Arabella seorang anak perempuan yang menyimpan dendam terhadap sang Ayah, hal itu diawali sejak sang Ayah ketahuan selingkuh di tempat umum, Ara kecil berharap ayahnya akan memilih dirinya, namun ternyata sang ayah malah memilih wanita lain dan sempat memaki istrinya karena menjambak rambut selingkuhannya itu.
Kejadian pahit ini disaksikan langsung oleh anak berusia 8 tahun, sejak saat itu rasa sayang Ara terhadap ayahnya berubah menjadi dendam.
Mampukah Arabella membalaskan semua rasa sakit yang di derita oleh ibunya??
Nantikan kisah selanjutnya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Lampu mobil yang berhenti di ujung gang itu menyilaukan mata Ara. Ia sempat mengira itu Rafli atau orang suruhan Mama Ika. Tapi ketika pintu mobil terbuka, suara langkah sepatu hak terdengar, diikuti suara lembut yang familiar namun jarang ia dengar lagi.
“Ara?”
Gadis itu menoleh pelan, pandangannya buram. Wajah yang muncul dari balik sorot lampu itu membuatnya tercekat.
“Amel ...?” suaranya nyaris seperti bisikan.
Amel berlari menghampiri, wajahnya pucat melihat darah di pelipis dan lutut Ara. “Astaga, kamu kenapa begini?” ucapnya panik, langsung berlutut di hadapan gadis itu.
Ara tersenyum lemah, “Aku… ketahuan nyelinap ke rumah Sita ibunya Naira.”
"Naira siapa anak itu?" tanya Amel sambil mengedipkan bahunya.
"Ceritanya panjang ayo kita masuk dulu, aku takut dua orang itu menangkapku," ujar Ara.
Amel tertegun sejenak. “Kamu gila, Ra. Kalau sampai mereka tangkap, kamu bisa—”
“Aku tahu,” potong Ara lirih. “Tapi ini bukan saatnya untuk berdebat."
Suara motor dari ujung gang kembali terdengar, membuat Amel spontan menoleh. Tatapan matanya berubah tajam, cepat ia menarik lengan Ara. “Udah, jangan di sini. Masuk mobil, cepat.”
Ara menahan sakit di lututnya saat berdiri, tapi Amel dengan sigap menahannya. Di tangan Ara, kotak kecil berbalut abu-abu itu masih tergenggam erat, tak lepas sedikit pun.
Begitu pintu mobil tertutup dan mesin menyala, Amel melirik sekilas benda itu. “Kamu nemuin apa lagi sekarang?”
Ara menatap keluar jendela, napasnya berat. “Sesuatu yang mungkin bisa ngubah segalanya, Mel ..."
Mobil terus melaju, dengan kencang meskipun di belakang motor tadi masih mengikuti, dan di tengah-tengah ketegangan itu Ara sempat melirik mobil mewah keluaran baru yang ditumpangi oleh temannya itu.
"Mel, gila mobilmu mulus banget," ujar Ara. Ia masih sempatnya meledek di tengah-tengah ketegangan yang menghampirinya.
Sementara itu Amel hanya malu-malu kucing menanggapi ucapan temannya itu. "He he ... ini dari bokap loh Ra," akui Amel.
"Idiiih gila benar itu orang gue yang anaknya kagak pernah diperhatiin, nah giliran sama perempuan lain ..." ucap Ara menggantung.
"Maaf ya Ra, aku gak ada niatan begitu," sahut Amel.
"Gak masalah Mel, kuras saja harta pria berengsek itu aku gak peduli, tapi ingat ya! Jangan sampai kamu jatuh cinta, entah yang ada, kamu malah di suruh ngurus itu laki disaat sudah tua!" cerocos Ara.
"Iya ... iya ...," sahut Amel sambil fokus menyetir.
Namun kali ini mereka berdua masih dihantui rasa cemas, karena motor itu masih terus membuntuti mereka. Mobil Amel melesat di jalanan kota yang mulai sepi. Lampu-lampu jalan berkelebat cepat di kaca depan, sementara suara mesin yang meraung berpadu dengan detak jantung Ara yang belum juga tenang.
“Mel, mereka masih ngikutin kita…” bisik Ara, suaranya parau.
Amel melirik kaca spion dua motor itu masih di belakang, jaraknya memang agak jauh, tapi lampu mereka terus menyala, seperti mata dua pemangsa yang tak mau kehilangan buruannya.
“Gila, mereka gak nyerah!” desis Amel, tangannya menggenggam erat setir. “Pegangan, Ra!”
Mobil sedikit oleng ketika Amel memutar tajam di pertigaan, berusaha memotong jalan menuju jalur utama. Namun begitu mereka mencapai lampu merah di perempatan besar, warna merah menyala terang dan Amel terpaksa menginjak rem mendadak. Ban mobil berdecit keras di aspal.
“Mel, lanjut aja! Lewatin aja lampu merah!” kata Ara cemas.
“Gak bisa! Di depan ada polisi patroli!” jawab Amel cepat, matanya menatap dua petugas yang berdiri di tengah perempatan sambil mengatur lalu lintas malam itu.
Amel berusaha tampak tenang, padahal tangannya sedikit gemetar. Ia melirik ke spion lagi motor-motor itu semakin dekat, suara knalpotnya meraung kasar.
Salah satu petugas polisi mulai melangkah ke arah mobil mereka, mengangkat tangan memberi isyarat berhenti.
“Selamat malam, Mbak. Lampunya merah, tolong sabar sebentar ya…” katanya sopan.
Namun sebelum Amel sempat menjawab, suara motor di belakang terdengar makin kencang.
Ara spontan menunduk. “Mereka itu, Mel… mereka yang ngejar aku!”
Amel menatap spion, dan detik itu juga dua pengendara motor berhenti beberapa meter di belakang mobil. Salah satunya masih mengenakan helm hitam penuh, satunya menurunkan visor dan memalingkan wajah tapi arah pandangnya jelas ke mobil mereka.
“Mel, tolong… jangan buka kaca…” bisik Ara lirih, matanya ketakutan. Polisi yang tadi berbicara sempat menoleh ke arah dua motor itu, wajahnya sedikit curiga.
Lalu tiba-tiba salah satu pengendara menyalakan mesin lagi dan hendak memotong jalur ke sisi kiri mobil.
“Mel!” teriak Ara.
“Pegangan, Ra!”
Amel langsung menginjak gas begitu lampu berganti hijau. Mobilnya melesat cepat, nyaris menyerempet polisi yang buru-buru menyingkir ke tepi jalan. Dua motor di belakang ikut memacu kecepatan, menembus arus lalu lintas yang mulai padat.
Suara klakson bersahutan, lampu-lampu kendaraan berkelebatan. Amel menggertakkan gigi, “Kalau mereka masih ngikut, aku sumpah bakal bikin mereka nyesel.”
Ara memeluk tas dan kotak kecil di dadanya makin erat, jantungnya berdegup kencang. “Mel, tolong jangan berhenti... apa pun yang terjadi, jangan berhenti!”
Amel menatap spion satu kali lagi. Dua motor itu masih di sana.
Tapi kali ini salah satunya mulai mengangkat sesuatu dari balik jaket.
Ara menatapnya ngeri. “Mel… itu kayaknya… senjata.”
Udara di dalam mobil tiba-tiba berubah dingin, tegang, dan sunyi. Suara mesin saja yang kini terdengar menggema di antara jantung yang berdebar.
"Mel ini gimana ini mereka semakin dekat aku takut," ucap Ara, dengan nada yang bergetar.
"Kau tenang saja mereka tidak akan pernah menangkap kita," ujar Amel sambil fokus ke arah depan dengan tatapan yang begitu tajam.
☘️☘️☘️☘️
Disaat Ara dan Amel begitu genting dengan kedua teman Doni yang mengejarnya, lain hal nya di rumah Sita yang sekarang sudah merasa tenang, karena warga berhasil melerai Doni yang hendak mencekiknya.
Suasana nampak sunyi, wanita paruh baya itu duduk di kamarnya, sementara beberapa teman Doni masih duduk di ruang tamu, namun seketika Doni mencari kedua temannya yang pergi mendadak itu.
"He, Andi dan Reza dimana?" tanya Doni.
"Gak tahu sepertinya tadi pas Lo dilerai oleh warga mereka mengejar penyusup yang mau ngambil barang di rumah lo.
Seketika Doni tertawa mengejek. "Hah! Ambil barang, emangnya ibuku yang miskin itu punya barang istimewa, atau paling enggak barang antik lah, ada-ada saja anak dua itu," ujar Doni sambil mengejek ibunya sendiri.
Mendengar itu hati Sita langsung terenyuh ia tidak pernah menyangka anak yang selalu ia sayang bakal ngelunjak seperti itu, namun yang membuatnya tidak habis pikir, perkataan teman Doni mengenai penyusup itu.
"Penyusup ... apa yang mau mereka ambil dari rumahku ini," gumam Sita masih bingung namun entah kenapa hatinya merasa tidak karuan.
Bersambung .....