Salsabillah Khairunnisa Kirani, 25 tahun. Terpaksa harus menikah dengan Adrian Mangku Kusumo, 25 tahun. Karena perjodohan orang tua mereka, padahal mereka sama-sama memiliki kekasih.
Sabillah tak tahu mengapa Adrian selalu menuduhnya menjadi penyebab kehancuran Ajeng, kekasih Adrian.
Hingga di tujuh bulan pernikahan mereka, Sabillah melihat Adrian bersama wanita yang tengah hamil tua, dan wanita itu, kekasih Adrian.
Apakah Adrian sudah mengkhianati pernikahan mereka? Meski mereka sepakat untuk berpisah setelah dua tahun pernikahan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Wati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perdebatan Yang Menyenangkan
"Sabill, ya Allah. Paaa, sabill datang." Teriak Sintya terkejut dengan kedatangan ketiga cucunya dan anaknya. Di ciuminya Eka juga Arial. Lalu digendonganya Eka, "ayok masuk ke rumah Oma." Menggandeng tangan Arial membawanya masuk.
Pak Sofyan yang sedang berada di ruang kerjanya mendengar teriakan sang istri langsung keluar. Ia melepaskan kaca mata bacanya saat melihat anak serta cucunya.
"Sabill?" ucapnya tak percaya.
"Pa." Sabillah menghampiri dan memeluk papanya.
"Kenapa tidak mengabari, Nak? Kan Papa bisa jemput kamu." Melepaskan pelukan. "Pasti kamu kerepotan." Anaknya punya tiga anak, satu saja kadang suka rempong.
Sabillah terkekeh. "Ingin kasih surprise."
"Ini sangat surprise." Mengajak Sabillah duduk di ruang tamu.
"Ya Allah, Mama terasa kayak mimpi kalian kesini." Sintya memangku kedua cucunya, ingin menggendong yang bayi juga jika bisa, saking senangnya. "Ya Allah cucu-cucu Oma." Mengecupi kepala dan kening Eka dan Arial.
"Bi, Mun. Sabill pulang," panggilnya pada asisten rumah tangganya. Wanita berusia lima puluh tahun lebih itu datang mendengar suara teriakan majikannya.
Tegopoh-gopoh bi Mun datang, terkejut melihat wanita cantik yang tersenyum padanya. "Masyaallah. Ini benar neng Sabill?" Sabillah terkikik melihat wajah terkejut wanita itu, ia berdiri dan memeluknya.
"Apa kabar, Bi?"
"Baik, baik Neng." Mata wanita itu berkaca-kaca, "ya Allah ini bener Neng Sabill?" Melepaskan pelukan dan menatap lamat-lamat wajah cantik itu. Tujuh tahun Sabillah tidak pulang membuatnya benar-benar tidak menduga sosok ini masih hidup dan berdiri dihadapanya.
Dia dengar Sabillah sudah menikah dan memiliki anak, dan juga kematian suami Sabillah, tapi tak pernah berani menanyakan hal itu secara langsung pada majikannya. Dia hanya mendengar dulu majikannya sering bertengkar perihal keduanya tidak satu pendapat.
Bi Mun menatap sendu anak majikannya dengan air mata, kasihan melihat nasib Sabillah. "Senang Neng bisa kembali kesini lagi, Bibi turut berduka atas kematian suami Neng Sabillah."
"Terima kasih, Bi. Sudah menjadi takdir Sabill harus menjalaninya."
"Eneng wanita kuat dan pilihan. Oh ya, Bibi siapkan makan dan minum. Ya Allah pasti sangat kelelahan," menatap anak-anak Sabill. "Itu anak-anaknya?" Sabillah mengangguk, "pada cantik dan ganteng."
"Salim sama Bibi, Nak." Perintah Sabill pada Eka dan Arial. Kedua anaknya itu turun dari pangkuan sang nenek, mencium punggung tangan Bi Mun.
Meski Bi Mun merupakan pekerja dirumah itu, Sabillah tetap mengajarkan anak-anaknya untuk menghormati yang lebih tua tanpa memandang status sosial.
* * *
Malam harinya Sabillah beristirahat dikamarnya yang dulu bersama Abimanyu. Eka dan Arial sudah di booking kakek neneknya untuk tidur bersama mereka.
Sabillah baru sempat membuka ponselnya yang ia matikan sejak tadi pagi. Banyak sekali panggilan dari pesan dari nomor yang tidak ia simpan.
♡Kenapa pergi tidak mengabari?♡
♡Apa kamu sudah sampai?♡
♡Anak-anak nggak rewel?♡
"Ish, ngapain sih masih ngechat-ngechat? Sok kecakapan, mau poligami?" Menghapus pesan-pesan itu. Selalu tidak suka juga Adrian menyebut anaknya, dengan anak-anak.
Adrian tahu dia pergi? Semoga saja tidak bertemu lagi.
Sabillah teringat pertemuanya dengan Ajeng tadi siang.
Lama keduanya saling tatap, Sabillah yang mengingat wajah itu seperti tidak asing baginya, dan Ajeng yang melihat ketiga anak Sabillah bergantian.
Ajeng tersenyum ketiganya tidak ada yang mirip Adrian. Sabillah yang salah menangkap, membalas senyuman Ajeng.
"Apa kita saling mengenal?" Sabillah menyapa terlebih dahulu.
"Oh, sebenarnya tidak. Tapi mungkin kamu sangat mengenalku karena aku menjadi persaing berat kamu."
Sabillah mengerutkan keningnya.
"Saya Ajeng, istri mantan suami kamu." Akunya membuat nafas Sabillah terasa tercekat. "Dan ini anak kami." Merangkul pundak Alief.
Oh, dia wanita itu. Pantas tidak asing.
Sabillah ganti menatap Alief, dia ingat kemarin dirumah sakit anak itu memanggil Adrian papa.
Jadi benar mereka menikah? Kurang ajar sekali buaya darat itu mendekatinya disaat dia menjadi suami orang, tapi mengakunya belum menikah lagi setelah berpisah denganya. Sabillah mengetatkan rahangnya kesal. Tapi ia cepat menguasai diri didepan Ajeng.
"Hai Alief, senang berkenalan dengan kamu," Alief tersenyum. "Semoga kita bertemu dilain waktu." Sabill membalas dengan ramah. Tidak terpancing dengan ucapan Ajeng, gengsi sekali dia harus cemburu dengan wanita itu. Yang ada dia besar kepala.
Sabillah menhembuskan nafas kasar. Kesal sekali kenapa tidak bisa tidur malah memikirkan orang yang tidak penting. Dia sudah mengganti posisi ke kiri dan ke kanan, tetap saja matanya tidak mau kompromi. Sampai geliatan Abimanyu yang bangun dan menangis, membuat Sabillah cepat-cepat mengangkatnya dan memberinya Asi.
Tapi Abimanyu tetap menangis dan tidak mau menghisaap pu***** ibunya.
"Sayang, ini mimik Nak."
"Kenapa Sabill?" Sintya masuk.
"Nggak papa, Ma. Abimanyu kebangun." Sintya melihat Abimanyu yang terus menolak diberi Asi.
"Ini pasti karena kamu kecapean dan juga kurang tidur, makanya Abimanyu nggak mau. Sini mama gendong." Mengambil Abimanyu dari gendongan Sabillah. "Ada susu formula nggak?"
"Ada, Ma."
"Buatin aja, dia nggak mau minum yang dari kamu." Sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya agar Abimanyu mau diam. Tapi bayi itu tetap tak mau diam, dan tetap menangis, mungkin karena kehausan.
Sabillah mengangguk, mungkin benar apa yang dikatakan mamanya. Beranjak membuatkan susu untuk anaknya. Setelah diberi susu formula, Abimanyu diam, dan mau meminum susu dari botol.
"Pinter cucu Oma." Mencubit gemas hidung Abimanyu.
Esok paginya, meja makan rumah pak Sofyan terasa ramai oleh celotehan cerewet Eka dan Arial. Mereka berebut ingin dibuatkan sarapan oleh Opa mereka, pak Sofyan senang-senang saja meladeni keduanya.
"Papa nggak ke kantor?" tanya Sabillah sebab melihat pak Sofyan hanya memakai kaos biasa.
"Cucu baru datang kok ke kantor." Jawab pak Sofyan menatap Sabillah sesaat, lalu melanjutkan bermain dengan Eka dan Arial menemani keduanya sarapan agar sarapanya banyak.
* * *
Dua hari sudah Sabillah berada dirumah orang tuanya, pikiran Sabillah cukup tenang karena tidak mendapatkan teror pesan dari Adrian karena Sabillah membuang nomornya. Dan tidak mendapat gangguan dari kedua laki-laki yang datang setiap pagi kerumahnya.
Dua hari itu juga pak Sofyan tidak pernah pergi ke kantor. Hanya menerima laporan dari anak buahnya yang dipercaya. Siang ini, kebetulan anak-anak Sabillah sudah tidur, Sabillah turun dari lantai dua menemui orang tuanya, Sabillah membicarakan maksud kedatanganya ke Jakarta ingin menetap disini.
"Mama senang, senang sekali, Sayang. Rumah ini terasa hangat ada anak-anak kamu," ucap Sintya setelah mendengar jika Sabillah ingin kembali pindah ke rumah orangtuanya.
"Papa apalagi, kamu tahu Papa sudah tidak bisa aktif lagi ke kantor. Papa ingin kamu menggantikan posisi Papa."
"Sabill hanya sementara, Pa, Ma. Jika uang Sabill cukup untuk menyewa rumah, Sabill dan anak-anak akan pindah."
"Hey, ngomong apa kamu? Kamu udah nggak menganggap Mama, Papa orang tua kamu lagi?" Sintya marah.
"Bukan begitu, Ma." Merasa tidak enak.
"Mama nggak izinin kamu ngontrak sendiri, tapi kalau kamu merasa tidak nyaman lagi tinggal di rumah Mama. Silahkan keluar, tapi jangan bawa cucu-cucu Mama." Padahal Sabillah tidak enak anak-anaknya menggagu ketenangan orang tuanya.
Sabillah berpikir sejenak, padahal dia ingin mencari pekerjaan lain, tapi tidak tega juga melihat papanya yang sudah tidak segagah dulu, papanya sering asam urat dan nyeri badan.
Tidak mungkin juga bisa mencari pekerjaan dengan cepat, anak-anaknya butuh uang jajan dan sekolah, mengandalkan uang pensiunan Arjuna, tidak mencukupi biaya pendidikan Arial dan Eka, belum lagi kebutuhan Abimanyu yang masih sangat banyak.
Bismillah, akhirnya Sabillah mengangguk yakin atas keputusanya.
"Tapi Sabill belum punya pengalaman memimpin perusahaan, Pa."
"Jangan khawatir, bank Papa masih bank kecil. Kamu dibantu oleh rekan yang profesional dibidangnya." Pak Sofyan diam sejenak sebelum melanjutkan perkataannya. "Tapi yang harus kamu tahu, kalau sekarang pemilik saham terbesar kita, Adrian."
Apa???
Sabillah tak bisa mundur lagi.
Apa dia kembali mengambil keputusan yang salah?
* * *
Dihari pertama Sabillah kerja di kantor sang papa, semua lancar-lancar saja. Dia bertanya pada sekretaris papanya dulu yang bernama Anisa, berusia empat puluh lima tahun. Kalau penanam saham itu selama tujuh tahun bekerja sama, tidak pernah datang mengunjungi kantor, hanya perwakilan bagian keuangan saja.
Sabillah lega mendengarnya, dia tidak mau berurusan dengan mantan suaminya atau sekedar bertemu. Apalagi status Adrian yang merupakan suami orang, ingin bertanya pada mamanya mengenai status Adrian yang sebenarnya, malu. Lagian untuk apa?
Sabillah sedang memeriksa laporan keuangan dua tahun belakangan mempelajarinya.
Tok tok tok.
"Permisi, Bu. Ada yang ingin bertemu dengan Anda," ucap sekretaris memberi tahu.
"Iya, siapa?"
Seorang laki-laki tampan muncul dari belakang "Aku."
* * *
Sabillah masih fokus pada layar didepanya menatap angka-angka dari beberapa perusahaan, tapi sama sekali tak ada yang nyangkut di otak Sabill, sebab laki-laki yang duduk dihadapanya memperhatikanya sejak tadi. Sabillah melirik Adrian yang menyender memperhatikanya, membuatnya terganggu.
Memutar kursi menatap Adrian.
"Maaf Pak Adrian, ada yang ingin Anda bicarakan? kalau tidak sebaiknya Anda keluar. Banyak pekerjaan yang harus saya kerjakan." Tak nyaman dipandangi sedemikian rupa, Sabillah salah tingkah.
"Kerjakan aja pekerjaan kamu. Aku senang aja liat muka kamu lagi serius begitu, makin cantik tahu."
Sabillah memejamkan mata menahan kesal.
"Kalau udah selesai, kita keluar makan siang bareng."
"Maaf saya tidak bisa." Menolak.
"Tapi aku maksa, kalau nggak. Aku kasih tau semua karyawan disini kalau kamu itu calon istri aku."
"Adrian."
"Iya, Sabill. Ada apa calon istri ku?"
"Stop bicara begitu, aku nggak mau di cap jadi orang ketiga."
"Orang ketiga gimana? Kamu satu-satunya dihati aku."
Cuihhh, dasar buaya.
Menarik nafas. "Bisa nggak jangan gangguin hidup orang, lebih baik pergi aja kalau nggak ada keperluan."
Adrian menegakkan tubuhnya. "Nggak bisa, sebab kamu juga udah ganggu hidup aku selama tujuh tahun ini, jadi kamu harus membayarnya."
"Adrian kamu sudah punya istri."
"Berarti kalau aku nggak punya istri, kamu mau?" Adrian tidak tahu mengapa Sabillah sejak tadi membicarakan itu.