Adisti sudah mengabdikan hidupnya pada sang suami. Namun, ternyata semua sia-sia. Kesetiaan yang selalu dia pegang teguh akhirnya dikhianati. Janji yang terucap begitu manis dari bibir Bryan—suaminya, ternyata hanya kepalsuan.
Yang lebih membuatnya terluka, orang-orang yang selama ini dia sayangi justru ikut dalam kebohongan sang suami.
Mampukah Adisti menjalani kehidupan rumah tangganya yang sudah tidak sehat dan penuh kepalsuan?
Ataukah memilih berpisah dan memulai hidupnya yang baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Curiga pada Nadia
"Bu, ini laporan butik bulan ini," ucap Nadia sambil meletakkan sebuah map di atas meja kerja atasannya.
Adisti pun mengambilnya dan segera memeriksa. Namun, dia heran karena Nadia masih tetap berdiri di sampingnya. Wanita itu yakin pasti ada sesuatu yang ingin asistennya sampaikan. Hingga beberapa menit belum ada tanda-tanda pembicaraan.
"Ada apa? Katakan saja," ucap Adisti tanpa melihat ke arah asistennya.
Nadia pun memberanikan diri melihat ke arah atasannya dan bertanya, "Apa benar Anda sudah mengambil rumah yang dibeli oleh Tuan Bryan?"
Adisti mengerutkan keningnya sambil menatap sang asisten. "Kenapa kamu bertanya mengenai hal itu? Tidak biasanya kamu ikut campur urusanku, apalagi mempertanyakan sesuatu yang sudah aku lakukan? Biasanya kamu selalu mendukungku. Apa saat ini kamu sudah berubah haluan? Ingin berpihak pada mereka?"
"Tidak, Bu. Saya hanya merasa kasihan pada Pak Bryan. Bagaimanapun juga selama ini dia sudah menjadi suami Anda."
Adisti yang tadinya sudah membuka map di depannya pun kembali menutupnya dengan pelan. Wanita itu menatap tajam ke arah asistennya, yang selama ini selalu mendukungnya. Namun, hari ini tiba-tiba saja berubah. Hal ini semakin membuat Adisti tidak mempercayai orang lain.
"Dia memang melakukan tugas suami dengan benar, tapi apa kamu tahu apa yang sudah dia lakukan di belakangku? Aku sudah memberinya jabatan sebagai salah satu orang berpengaruh di perusahaan teman almarhum papaku. Aku juga memberinya semua fasilitas di rumah untuk menjadi miliknya dan bisa dia gunakan sesuka hati. Aku juga memberi uang bulanan ibunya serta membiayai kuliah adiknya. Aku menghormati seluruh keluarganya dan menganggap mereka seperti keluarga sendiri, tapi apa yang kamu lihat pada akhirnya? Dia menghianatiku dengan menikahi wanita lain. Tidak hanya itu saja, dia juga korupsi di perusahaan dan menghabiskan banyak uang untuk wanita itu. Di mana letak kebaikan dalam dirinya, yang mengharuskan aku mempertimbangkan apa yang sudah aku lakukan padanya? Sudah terlalu banyak luka yang dia berikan padaku, padahal aku telah memberikan dia banyak kenikmatan. Seharusnya dia tahu diri dan berterima kasih atas apa yang sudah aku berikan, tapi dasar dia tidak tahu diri sehingga bertingkah," ujar Adisti dengan berapi-api.
Dia sudah sangat membenci sang suami, setiap ada orang yang menyebut nama pria itu, membuat Adisti ingin mengeluarkan tanduknya. Dia tidak bisa mentolerir sebuah pengkhianatan, siapa pun pelakunya.
Nadia hanya menundukkan kepala, dia tahu saat ini atasannya sangat marah. Bukan maksudnya untuk mencampuri urusan sang atasan, hanya saja wanita itu menyayangkan pernikahan Adisti dan Bryan. Selama ini mereka terlihat begitu romantis dan harmonis meski tanpa kehadiran seorang anak. Namun, setelah mendengar apa yang dikatakan Adisti, Nadia jadi merasa bersalah. Seharusnya dia tahu jika atasannya tidak akan melakukan sesuatu tanpa sebab.
"Maafkan saya, Bu. Saya tidak bermaksud untuk ikut campur urusan Ibu," ucap Nadia dengan penuh rasa sesal.
"Tidak masalah. Kamu berhak mengutarakan apa yang ada dalam hatimu. Daripada kamu membicarakanku di belakang, lebih baik mengatakannya secara langsung. Aku lebih suka seperti itu dan jangan sampai kamu juga mengikuti jejak suamiku dengan menghianatiku. Kamu tentu tahu apa yang bisa aku lakukan jika sampai itu terjadi, aku tidak akan suka melakukan sesuatu pada orang yang menghianatiku. Bahkan keluarganya pun bisa ikut merasakannya."
Seketika tubuh Nadia merinding, sungguh tidak ada maksud apa pun dalam perkataannya tadi, tapi kenapa kata-kata Adisti terdengar begitu mengerikan. Dia memang sudah lama menjadi asisten. Namun, tidak pernah terjadi sesuatu seperti kali ini. Biasanya hanya masalah kecil.
"Maaf, Bu. Sekali lagi saya minta maaf."
Adisti mengangguk dan memberikan kode pada Nadia agar segera meninggalkan ruangannya. Adisti pun kembali sibuk dengan map yang ada di depannya. Setelah memastikan asistennya benar-benar pergi, dia pun mencoba menghubungi Leo lewat sambungan telepon.
"Ada apa lagi kamu menghubungiku? Bukankah aku sudah membantumu untuk menyingkirkan para penghianat itu?" tanya Leo kesal karena merasa istirahatnya terganggu.
"Aku butuh bantuanmu sekali lagi. Cari tahu tentang Nadia sekretarisku, apakah dia juga bagian dari penghianat atau tidak."
"Wah! Banyak sekali orang yang membuatmu hancur, sampai semuanya orang terdekat," cibir Leo. Namun, tidak digubris oleh Adisti sama sekali.
"Segera selidiki saja semuanya. Jangan terlalu banyak bertanya."
"Baiklah, jangan lupa transferannya, uangku sudah menipis."
"Tentu." Adisti segera memutuskan sambungan telepon secara sepihak.
Hal itu membuat Leo mendengus kesal. Namun, dalam hati tersenyum karena uangnya kembali bertambah. Dia bukan pria yang suka hura-hura, Leo lebih suka menggunakan uangnya untuk bisnis. Saat ini dia sangat membutuhkan uang tersebut karena sangat tahu jika Adisti selalu membayarnya dengan mahal.
Sementara itu, Adisti masih terdiam di meja kerjanya. Wanita itu memikirkan segala kemungkinan yang akan dia lakukan setelah mengetahui kebenaran tentang Nadia. Entah asistennya itu setia atau memang benar penghianat. Dalam hati Adisti berharap bahwa apa yang dia takutkan tidak benar karena selama ini, wanita itu cukup percaya pada asistennya.
Namun, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Buktinya saja Arsylla yang selama ini Adisti anggap seperti saudara juga penghianat, bahkan lebih parahnya dia adalah dalang dari semua ini. Itu semua dilakukan hanya karena rasa irinya yang disimpan bertahun-tahun. Sungguh sangat miris sekali hidup ini.
Tidak adakah orang yang benar-benar tulus pada Adisti dan menganggap seperti saudara? Apakah seumur hidupnya dia harus seperti ini, sendiri tanpa dikelilingi oleh siapa pun. Terkadang wanita itu juga merasa lelah, ingin sekali hidup seperti orang lain, berbahagia dengan suami dan keluarga. Adisti juga menginginkan seorang anak, tetapi dia bisa berbuat apa saat Tuhan memang belum memberi rezeki-Nya.
Mungkin itu juga pertanda bahwa dirinya dan sang suami memang bukan jodoh dunia akhirat. Adisti menghubungi seorang pengacara yang selama ini membantunya dalam segala urusan, juga termasuk perusahaan. Dia ingin pengacara itu mengurus perceraian dan persidangan, berharap semuanya bisa segera berakhir dengan cepat. Kemarin dia mendapat pesan dari pengacara sebelumnya mengurus perceraiannya yang harus ke luar negeri jadi, terpaksa harus mencari penggantinya. Adisti juga tidak ingin mengulur waktu. Persidangan akan dilakukan seminggu lagi.
"Apa saya boleh tahu alasannya, kenapa Anda ingin menggugat cerai Pak Brian? Karena setahu saya hubungan Anda dan suami cukup baik selama ini. Apa Pak Bryan melakukan kekerasan?" tanya pengacara itu dengan hati-hati, takut jika menyinggung perasaan kliennya.
"Dia sudah menghianatiku. Dia telah menikah dengan wanita lain tanpa persetujuan dariku. Dia juga menggelapkan dana perusahaan. Namun, itu tidak masalah bagiku. Aku bisa mengatasinya. Yang paling penting sekarang adalah segera urus perceraianku. Pastikan juga Bryan tidak bisa menuntut harta gono gini dan tidak bisa mendapatkan apa pun dariku. Dia harus kembali ke tempat di mana dia berasal. Kamu tentu mengerti apa yang aku inginkan."
"Tentu, buat saya itu hal yang sangat mudah. Apalagi dari awal suami Anda juga tidak membawa apa-apa saat menikah. Semuanya berasal dari keluarga, untungnya saham perusahaan juga masih milik papa Anda. Butik juga sudah Anda miliki sebelum menikah."
"Iya, aku memang sengaja tidak mengubah nama pemilikan, takut jika hal seperti ini akan terjadi."
"Baiklah, akan segera saya urus semuanya. Besok saya akan datang menemui Anda untuk mengambil beberapa berkas yang saya butuhkan."
"Silakan saja, rumah saya selalu terbuka untuk Anda."
Adisti pun segera mengakhiri panggilan tanpa banyak berbasa-basi. Sekarang dia harus siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi, bahwa suaminya akan menentang dengan rencananya untuk bercerai. Entah kenapa semua ini harus terjadi padanya. Wanita itu sangat ingat dulu saat memutuskan untuk menikah dengan Bryan, mamanya sangat menentang hal itu karena dari pandangan pertama mamanya tidak menyukai pria itu.
Berbeda dengan sang papa yang menyerahkan semua keputusan padanya. Saat itu Adisti mencoba segala cara agar bisa meluluhkan sang mama dan membuat wanita itu merestui pernikahannya. Sampai akhirnya mamanya pun akhirnya setuju juga meski dengan keadaan terpaksa. Kini kekhawatiran sang mama terbukti, pernikahannya hancur begitu saja serta menorehkan luka yang begitu dalam.
"Ma, maafkan aku yang tidak mendengarkan kata-kata mama. Seandainya dulu mama tetap kekeh menolak pernikahan ini ... tidak! Seharusnya aku yang tidak keras kepala dan meminta mama untuk menyetujui pernikahanku. Pasti sampai saat ini semuanya akan baik-baik saja dan mungkin aku bisa menikah dengan pria lain, tapi sayangnya ini memang bagian takdir dari hidupku. Maafkan aku. Ma," gumam Adisti di tengah rasa sepi yang dia rasakan.