Rahasia Suamiku

"Lagi lihatin siapa, sih? Sampai segitunya," tanya Riri saat melihat kakaknya menatap kepergian sahabatnya—Lidya.

"Ah, kamu, sudah tahu Kakak lihatin Kak Lidya, masih tanya."

"Tapi, kok, aku lihatnya berbeda, ya!"

"Berbeda bagaimana?" tanya Maysa sambil menatap adiknya.

"Kakak memang lihatin Kak Lidya, tapi kenapa pandangannya tertuju pada anak kecil itu? Memangnya kenapa dengan anak itu, Kak?"

"Nggak pa-pa, aku hanya merasa melihat sosok Eira pada anak itu."

"Dia 'kan cowok, Kak. Sedangkan Eira cewek. Apanya yang sama?"

"Sudahlah, percuma juga ngomong sama kamu," sahut Maysa yang kemudian berlalu menuju ruangannya.

Entah kenapa ,dia tiba-tiba memikirkan Dio, anak yang baru saja dia kenal hari ini. Saat melihat tatapannya yang polos, ada rasa iba dalam hatinya. Apalagi setelah mendengar cerita dari Lidya. Mungkin ini yang dinamakan nurani seorang ibu, ingin rasanya Maysa memeluk anak itu, tapi takut jika Lidya salah paham.

Tidak mau terlalu memikirkan hal yang bukan urusannya, Maysa melanjutkan pekerjaannya. Dia melihat data beberapa orang yang melamar sebagai penjahit di butiknya. Ada beberapa yang pengalaman, ada juga yang masih baru.

Di sore hari, Maysa pulang bersama dengan Riri. Dia berdecak kesal saat sampai di rumah karena mendapati mobil Rafka yang sudah terparkir di sana. Bukan hanya Maysa, tapi adiknya juga tidak kalah kesal. Riri sangat membenci Rafka, ingin sekali gadis itu melarang mantan kakak iparnya datang, tetapi itu tidak mungkin karena bagaimana Eira adalah putrinya.

"Aku lewat pintu samping saja, Kak. Males lihat dia, yang ada nanti aku malah buat masalah," ucap Riri.

"Iya, tidak apa-apa."

Riri berlalu menuju pintu samping, sementara Maysa tetap lewat pintu depan karena dia tidak enak jika mengikuti sang adik. Meskipun sebenarnya dia juga malas menghadapi pria itu.

"Assalamualaikum," ucap Maysa begitu memasuki ruang tamu.

"Waalaikumsalam," sahut Mama Rafiqah yang berada di ruang tamu bersama Rafka dan juga Eira.

Maysa mencium punggung tangan mamanya dan duduk di samping wanita itu. Sebenarnya dia ingin langsung masuk saja, tetapi rasanya tidak sopan, jadi dia duduk sebentar saja.

"Apa kabar, May?" tanya Rafka.

"Alhamdulillah, baik. Kamu sendiri bagaimana kabarnya?"

"Alhamdulillah, baik juga," jawab Rafka. "Sebenarnya aku ke sini ingin mengatakan sesuatu."

"Sesuatu apa, Mas? Sepertinya sangat penting sekali."

"Aku ingin memberikan ini, maaf jika terlambat," ucap Rafka sambil meletakkan satu buah amplop di atas meja.

Maysa mengerutkan kening saat melihat amplop di depannya. Dilihat dari luar saja, Wanita itu sudah tahu jika isinya adalah uang. Namun, yang tidak dia mengerti adalah untuk apa Rafka memberikan dia uang? Apalagi dia tidak tahu berapa jumlahnya. Mereka sudah bukan suami istri lagi. Maysa tidak punya hak atas uang Rafka.

"Maaf, Mas. Ini apa? Saya sama sekali tidak mengerti." tanya Maysa sambil menunjuk amplop yang ada di depannya ini.

"Ini uang buat Eira. Bagaimanapun juga Eira adalah tanggung jawabku, jadi sudah selayaknya aku memberi nafkah padanya," ucap Rafka dengan percaya diri.

Maysa tertawa dibuatnya. Selama ini pria itu tidak pernah peduli apa dia kekurangan uang atau tidak, tetapi kenapa sekarang tiba-tiba datang seperti pahlawan kesiangan? Maysa jadi teringat pada Bu Ira. Apa ini ada hubungannya dengan dirinya yang menolak bantuan Rafka melalui wanita itu?

"Maaf, Mas. Jika memang uang ini untuk Eira, sebaiknya dibuatkan buku tabungan saja, lalu diberikan padanya saat dewasa. Biar nanti bisa buat untuk keperluan sekolah saat dia sudah mengerti. Untuk sekarang dia masih belum mengerti arti uang dan aku juga masih sanggup untuk membiayainya."

"Jangan begitu, May. Uang ini untuk pendidikan Eira, kamu tidak boleh menolaknya. Dia juga berhak mendapat pendidikan yang layak."

"Apa, Mas, pikir selama ini aku tidak memberikan sesuatu yang layak untuknya? Saya melakukan segala cara agar membuat anakku bisa bahagia. Jangan bicara sembarangan. Kamu tidak tahu apa-apa jadi, jangan pikir kamu tahu segalanya tentang putriku," ucap Maysa yang sudah mulai terpancing emosinya.

Rafka gelagapan karena Maysa yang sudah emosi. Bukan maksudnya untuk membuat mantan istrinya itu marah. Dia hanya ingin bertanggung jawab atas putrinya. Tidak ada maksud dan tujuan lain. Bukan hanya pria itu yang terkejut, tetapi Eira yang sedang bermain di bawah pun juga terkejut.

Maysa jadi merasa bersalah pada putrinya. Dia memeluk putrinya sambil bergumam kata maaf. Gadis kecil itu pun hanya bisa mengangguk.

"May, kamu salah paham. Bukan maksudku seperti itu. Aku tahu kamu Ibu yang terbaik untuk Eira. Aku hanya ingin bertanggung jawab atas Eira, itu saja," ucap Rafka yang mencoba untuk menjelaskan.

"Dan aku sudah katakan, tidak usah memberi sekarang. Sebaiknya masukkan saja pada buku tabungan dan berikan padanya saat dia sudah dewasa dan mengerti arti uang. Aku takutnya nanti akan ada orang yang marah dan mengatakan jika Eira memanfaatkanmu. Aku tidak rela ada orang yang memfitnah anakku."

"Siapa maksudmu? Vida? Kamu tidak usah khawatir soal dia. Itu akan menjadi urusanku."

"Urusanku? Dari dulu sampai sekarang, ternyata kamu masih sama saja. Suka membual. Aku tidak yakin kamu berani melawan istrimu. Sudahlah, lupakan saja apa yang aku katakan. Yang penting apa pun yang akan terjadi nanti. Aku tidak ingin Eira disalahkan."

"Aku pastikan hal itu tidak akan terjadi. Mengenai uang ini, aku harap kamu menerimanya karena aku ingin bertanggung jawab untuk Eira. Bukan untuk masa depannya saja, tapi juga sekarang."

Maysa akan menolak, tapi Mama Rafiqah segera menarik lengan putrinya agar tidak berdebat lagi. Wanita itu pun mau tidak mau diam saja, tetapi Maysa akan tetap melaksanakan apa yang dia inginkan. Wanita itu akan membuatkan Eira buku tabungan dan uang pemberian dari Rafka akan dia tabung.

"Baiklah, uang ini aku terima. Aku mau ke dalam dulu, mau membersihkan diri," ucap Maysa yang segera berlalu tanpa menunggu jawaban dari orang yang berada di ruang tamu.

Setelah kepergian Maysa, kini di ruang tamu hanya ada Rafka, Mama Rafika dan juga Eira. Pria itu merasa tidak enak pada mantan mertuanya karena sudah membuat masalah. Padahal niatnya datang ke sini baik.

"Maaf, Rafka. Boleh Ibu bertanya sesuatu?" tanya Mama Rafiqah.

"Silakan, Ma. Mama mau tanya apa?"

"Apa kedatangan kamu ke sini sudah diketahui istrimu?"

"Vida sedang kerja, Bu. Saya tidak sempat berpamitan padanya tadi."

"Lain kali jika datang ke sini, bilanglah padanya. Pasti dia sedang sibuk mencarimu. Dia juga pasti khawatir jika terjadi sesuatu padamu."

"Iya, Ma. Lain kali saya akan pamit padanya."

"Dan mengenai uang untuk Eira, sebaiknya kamu juga bicarakan padanya. Sama seperti Maysa, Ibu tidak ingin ke depannya akan menjadi masalah untuk cucu Ibu. Sudah cukup kesedihan yang Eira rasakan selama ini."

Rafka jadi tertunduk. Pria itu sangat tahu jika semua yang terjadi karena ulahnya. Seandainya saja dia tidak bermain api mungkin saat ini keluarganya masih sangat bahagia.

.

.