Raline dijodohkan dengan pria pilihan ayahnya demi baktinya pada orang tua. Konflik muncul setelah Raline bisa menerima dan mulai mencintai suaminya. Perselisihan dengan mertua dan ipar serta mantan Raline pun hadir.
Akankah pernikahan mereka yang diawali dengan perjodohan dapat berjalan dan berakhir bahagia?
.....
Season 2...
Ini menceritakan kisah Halin, putra dari Raline dan Devan. Diselingkuhi saat ingin merayakan anniversary. Mana yang lebih sakit lagi?
Halin pun dikirim untuk melanjutkan sekolah bisnis ke negara Belanda. Lima tahun kemudian dia pulang ke tanah air dan menjadi sosok yang semakin dewasa juga berkharisma.
Setelah sukses, apakah sang mantan akan menyesal? Dapatkah Halin menemukan kebahagiaannya?
.....
Hai kak, ini karya pertama saya. Mohon dukungannya ya kakak2 semua. Salam hangat
Salam dari Ponorogo
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KENZIE 7 store PONOROGO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dari Perut Naik Ke Hati
Di rumah Bu Ambar sedang bersenang-senang dengan kedua anaknya. Mereka bertiga tengah merayakan kesuksesan yang dicapai oleh Rizal.
"Hahaha bagus sekali. Ibu sangat senang." Ucap Bu Ambar sambil tertawa lebar.
Ya, Rizal sudah menceritakan tentang rencana Alan yang ingin mengadakan pesta pada Ibu dan adiknya. Bu Ambar benar-benar bangga pada kedua anaknya.
"Kali ini benar-benar beruntung Bu. Huh, apa bagusnya Devan. Membantu saudaranya saat pabrik sedang membutuhkan bantuannya saja dia tidak mau." Ucap Rizal kesal mengingat itu semua.
"Betul itu Bu. Kak Devan benar-benar sudah melupakan kita." Tambah Delia.
"Sudahlah, biarkan saja. Toh sekarang kalian sudah dapat bantuan yang lebih bagus lagi daripada Devan." Ucap Bu Ambar pongah.
"Semoga ada kabar bagus secepatnya dari Tuan Hendra." Harap Rizal yang diamini Delia dan Bu Ambar.
.
.
Hari ini Iswara berencana untuk menghubungi Rizal terkait acara pesta yang dibicarakan waktu itu. Mumpung masih ada waktu sekitar dua Minggu lagi.
Iswara menghubungi Rizal melalui ponselnya. Tak menunggu lama sambungan telepon pun terhubung.
"Halo Bu Iswara. Bagaimana?" Sapa Rizal di seberang sana.
"Begini Pak Rizal, sesuai kesepakatan dari Tuan Hendra, pestanya akan diadakan dua Minggu lagi. Tepatnya akhir pekan. Tempatnya di hotel grand saja. Undangan pukul tujuh malam. Nanti undangannya akan kami siapkan. Tuan Rizal cukup membagikan pada para pengusaha disini. Bagaimana pak? Ada yang ditanyakan?" ucap Iswara menerangkan secara jelas dan terperinci.
"Oh tidak ada lagi Bu. Baiklah akan saya sebarkan undangannya mulai dari sekarang." Ujar Rizal membuat Iswara menyunggingkan senyum puas.
"Kalau begitu saya tutup dulu teleponnya ya."
KLIK
Iswara pun menutup teleponnya tanpa menunggu jawaban dari Rizal lagi.
Alan pun datang dan menghampiri Iswara. "Bagaimana Is?" Tanya Alan.
"Selesai. Kita tinggal datang saja. Semua sudah ku atur." Terang Iswara.
"Bagus. Aku suka dengan hasil pekerjaanmu. Selalu memuaskan." Puji Alan jujur.
"Apa kau sedang mengejekku Tuan Mahendra?" Iswara memicingkan mata.
"Apa aku seperti itu?" Balas Alan balik bertanya.
Iswara mencari kebohongan dalam diri Alan, namun tidak ada. Mata Alan justru mengatakan yang sebenarnya.
Iswara memegang dadanya yang berdetak lebih cepat. Dia tersipu malu. Entah ini pujian atau bukan, dia tak peduli. Baginya yang penting Alan masih membutuhkan dirinya. Itu saja sudah lebih dari cukup.
"Ka-kamu mau makan malam apa?" Iswara gugup.
"Apapun yang kau masak akan ku makan." Balas Alan membuat Iswara semakin gugup.
"Kalau begitu aku akan mulai memasak." Dengan cepat Iswara meninggalkan Alan dan berlari ke arah dapur.
Di sana Iswara mengatur detak jantungnya. Dia pegang lagi dadanya kemudian beralih ke kedua pipinya yang terasa panas. "Wah, pasti mukaku memerah ini. Apa yang harus kulakukan?" Gumamnya.
Setelah keadaan Iswara normal, wanita itupun mulai memasak. Dia membuka kulkas untuk melihat isinya. "Masih ada daging ayam, ikan, sayur, tomat dan cabai. Enaknya masak ya?" Gumamnya lagi sambil memikirkan akan memasak apa.
Setelah beberapa saat berfikir akhirnya Ia mendapatkan ide menu masakan. "Masak tumis ayam pedas saja. Seingat ku, Hendra juga suka makanan pedas." Gadis itu pun dengan semangat mulai memasak untuk dirinya dan Alan.
Senyuman pun sedari tidak pernah lepas dari bibir merahnya yang mungil itu.
Aroma masakan pun sudah tercium sampai di ruang tamu tempat Alan saat ini duduk. "Hmm wanginya sedap sekali. Iswara masak apa ya?" Hidung Alan masih saja menciumi harum masakan Iswara.
Krucukk~
Alan mengelus perutnya yang berbunyi pertanda ia lapar karena mencium aroma masakan Iswara.
Setelah masakannya matang, Iswara mulai menata di meja makan. Dia menyiapkan dua piring dan juga dua gelas berisi air minum untuk dirinya dan Alan.
Tiba-tiba gadis itu merasa malu sendiri. "Ini seperti seorang istri menyiapkan makan untuk suaminya." Gumamnya lirih sambil cekikikan sendiri.
"Kamu masak apa Is? Wanginya enak. Aku jadi lapar." Alan datang mengagetkan Iswara.
"Kenapa tiba-tiba sudah di sini?" Iswara mengelus dadanya karena kaget.
"Ngapain berdiri di situ. Ayo kita makan. Aku sudah lapar." Alan sudah mendudukkan dirinya pada kursi dan mulai mengisi piringnya dengan nasi dan lauk.
Gadis itu juga mulai melakukan hal sama.
Sedang Alan mulai menikmati makannya. Ia tampak sangat lahap menyantap masakannya. Iswara mengamati ekspresi wajah Alan saat suap demi suap masuk ke mulutnya.
"Apa kau akan kenyang hanya dengan menatapku terus?" Ucap Alan sarkas dengan mulut yang masih terisi.
"I-iya aku akan makan." Dengan patuh gadis itu mulai menyantap makanannya. 'enak' Puji gadis itu dalam hati.
"Kalau tidak mencobanya mana tau enak tau tidak."
Iswara hanya tersenyum malu.
"Jangan pernah percaya dengan katanya." Kata Alan lagi.
Iswara hanya membalas dengan senyuman. Alan benar. Lihat! Alan bahkan sampai tambah nasi lagi.
Dalam hati Iswara bangga pada dirinya sendiri. Dia bisa mengambil hati Alan melalui masakannya. Keahlian memasak Iswara ia dapatkan dari Ibunya.
"Kau pandai dalam segala hal Is. Bahkan masakanmu pun enak." Puji Alan tulus.
Lagi-lagi gadis itu tersipu malu mendengar Alan memuji dirinya.
.
.
.
"Jangan lupa undangannya kirim ke laki-laki itu."
Setelah makan malam yang 'romantis' menurut Iswara, kini keduanya tengah duduk santai sambil membahas acara yang akan mereka adakan itu.
"Aku sudah mengirimkan ke Rizal melalui surel. Entah sudah dibuka atau belum, belum aku cek lagi."
Iswara pun mulai membuka laptopnya untuk mengecek apakah email-nya sudah dibaca belum oleh Rizal.
"Dia belum membukanya. Mungkin dia tidak tahu kalau undangannya aku kirim melalui email." Iswara melapor pada Alan.
"Coba kau hubungi dia." Perintah Alan.
Gadis itu segera mengambil ponselnya untuk menelpon Rizal.
Telepon pun terhubung. Rizal menyapa dengan nada suara yang ceria. "Selamat malam Bu Iswara. Apakah ada hal yang sangat penting malam-malam begini menghubungi ku?"
"Saya sudah mengirim undangannya melalui email. Coba buka sekarang dan mulai sebarkan undangannya."
Iswara pun langsung menutup teleponnya tanpa menunggu jawaban dari Rizal lagi. Lama-lama tingkah laki-laki itu membuat Iswara kesal.
"Sudah beres. Tinggal persiapkan dirimu Hen."
"Aku tahu."
Setelahnya tidak ada lagi percakapan yang terjadi pada keduanya. Alan sibuk dengan pemikirannya begitu pun dengan Iswara.
Iswara bahkan sudah menyiapkan kejutan untuk Alan di pesta nanti. 'Semoga kamu tidak akan membuang ku setelah acara nanti.' Gadis itu berharap dalam hati.
Disisi lain Raline tengah menikmati pemandangan malam dari balkon kamarnya. Dibelakangnya Devan memeluk Raline.
"Aku pernah bertanya dalam hati apakah aku bisa mencintai suamiku layaknya dia memberikan cintanya padaku." Ucap Raline tanpa menoleh ke belakang. Dia menyandarkan kepalanya pada dada Devan yang bidang. "Ternyata aku mampu. Bahkan rasa untukmu lebih dalam lagi. Dan setiap saat dia terus tumbuh."
Devan mendengarkan sambil memejamkan mata. 'Jangan pernah hilangkan kebersamaan ini. Karena aku tidak akan sanggup jika harus kehilangan istriku.' Pinta Devan dalam hati.
"Bisakah kamu berjanji untuk tidak akan pernah meninggalkan aku?" Ucapan Devan membuat Raline mendongakkan kepalanya ke arah Devan.
"Kenapa tiba-tiba kamu menanyakan hal itu?"
"Aku hanya terlalu takut kehilanganmu saja."
Senyum terpatri di bibir tipis Raline. Suaminya itu memang bukanlah orang yang romantis, namun dia bisa menciptakan romantis ala dirinya sendiri.
"Tanpa kamu minta pun aku tidak akan pernah meninggalkanmu." Balas Raline.
Bersambung...