Dia pikir, dibuang oleh suaminya sendiri akan membuat hidupnya berantakan dan menderita. Namun, takdir berkata lain, karena justru menjadi awal kebahagiaannya.
Daniza, seorang istri yang bagi suaminya hanya wanita biasa, justru sangat luar biasa di mata pria lain. Tak tanggung-tanggung, pria yang menyimpan rasa terhadapnya sejak lama adalah pria kaya raya dengan sejuta pesona.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang Ke Apartemen
Setelah lima hari dirawat, akhirnya Daniza mengantongi izin dari tim dokter untuk pulang ke rumah. Sekitar siang selepas melakukan rapat sebentar di kantor, Alvin menjemput Daniza ke rumah sakit.
Ia sengaja membawa seikat bunga untuk diberikan kepada Daniza, tetapi Daniza tak sedikit pun memandang bunga pemberian Alvin. Membuat pria itu sedikit patah hati karena usahanya tak kunjung mendapatkan empati. Pandangan wanita itu malah terlihat kosong seolah tak menganggap kehadiran Alvin sama sekali.
"Yang sabar, Vin! Usaha terus saja. Lama-lama Daniz juga luluh."
Lelaki itu kemudian duduk di tepi ranjang. Memandangi Daniza yang terus menatap layar televisi menyala. Sorot mata wanita itu memang tertuju pada layar, tapi pikirannya entah ada di mana.
"Awas saja kalau otakmu sampai memikirkan lelaki busuk itu," batin Alvin sedikit cemberut.
"Daniz …."
Wanita itu menoleh ketika Alvin memanggilnya dengan suara pelan.
"Dokter bilang hari ini kamu sudah boleh pulang," ucap Alvin hati-hati sekali.
Tetapi, respon Daniza masih seperti kemarin. Sangat datar tanpa ekspresi.
"Terima kasih, Kak." Pandangan Daniza kembali terarah pada televisi yang menempel pada dinding ruangan.
Sekarang Alvin sedang memikirkan bagaimana cara membujuk Daniza agar mau tinggal di apartemennya. Sebab, ia tidak akan membiarkan Daniza tinggal sendirian di rumah kontrakannya.
Terlalu berbahaya. Terlebih, setelah kecurigaannya bahwa Revan dan Alina yang memasukkan obat ke dalam minuman Daniza.
"Tapi kamu tidak bisa kembali ke kontrakanmu lagi. Bagaimana kalau mulai hari ini kamu tinggal di apartemenku?"
Mendengar tawaran itu, Daniza kembali menoleh. Tatapannya dipenuhi tanda tanya. Namun, ia masih belum mau banyak bicara.
"Keadaanmu masih belum sepenuhnya pulih. Dokter membolehkanmu pulang, tapi kamu tetap harus berada dalam pengawasan orang terdekatmu, dan kontrakan itu terlalu berbahaya untukmu."
"Bahaya kenapa?" Akhirnya Daniza mulai mau bicara. Setidaknya ia mau merespon dan balik bertanya.
"Bahaya karena kamu tinggal sendirian di tempat itu. Dokter memberi saran untuk tidak meninggalkanmu sendirian. Jadi untuk kali ini aku mohon, kamu ikut aku dan tinggal di apartemenku! Dan juga …." Alvin sengaja menggantung ucapannya. Membuat Daniza mengernyit dan semakin penasaran dengan kelanjutannya.
"Dan juga apa?" tanya wanita itu.
"Aku tidak mau kamu diganggu oleh Revan ataupun calon istri barunya itu. Dokter bilang mereka adalah faktor utama yang membuat kamu tertekan dan depresi. Jadi dokter menyarankan untuk menjauhkanmu dari jangkauan mereka," ujar Alvin.
Ia sengaja menambahi sedikit ucapan dokter agar Daniza paham. Toh memang benar, mereka berdualah yang membuat Daniza menjadi seperti ini.
"Mas Revan … aku benci dia! Dia sudah membuang ku demi perempuan lain," lirih Daniza. Alvin tambah senang, ia tak segan mengompori Daniza agar makin membenci lelaki busuk itu.
"Maka dari itu Daniz." Alvin semakin bersemangat. "Mulai sekarang kamu harus belajar mengabaikan dia. Laki-laki tidak berguna seperti dia tidak cocok untuk berlian berharga seperti kamu," kata Alvin kemudian.
Di titik ini ia merasa geli sendiri dengan tingkahnya. Alvin menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan Daniza. Termasuk menjelekkan Revan agar Daniza semakin membencinya.
Alvin tidak peduli lagi apa kata dunia. Yang penting cinta lama yang belum kesampaian itu berakhir bahagia.
Apa bicaraku sangat keterlaluan? Kenapa akhir-akhir ini aku suka sekali menjadi kompor?"
Alvin bergidik ngeri dengan tingkahnya sendiri. Jika mama tahu, ia pasti sudah digeprek sampai gepeng.
"Tapi tidak juga sih! Revan memang sudah jelek dari sananya, jadi tak masalah jika aku menjelekkannya sedikit saja," batin Alvin.
*
*
*
Setelah selesai membereskan perlengkapan Daniza di rumah sakit, Alvin membawa Daniza ke apartemen lamanya. Sepanjang perjalanan wanita itu selalu diam. Sepertinya kehilangan bayi membuat Daniza juga ikut kehilangan semangat hidup.
Ia bahkan pasrah saja saat Alvin mengajaknya ke apartemen. Padahal dulu, tawaran untuk menempati apartemen itu ia tolak mentah-mentah.
Alvin membawa koper milik Daniza ke dalam kamar. Sebelumnya, ia meminta Bibi Inah, asisten rumah tangganya untuk membereskan pakaian Daniza yang ada di kontrakan.
"Mulai sekarang kamu tidur di kamar ini. Tenang saja, kamu aman di sini." Alvin membawa Daniza untuk duduk bersandar di tempat tidur. Lalu menyalakan pendingin ruangan agar Daniza merasa nyaman.
Kamar bekas Alvin itu sangat bersih dan rapi meskipun lama tak berpenghuni, karena Alvin selalu menugaskan orang untuk membersihkan setiap tiga hari sekali.
"Kamu istirahat saja dulu. Aku mau ke depan sekarang."
*
*
*
Sejak pulang dari rumah sakit, keadaan Daniza semakin memprihatinkan. Ia banyak melamun dan terus menangis. Dia juga tidak mau makan sampai membuat Alvin kelimpungan sendiri. Lelaki itu frustrasi dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia sendiri saja selalu dianggap tak kasat mata oleh Daniza.
Akhirnya selama seharian Alvin membiarkan Daniza melakukan apa pun yang disukainya. Mungkin saja Daniza butuh ruang untuk menangis dan melampiaskan sedihnya, pikir Alvin.
Menjelang malam, Alvin masih menemani Daniza. Ia tidak bisa meninggalkan Daniza karena takut terjadi sesuatu pada wanita itu. Untungnya malam ini Daniza mau makan meskipun hanya empat suapan. setelah itu Daniza kembali ke kamar.
Satu jam kemudian Alvin masuk ke kamar Daniza untuk memastikan wanita itu benar-benar tidur. Tak lupa juga ia memakaikan selimut dan mematikan lampu kamar. Ia sendiri memilih tidur di sofa depan kamar.
Sebenarnya ada satu kamar lagi, tetapi ia takut Daniza memanggil dan ia tak mendengar, jadi malam ini Alvin rela tidur di sofa sempit, hanya berbalutkan selimut.
Suasana sudah sepi. Alvin begitu lelap malam ini. Beberapa hari menjaga Daniza di rumah sakit, ia memang kurang tidur. Dan malam ini adalah pertama kalinya ia bisa tidur dengan nyenyak.
Bahkan ponsel yang beberapa kali berdering tak didengarnya. Nama "Ibu Negara" dengan foto Mama Elvira terus muncul pada layar. Tetapi, si empunya sama sekali tak menjawab.
Entah akan seperti apa reaksi Mama Elvira besok. Padahal, sebelumnya ia sudah memberi ultimatum agar Alvin pulang ke rumah.
Waktu menunjukkan pukul satu dini hari.
Pintu kamar yang ditempati Daniza terbuka dan memunculkan sosok Daniza. Begitu keluar kamar, hal pertama yang hadir dalam pandangannya adalah Alvin.
Perlahan Daniza mendekat dan berdiri di sisi sofa. Terdiam sebentar memandangi tubuh jangkung lelaki itu. Melihat Alvin tidur di sofa yang sempit, ia merasa telah menjadi beban. Padahal Alvin bukan siapa-siapanya.
"Kak Alvin!" panggil Daniza mengguncang pelan dada Alvin.
Perlahan Alvin membuka mata saat merasakan sentuhan di dadanya. Dalam kesadaran yang belum utuh sepenuhnya, ia melihat Daniza seperti bidadari malam ini.
"Hmm ... kamu kenapa, Sayang?"
Daniza membeku mendengar panggilan yang disematkan Alvin.
Sadar dengan kesalahannya, Alvin membuka mata lebar-lebar. Ia baru tersadar sepenuhnya.
Ini mulut kenapa bisa keceplosan, sih?
****
Baca ini ngakaknya ngelebihin dr Allan yg suka modusly. Kereeen...kereen /Kiss/