Cinta Dalam Sujudku

Ambulance pun memasuki pelataran rumah keluarga pak yusuf. Nampak semua orang berlarian keluar masuk, sedangkan pak yusuf mendampingi istrinya yang terlihat syok.

Di kediaman izdi ...

Kabar pagi ini membuat wardah diam seribu bahasa. Dia tak dapat mengungkapkan perasaan apa yang timbul di hatinya saat ini. Izdi hanya bisa memeluk istrinya berharap wanita yang didambanya itu baik-baik saja.

" Mas ... Karena kejadian seperti inilah orang tuaku mengantarkanku ke rumah paman dulu. Hari inipun terulang kembali," ucap wardah tanpa penekanan pada ucapannya, dia menerawang ke depan dengan lelehan air mata di wajahnya nan ayu.

" Sayang ... Tapi aku tidak akan membuangmu. Percayalah aku bukan mereka," izdi mempertegas ucapannya. Wardah tersenyum sambil menyampaikan hal yang mengganjal di hatinya.

" Kita lihat nanti mas apa yang diminta mama, wardah tidak bisa berfikir apapun saat ini. Mari kita ke rumah sakit," ujar wardah kembali dengan ekspresi datar. Mungkinkah istri izdi trauma akan hal ini sehingga membuat dia jauh dari orang tuanya.

" Baiklah sayang, ayo kita berangkat!" seru izdi sambil membukakan pintu untuk istrinya. Wardah nampak diam tanpa ingin mengatakan sesuatu apapun. Dia fokus ke jalanan depan. Hingga akhirnya izdi memegang tangan istrinya.

" Sayang ... Semua akan baik- baik saja. Jangan khawatirkan apapun," ujar izdi pada istrinya. Wardah masih mode enggan menjawab, dia hanya menganggukkan kepala. Sesampainya di pelataran rumah sakit tempat fatimah di rawat dan tempat izdi bekerja. Mereka berdua segera bergegas untuk menghampiri kedua orang tuanya.

Sesampainya ...

" Ma .... !" seru wardah pada mamanya.

" Sayang ... (menangis) Kakakmu koma nak," ucap ibu sambil duduk memeluk kaki wardah. Wardahpun akhirnya meneteskan air matanya yang sedari tadi tak dapat dikeluarkan. Izdi juga nampak terkejut, namun yang ia pikirkan saat ini adalah batin istrinya. Dia pasti dalam posisi yang sulit.

Pak yusuf nampak mendekati izdi dan mengajaknya berbincang sambil duduk di depan ruang rawat.

" Nak mantu ... Ayah senang kalian bisa saling melengkapi setelah menikah, tapi putri ayah yang lain sangat terpuruk. Berilah ayah sebuah saran untuk kejadian ini," ujar pak yusuf dengan menghela nafas berat. Izdi pun menghela nafas sedikit berat dan memejamkan mata sebelum mengatakan sesuatu.

" Ayah maafkan izdi, sebelum kejadian itu kami sempat bertemu. Awalnya dia mengatakan hal-hal kurang baik tentang adiknya di depan umum. Namun saya tak menggubrisnya, hingga akhirnya dia mengatakan hal sangat buruk tentang adiknya sehingga membuat saya emosi dan secara sadar saya mengatakan bahwa saya sangat mencintai wardah. Saya minta maaf jika kata terakhir itu yang membuat putri sulung ayah demikian," jawab izdi sedikit menyesal

" Nak, apapun yang kamu katakan mungkin sudah benar, tapi saat ini ayah butuh bantuan demi fatimah. Ayah tidak sanggup jika melihat dia seperti ini," ujar ayah kembali.

" Saya tidak bisa membantu banyak ayah, tanggung jawab saya untuk wardah yang sekarang menjadi istri saya. Saya sedang berusaha membahagiakan dia," jawab izdi

" Nak, sekali lagi saja bantu ayah. Bahagiakan Fatimah!" seru ayah dengan memelas

" Bahagia seperti apa ayah? Tidak ada kebahagiaan kecuali dengan berumah tangga," jawab izdi tegas dan lugas.

" Nikahilah Fatimah, ayah mohon nak," ucap pak yusuf dengan sangat menyesal harus membuat masalah dalam rumah tangga putri bungsunya yang baru saja dimulai.

" Allahu akbar ... Ayah sejatinya kami sudah terikat persaudaraan setelah saya menjadi suami wardah. Jadi haram bagi saya untuk menikahi 2 saudara sekaligus. Mohon maaf ayah permintaan ayah terlalu berat, saya pun andaikata harus menikah lagi saya tidak akan memilih Fatimah yang jelas-jelas pernah menolak saya di hari akad kami. Luka itu masih ada," ujar izdi.

" Sayang ... Mas harus bekerja jika sudah selesai menjenguk nanti kabarilah. Nanti mas jemput, Assalamualaikum wr.wb!" seru izdi dengan rasa agak kesal namun tetap hormat setelah ia melihat anggukan istrinya dan jawaban salam. Izdipun langsung melenggang pergi ke ruang kerjanya tanpa membalikkan badan kembali.

.

.

.

.

" Keterlaluan demi fatimah, wardalah yang harus menanggung," monolog izdi di koridor rumah sakit.