa ceritanya s lanjutkan terus supaya pembaca tidak terputus untuk membaca novelnya, karena kalau suka berhenti sampai berhari hari baru muncul kelanjutan bab nya mana pembaca akan bosan menunggu,