Demi menjaga kehormatan keluarga, Chandra terpaksa mengambil keputusan yang tidak pernah terbayangkan: menikahi Shabiya, wanita yang seharusnya dijodohkan dengan kakaknya, Awan.
Perjodohan ini terpaksa batal setelah Awan ketahuan berselingkuh dengan Erika, kekasih Chandra sendiri, dan menghamili wanita itu.
Kehancuran hati Chandra membuatnya menerima pernikahan dengan Shabiya, meski awalnya ia tidak memiliki perasaan apapun padanya.
Namun, perlahan-lahan, di balik keheningan dan ketenangan Shabiya, Chandra menemukan pesona yang berbeda. Shabiya bukan hanya wanita cantik, tetapi juga mandiri dan tenang, kualitas yang membuat Chandra semakin jatuh cinta.
Saat perasaan itu tumbuh, Chandra berubah—ia menjadi pria yang protektif dan posesif, bertekad untuk tidak kehilangan wanita yang kini menguasai hatinya.
Namun, di antara cinta yang mulai bersemi, bayang-bayang masa lalu masih menghantui. Bisakah Chandra benar-benar melindungi cintanya kali ini, atau akankah luka-luka lama kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A Night of Tension
Pesta pertunangan Erika dan Awan berlangsung di sebuah ballroom mewah di salah satu hotel paling bergengsi di kota. Lampu kristal raksasa menggantung dari langit-langit, menyinari lantai dansa yang dipenuhi oleh tamu-tamu berkelas. Meja-meja yang dihiasi bunga mawar putih dan emas membentang di seluruh ruangan, sementara suara musik jazz lembut mengisi udara. Semua orang tampak menikmati kemewahan yang ditawarkan malam itu, namun di antara gemerlapnya pesta, ada ketegangan yang tak terlihat—terutama dari sudut pandang Erika.
Meskipun senyum manis terpampang di wajahnya, matanya berkilat dengan amarah yang tak bisa ia sembunyikan sepenuhnya. Sebagian besar perhatian tamu justru tertuju pada Shabiya, wanita yang datang dengan mengenakan gaun hitam panjang yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Kilauan perhiasan sederhana namun elegan menghiasi leher dan pergelangan tangannya. Rambutnya yang digelung tinggi memperlihatkan leher jenjangnya, sementara riasan wajahnya menonjolkan kecantikan alami yang memikat. Ia tidak melakukan apa pun untuk mencuri perhatian, tapi tetap saja semua mata tertuju padanya, termasuk mata Awan.
Dengan potongan yang sempurna, gaun itu menonjolkan kecantikan Shabiya tanpa kehilangan sentuhan kemewahan dan kelas. Punggungnya yang terbuka, kaki panjang yang terlihat dari belahan gaunnya, membuat semua tamu pria tidak bisa menahan diri untuk tidak meliriknya.
Di sisi lain ruangan, Chandra berdiri dengan aura penuh kendali. Jas hitamnya terjahit sempurna, memberikan kesan pria yang tidak hanya berkuasa tetapi juga berbahaya. Satu tangannya dengan santai melingkar di pinggang Shabiya, sebuah pengumuman tanpa kata bahwa wanita ini adalah miliknya. Wajahnya tampak tenang, hampir dingin, tapi matanya yang gelap mengawasi setiap gerakan tamu pria yang mencoba mendekati istrinya. Bahkan ketika ia berbicara dengan tamu lain, perhatiannya tidak pernah sepenuhnya teralihkan dari Shabiya.
Shabiya, yang merasakan lengan Chandra di pinggangnya, hanya tersenyum kecil. Ia tahu ini adalah reaksi yang diharapkan dari suaminya—posesif dan protektif. Namun, malam ini, Shabiya membiarkan dirinya dinikmati, seolah ingin membuktikan sesuatu. Setiap kali tatapan kagum dari pria lain tertuju padanya, Shabiya bisa merasakan genggaman Chandra semakin erat, dan itu membuatnya merasa puas.
“Apa kau selalu seperti ini di pesta? Seperti penjaga yang tidak pernah lengah?” gumam Shabiya dengan nada setengah bercanda, setengah terganggu. Ia memiringkan kepalanya sedikit, menatap Chandra dengan tatapan yang menantang.
Chandra hanya mengangkat satu alisnya. “Hanya ketika aku tahu betapa berharganya apa yang aku miliki,” jawabnya pelan, tapi nadanya mengandung tekad yang tak tergoyahkan. “Kau tahu apa yang aku maksud, Shabiya.”
Erika, yang seharusnya menjadi pusat dari malam ini, hanya bisa menyaksikan dari kejauhan. Ia berdiri di sisi Awan, tapi matanya tak pernah lepas dari Shabiya dan Chandra. Awalnya, Erika merasa percaya diri bahwa semua perhatian akan tertuju padanya, tapi nyatanya, pesona Shabiya begitu kuat. Gaun hitam itu, tubuh sempurna Shabiya, dan tentu saja, keintiman antara Chandra dan Shabiya yang jelas terlihat. Setiap kali Chandra menunduk untuk berbicara di telinga Shabiya atau ketika ia dengan halus mencium pipi istrinya, Erika bisa merasakan amarahnya semakin berkobar.
Erika memperhatikan mereka dengan mata berapi-api. Melihat betapa protektifnya Chandra terhadap Shabiya membuat darahnya mendidih. Dulu, perhatian seperti itu adalah sesuatu yang ia dambakan dari Chandra, tetapi sekarang ia merasa seperti penonton yang diabaikan dalam drama mereka.
Yang lebih menyakitkan adalah melihat cara Awan, tunangannya sendiri, mencuri pandang ke arah Shabiya. Tatapan itu tidak salah lagi — kekaguman yang tidak sepantasnya bagi seorang pria yang akan menikah. Erika mengepalkan tangannya di sisi gaunnya, mencoba menahan diri untuk tidak membuat keributan di tengah pesta mewah ini.
"Awan, kau dengar apa yang kukatakan?" Erika mencoba menarik perhatian Awan yang tampak melamun.
Awan sedikit tersentak, mengalihkan pandangannya dari Shabiya. "Maaf, sayang, aku... sedang memikirkan sesuatu."
"Apa yang kau pikirkan?" Erika menyipitkan mata, menekan suaranya. "Atau lebih tepatnya, siapa yang sedang kau pikirkan?"
Awan mengerutkan kening, mencoba menjaga ketenangannya. "Kau tahu ini malam kita, Erika. Jangan buat masalah di depan orang banyak."
Namun, Erika tahu ada sesuatu yang berubah dalam Awan. Ia mengenali tatapan pria itu, sama seperti dulu ketika Awan pertama kali mulai menunjukkan minat pada dirinya. Sekarang, tatapan itu diarahkan pada Shabiya, dan itu membuat Erika semakin tersulut. Ia tak tahan melihat Chandra begitu melindungi istrinya, sementara Awan mulai memperlihatkan ketertarikan pada wanita lain di hadapannya.
Ketika Shabiya dan Chandra melangkah ke lantai dansa, semua mata tertuju pada mereka. Bahkan Erika tak bisa mengalihkan pandangannya. Chandra merangkul pinggang Shabiya dengan penuh percaya diri, sementara Shabiya tersenyum lembut, meskipun Erika bisa melihat ada sesuatu yang tersirat di balik senyumnya itu—sebuah rasa kemenangan. Bagi Erika, senyum Shabiya itu bukan hanya senyum wanita yang bahagia dengan suaminya, melainkan senyum yang menyadari bahwa dirinya telah menjadi pusat perhatian, sesuatu yang seharusnya menjadi milik Erika malam itu.
Tatapan Erika semakin membara, amarahnya sudah mendidih. Ia tak tahan melihat betapa intimnya Chandra dan Shabiya di depan umum. Tangannya mengepal, seolah-olah itu adalah satu-satunya cara untuk meredam emosinya.
Sementara itu, di sisi lain ruangan, Chandra terus menari dengan Shabiya di pelukannya, merasa bahwa dunia hanya milik mereka berdua untuk sementara waktu. Ia tahu semua mata tertuju pada mereka, tapi yang terpenting adalah bahwa ia ada di sana, bersama istrinya.
"Chandra..." Shabiya berbisik di telinga suaminya, nada suaranya lembut, tapi penuh arti. "Apa kau merasa terganggu dengan gaunku malam ini?"
Chandra menatapnya dengan tatapan mendalam, sejenak kehilangan kata-kata. "Ya... tapi bukan karena gaunnya. Kau adalah milikku, Shabiya. Dan aku tidak akan berbagi.”
***
Setelah tarian yang intens itu berakhir, Chandra dan Shabiya perlahan berjalan menuju Erika dan Awan. Di sekitar mereka, pesta masih berlangsung meriah, dengan tamu-tamu yang berkeliling menikmati suasana gemerlap. Cahaya lembut dari lampu kristal menerangi ballroom, memberikan sentuhan kemewahan yang sempurna untuk malam pertunangan Erika dan Awan. Namun, di antara percikan lampu dan tawa, ada ketegangan yang tersembunyi, sesuatu yang tidak terucap namun terasa berat di udara.
Chandra, dengan karisma yang memancar dari setiap gerakannya, memimpin Shabiya kembali ke tepi ruangan. Tangannya yang kokoh tetap melingkari pinggang istrinya, seolah-olah memastikan bahwa ia selalu ada untuk melindunginya.
Chandra melirik Shabiya di sampingnya, tubuhnya masih berkilauan dari refleksi lampu. Gaun hitamnya yang sensual membuatnya terlihat seperti sosok yang terlalu anggun dan memikat untuk dibiarkan berjalan sendiri tanpa perlindungan. Chandra menyadari bahwa tatapan Awan sudah lebih lama terarah ke tubuh istrinya daripada yang seharusnya. Mata Awan bagaikan serigala lapar yang memandang mangsanya, mengikuti setiap gerak Shabiya dengan intensitas yang tak menyenangkan. Chandra bisa merasakan kecemburuan di dalam dirinya mulai bergejolak.
“Kau memikat setiap mata di ruangan ini,” bisik Chandra dengan suara rendah namun tegas saat mereka berjalan. Suaranya mengandung nada kepemilikan yang tidak bisa disangkal. “Tapi hanya aku yang berhak melihatmu seperti ini.”
Shabiya mendengus kecil. “Kalau begitu, kau seharusnya tidak mengajakku ke sini.” Nada bicaranya terdengar santai, tapi matanya menantang, memandang suaminya dengan keberanian yang tak goyah.
Chandra hanya tersenyum tipis, senyuman yang tak sepenuhnya ramah, lebih seperti senyuman seorang pria yang tahu ia memegang kendali. “Kau adalah istriku, Shabiya. Kita melakukannya bersama, suka atau tidak suka.” Suaranya rendah, namun nada tegasnya cukup untuk mengakhiri pembicaraan lebih lanjut.
Ketika mereka akhirnya sampai di hadapan Erika dan Awan, Shabiya tersenyum sopan, tetapi ada sesuatu yang licik di balik senyumnya. Erika membalas dengan tatapan serupa, seolah-olah keduanya sudah bersiap untuk duel yang tak terlihat oleh mata orang lain. Mereka mengucapkan selamat, tapi suasana percakapan itu penuh dengan sindiran halus. Shabiya tahu betul bahwa Erika merasa tersaingi, dan ia menikmatinya, bahkan dengan sedikit kepuasan tersirat dalam cara ia menatap Erika.
“Selamat atas pertunangan kalian,” ujar Chandra, nadanya datar namun sopan. Tangannya tetap melingkari pinggang Shabiya dengan mantap, memastikan bahwa posisinya sebagai pelindung tidak diragukan.
“Terima kasih, Chandra,” jawab Awan, senyumnya lebar namun matanya tetap tidak lepas dari Shabiya. “Dan kau, Shabiya, kau terlihat sangat cantik malam ini.”
Shabiya merespons dengan senyuman tipis. “Terima kasih, Awan. Aku yakin Erika juga merasa kau pria yang sangat beruntung malam ini.” Nada suaranya halus tapi menggigit, membuat Erika meliriknya dengan tajam.
“Oh, aku memang sangat beruntung,” balas Erika, suaranya terasa seperti gula yang terlalu manis. “Tapi sepertinya aku bukan satu-satunya wanita di sini yang berhasil mencuri perhatian.”
Shabiya hanya mengangkat alis, tersenyum lebih lebar. "Itu bukan sesuatu yang harus diusahakan, Erika. Terkadang hal itu terjadi begitu saja."
Erika terdiam sejenak, senyumnya menegang. Chandra mengangkat alisnya sedikit, mengagumi kalimat tajam yang dikatakan istrinya. Tapi ketika ia melihat tatapan lapar Awan yang tak berhenti menelusuri Shabiya, kemarahannya mulai membara di bawah permukaan. Tangannya di pinggang Shabiya mengencang, seolah memberi peringatan diam-diam kepada semua orang di ruangan itu.
Tanpa sepatah kata, Chandra melepas jasnya dan menyampirkannya di bahu Shabiya, menutupi punggung gaun yang sedikit terbuka itu. “Ruangan ini terlalu dingin untukmu,” katanya, nada suaranya penuh otoritas yang tak terbantahkan.
Shabiya terkejut sejenak dengan tindakan suaminya, tapi ia tidak berkata apa-apa. Sebaliknya, ia bisa merasakan kecemburuan Chandra, dan meskipun tindakan itu menunjukkan kepedulian, ia tahu ada lebih dari sekadar perlindungan di balik gerakan posesif itu.
“Terima kasih,” ujar Shabiya akhirnya, meski nada bicaranya terdengar seperti setengah keluhan. Ia tahu perdebatan lebih lanjut hanya akan menjadi bumerang baginya.
Namun, di tengah segala kecemburuan itu, Chandra tak bisa sepenuhnya mengabaikan Erika. Ia melirik sekilas ke arah mantan kekasihnya, yang meskipun terlihat anggun dalam gaunnya, kini tampak sedikit lelah. Ia memperhatikan gelas sampanye di tangan Erika, dan ingat betul bahwa Erika sedang mengandung anak Awan.
“Kau seharusnya berhenti. Kau tahu itu tidak baik untukmu atau bayimu,” katanya, nada suaranya terdengar sedikit khawatir.
Erika tersentak, tak menyangka bahwa Chandra masih begitu perhatian terhadap dirinya. Matanya berbinar, seolah menemukan celah untuk menyerang Shabiya. Dengan senyum lembut namun penuh maksud, Erika menatap Shabiya dan berkata, "Ternyata Chandra masih perhatian padaku. Sepertinya meskipun kamu mencuri perhatian malam ini, Shabiya, ada hal-hal yang tidak akan pernah berubah."
Shabiya menahan napas, mendengar sindiran itu. Sementara ia tahu bahwa Chandra hanya bermaksud baik, perkataan Erika menusuk lebih dalam dari yang diharapkannya. Rasanya seperti Erika sedang mengklaim bahwa hubungan mereka dulu masih memiliki kekuatan, meskipun Chandra telah menikah dengan Shabiya.
Chandra, yang menyadari bahwa ucapannya telah memperkeruh suasana, menggenggam tangan Shabiya sedikit lebih erat. Ia ingin menunjukkan bahwa perhatian yang ia berikan pada Erika hanyalah kewajiban moral, bukan karena perasaan yang tersisa. Namun, ia tidak bisa sepenuhnya mengabaikan fakta bahwa Erika masih mempengaruhinya—meskipun bukan dalam cara yang sama seperti dulu. Meskipun ia sudah mencoba mengubur perasaan masa lalunya, bayang-bayang Erika masih ada, dan malam ini membuatnya sadar bahwa hubungan mereka yang pernah begitu dalam tak bisa dihapus dengan mudah.
Erika menatap Chandra dengan senyum kecil, meski matanya berbinar. “Terima kasih. Aku menghargainya, Chandra.”
Chandra tidak menjawab, hanya menatapnya dengan dingin sebelum kembali berdiri di samping Shabiya. Tapi Erika tidak membiarkan momen itu berlalu begitu saja. Ia menoleh pada Shabiya, senyumnya kembali beracun.
“Kau mungkin menjadi pusat perhatian malam ini, Shabiya. Tapi ternyata, Chandra masih peduli padaku,” katanya dengan nada puas.
***