Rahasia Suamiku
Seorang wanita sedang berkutat dengan peralatan dapur, dia sedang menyiapkan sarapan untuk suami dan anaknya. Namanya Maysa, seorang ibu rumah tangga sekaligus pekerja di sebuah butik ternama di kota ini.
Setelah masakannya matang, dia menyiapkan semuanya di meja makan. Maysa memanggil suami dan anaknya agar segera menikmati sarapannya.
“Sayang, ini gajiku bulan ini,” ucap Rafka sambil menyerahkan uang lima ratus ribu dihadapan Maysa—istrinya.
“Kok, segini, Mas? Ini mana cukup.”
“Kamu cukup-cukupin saja," ucap Rafka tanpa merasa bersalah.
“Mas, kebutuhan kita juga banyak, susu Eira juga sudah habis!” ucap Maysa dengan penekanan. Sudah sering seperti ini dan dia selalu dituntut untuk mengalah. Tidak bolehkah dirinya memberontak?
“May, tolong jangan terlalu menuntutku. Aku pusing dengernya!”
“Kamu pusing? Bagaimana denganku yang mengelola uang lima ratus ribu sebulan? Kamu bisa mikir nggak, sih? Itu cukup untuk dua Minggu saja, aku sudah bersyukur. Bagaimana dua Minggu selanjutnya?”
“Makanya kamu jangan boros. Belajarlah berhemat, aku juga nggak pernah makan malam di rumah, kan? Teman-temanku selalu mentraktirku.”
“Boros? Kamu bilang boros dengan uang lima ratus ribu sebulan? Coba kamu tanya temanmu, berapa mereka memberi istrinya uang belanja hingga cukup satu bulan? Kalau dari mereka ada yang mengatakan lima ratus ribu, katakan pada temanmu, aku akan berguru pada istrinya!”
Rafka yang melihat istrinya kesal pun mencoba membujuknya. Dia tahu Maysa wanita baik, pasti akan mengerti keadaannya. Pria itu memang pandai bersilat lidah hingga membuat sang istri percaya padanya.
“Kemarin mama ngeluh nggak punya uang. papa tidak bekerja seminggu karena sakit. Sebagai seorang anak aku mana tega membuat mama kesusahan, kamu ngerti, kan? Lagian kamu juga sudah bekerja. Bulan depan mudah-mudahan aku bisa ngasih kamu lebih. Kamu tolong ngertiin aku, ya!” bujuk Rafka.
Maysa masih terdiam dengan segala kekesalannya. Dia memang sudah menganggap mertuanya seperti orangtuanya sendiri, tetapi bukan berarti dirinya harus terus mengalah. Wanita itu juga memiliki anak yang masih butuh susu formula dan kebutuhan lainnya.
“May, tolong ngertiin aku. Mudah-mudahan bulan depan aku bisa memberimu lebih, tapi kamu harus sabar, ya?” lanjut pria itu.
Maysa hanya bisa mengangguk dengan terpaksa. Selalu seperti ini. Memang apalagi yang bisa dia perbuat. Suaminya hanya karyawan biasa dengan gaji pas-pasan. Selain itu juga Rafka harus membayar uang cicilan mobil jadi, wanita itu harus menerimanya.
Bisa saja Maysa protes pada sang suami, tetapi wanita itu tidak mau menambah masalah. Apalagi Rafka juga memberikan uang gaji pada ibunya yang memang masih kewajibannya. Namun, dengan uang segitu hanya cukup untuk beli susu dan popok untuk putri kecil mereka. Bagaimana untuk kebutuhan pokok mereka?
“Nanti malam aku lembur, kamu tidur saja duluan. Aku tidak mau melihat kamu sakit,” ucap Rifka setelah menghabiskan sarapannya.
“Iya, Mas. Kalau pekerjaannya sudah selesai, langsung pulang, ya, Mas. Jangan ke mana-mana.”
“Iya, Sayang. Aku berangkat dulu,” pamit Rafka.
Maysa mencium punggung tangan suaminya yang dibalas ciuman di kening wanita itu. Rafka juga berpamitan pada putri kecil mereka yang masih berusia tiga tahun.
Setelah kepergian Rafka, Maysa membereskan semua bekas sarapan pagi dan bersiap untuk pergi bekerja. Mengenai Eira—putri Maysa, biasanya akan dia titipkan di rumah ibunya. Wanita itu bersyukur ibunya mau menjaga Eira jadi dia bisa bekerja untuk menutupi kekurangan uang dapurnya.
Maysa pergi dengan menggunakan motor butut miliknya yang dia beli sebelum menikah. Wanita itu tidak pernah malu memakainya, meski semua teman-temannya semua memakai mobil. Maysa bekerja di sebuah butik ternama dengan gaji yang cukup besar.
“Selamat pagi,” sapa Maysa pada teman-temannya.
“Pagi, Maysa.”
“May, Bu Nadia nyari kamu. Tadi dia bilang kamu disuruh ke sana. Ada sesuatu yang ingin dia katakan,” ucap salah seorang temannya.
“Iya, terima kasih. Aku temui Bu Nadia dulu." Maysa pergi ke ruangan atasannya.
Dia mengetuk pintu beberapa kali, hingga terdengar sahutan dari dalam dan memintanya untuk masuk. Wanita itu tersenyum saat melihat Nadia yang sedang menatapnya.
“Ibu memanggil saya?”
“Iya, duduklah dulu. Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan.” Nadia mengambil sebuah kertas dan memberikannya pada Maysa.
“Apa ini, Bu?” tanya Maysa dengan kening mengkerut.
“Ini adalah deskripsi gaun pengantin dari klien kita. Dia ingin gaun seperti yang ada di tulisan itu dan aku mempercayakan padamu untuk mengerjakannya. Kalau kamu berhasil membuat klien kita puas, tentu saja akan ada bonus yang besar untukmu karena klien kita ini termasuk VVIP.”
Memang tawaran yang sangat menggiurkan. Apalagi di tengah kesulitan ekonominya. Maysa berpikir sejenak mengenai tawaran ini dan memutuskan untuk menerimanya.
“Baiklah, Bu. Saya akan mencobanya. Mudah-mudahan saya tidak mengecewakan Anda.”
“Saya yakin dengan kemampuanmu. Kalau tidak, mana mungkin aku memberimu pekerjaan ini,” ujar Bu Nadia membuat Maysa merasa tersanjung.
“Kalau begitu saya pamit dulu, Bu.”
“Kalau kamu butuh ruang privasi, kamu bisa menggunakan ruang sebelah yang kosong.”
“Iya, Bu, terima kasih.”
Maysa pergi meninggalkan ruang atasannya. Dia perlu memikirkan gaun seperti apa yang sesuai dengan deskripsi yang diinginkan kliennya. Setelah membaca beberapa kali, wanita itu mencoba untuk mulai menggambar. Teman-temannya yang mengerti jika Maysa ada pekerjaan penting pun tidak ingin mengganggu.
Wanita itu memang sering diminta Bu Nadia membantu pekerjaannya membuat pesanan penting. Kadang malah memberikan pekerjaan itu pada Maysa sepenuhnya, seperti hari ini. Pekerjaan wanita itu memang sangat memuaskan.
Dari dulu Maysa sangat ingin kuliah jurusan design, tetapi keadaan ekonomi ibunya membuat dia mengurungkan niatnya dan lebih memilih bekerja. Ayahnya sudah meninggal sejak dirinya kecil. Wanita itu juga memiliki adik yang masih sekolah saat itu. Maysa hanya mempelajari semua nya lewat buku yang dia baca. Kadang juga majalah bekas yang diambil dari para pengepul.
Saat jam makan siang, Maysa sudah selesai dengan dua gambar di tangannya. Wanita itu ingin memperlihatkan dulu pada atasannya kira-kira mau yang mana. Sebelum melapor, dia sempat meminta pendapat pada teman-temannya dan mereka bilang keduanya bagus.
“Kamu kembali dulu, saya akan bertanya pada klien kita. Kamu juga belum makan, kan? Makanlah dulu, jangan karena pekerjaan kamu melupakan tubuhmu sendiri,” ucap Bu Nadia.
“Baik, Bu. Saya permisi.”
Setelah kepergian Maysa, Bu Nadia mengamati kedua gambar itu. Bibirnya tertarik ke atas, dia puas dengan hasil kerja Maysa yang tidak pernah mengecewakannya. Kalaupun nanti klien tidak ingin menggunakannya. Gaun ini bisa dibuat untuk dipajang di depan. Dia tidak ingin pekerjaan Maysa sia-sia.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments
Bundanya Pandu Pharamadina
favorit dulu 👍❤
2023-05-03
0
⚘️💙⚘️ Neng Gemoy ⚘️💙⚘️
Neng Gemoy hadir, tooorrr ... 💃💃
2022-12-10
0
Yani
Mampir ah..gara" sering tulis nama jadi penasaran
2022-11-24
0