Devan kaget saat tiba-tiba seseorang masuk seenaknya ke dalam mobilnya, bahkan dengan berani duduk di pangkuannya. Ia bertekad untuk mengusir gadis itu, tapi... gadis itu tampak tidak normal. Lebih parah lagi, ciuman pertamanya malah di ambil oleh gadis aneh itu.
"Aku akan menikahi Gauri."
~ Devan Valtor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Killer
Begitu Devan memasuki kelas XII², kelas tersebut langsung ramai dengan bisik-bisik para murid. Terutama murid cewek.
"Gila, ganteng abiss!"
"Astaga, itu manusia apa cowok yang keluar dari komik?
"Mahasiswa magang pasti."
Berbagai komentar pelan memenuhi kelas itu. Tidak jelas di depan kelas, namun suara ributnya jelas. Siswa cowok banyak yang biasa saja, meski ada yang ikut setuju dengan tampang laki-laki berpakaian rapi di depan sana.
"Semuanya tenang!" Ibu Nonce berseru kuat. Pak Krisna sudah tidak ikut masuk, hanya dia dan Devan.
Suara-suara ribut tadi kini perlahan reda.
"Seperti yang kalian lihat, di depan kalian ini namanya pak Devan Valtor. Guru baru. Mulai hari ini akan mengajar di sekolah ini. Pak Devan adalah guru matematika."
Begitu nama "Devan Valtor" diucapkan, kelas yang tadinya mulai tenang langsung ribut lagi kali ini lebih terkendali, tapi jelas penuh bisik-bisik heboh. Bu Nonce kembali menenangkan. Setelah kelas yang riuh tersebut kembali tenang, bu Nonce undur diri ke Devan.
"Saya tinggal dulu, silahkan mulai pak Devan."
Begitu pintu tertutup, atmosfer kelas berubah. Ada semacam … aura tegang yang ramai tapi serentak diam. Devan mengedarkan pandangan, memindai barisan bangku dengan tatapan tajam yang seperti bisa membaca IQ tiap anak hanya dengan melihat cara mereka duduk.
Dan benar saja, beberapa cowok langsung membetulkan posisi kursi. Cewek-cewek menegakkan punggung dan menyembunyikan rambut yang tadi sedang disentil-sentil. Meski masih terpesona dengan ketampanan guru baru itu, aura dingin sang guru makin kelihatan sekarang. Caranya berdiri dan menatap dari depan sana, mendominasi, dan mengintimidasi.
"Ini hari pertamaku di sini. Mari kita tetapkan peraturan." akhirnya, setelah beberapa menit hanya diam, pria itu angkat suara. Suaranya deep sekali, membuat para murid cewek histeris dalam hati mereka.
Devan kembali bicara dengan segala peraturan yang dia tetapkan, ada beberapa murid yang protes, Devan memberikan mereka waktu untuk menjelaskan alasan kenapa mereka protes, lalu setelah itu ia membungkam mereka semua dengan caranya. Alhasil, semua murid diam. Tak ada satu pun dari mereka yang berani melawan, termasuk para cowok yang sok jagoan di kelas.
Kelas yang biasanya santai dengan banyak murid yang tidak suka memerhatikan saat guru mengajar, kini harus benar-benar memperhatikan. Devan ada caranya sendiri membuat mereka semua takut dan memperhatikannya mengajar di depan kelas. Bahkan ia memakai cara yang berkelas. Tanpa memukul, menghina, atau membentak, tapi cukup dengan sorot mata yang tajam dan ucapan singkat yang menusuk logika.
Begitu bel berbunyi, semua anak-anak itu langsung bernafas lega, seolah baru saja lolos dari maut. Siswi-siswi cewek pada ngumpul setelah Devan keluar kelas.
"Gila, pak Devan keren abis. Tapi killer-nya nggak keren. Gue sampe nahan napas tadi."
"Bulu kuduk gue sampe bediri semua."
"Gue kira dia bakal marah-marah kayak guru killer lain, tau-tau cuma ngeliatin gitu doang tapi langsung bikin jantung gue copot," sahut yang lain sambil memegangi dada.
"Ngeliatin? Itu bukan ngeliatin, Beb. Itu namanya menembus jiwa," timpal seorang siswi, membuat yang lain cekikikan.
Sementara itu, para cowok hanya saling pandang dan geleng-geleng kepala.
Dalam perjalanannya menuju ruang guru, Devan berpapasan dengan seseorang. Seorang guru wanita seumurannya yang langsung mengenalinya dari jauh.
Diana Rusadi, 27 tahun, guru sastra. Waktu SMA, ia satu sekolah dengan Devan. Satu kelas juga dan Diana menjabat sebagai ketua kelas dulu. Devan sudah populer sekali dari dulu, dan Diana mengaguminya diam-diam.
Diana sudah dengar akan ada guru baru seumuran dia. Tapi ia tidak menyangka ternyata guru baru itu Devan, teman sekelas dari masa lalunya. Mereka tidak akrab dari dulu karena Devan sudah terkenal tidak suka dekat-dekat perempuan.
Begitu Devan melewatinya, Diana menyapanya. Tersenyum ramah, serta agak malu-malu.
"Devan,"
Langkah Devan terhenti. Wajahnya terangkat, menatap lurus ke depan. Berhenti pada wanita yang berdiri di depannya. Tatapannya datar, seolah jiwanya tak ada di raganya.
Devan menatap Diana beberapa detik tanpa ekspresi, cukup lama hingga Diana mulai ragu apakah laki-laki itu benar-benar mengingatnya. Lalu ia memperkenalkan diri.
"Aku Diana Rusadi," ucapnya
tersenyum gugup.
"Kamu… masih ingat?"
Alis Devan mengernyit. Ia juga merasa tidak penting mengingat siapa perempuan itu. Diana yang malu karena Devan memang jelas sekali tidak mengingatnya, langsung bicara lagi.
"Oh, mungkin kamu sudah lupa. Kita mantan teman sekelas. Sama-sama kelas IPA di SMA Pertiwi. Aku ketua kelas waktu itu." ia menjelaskan.
Sayangnya respon Devan jauh sekali dari yang namanya ramah. Lelaki itu hanya mengangguk singkat, menciptakan kecanggungan yang luar biasa antara mereka. Eh, mungkin hanya Diana yang merasa canggung. Wanita itu tersenyum kaku, berusaha terlihat santai.
"Aku dengar kamu lama di luar negeri. Nggak nyangka bisa jadi guru di sini."
"Maaf, kita di sekolah. Tolong jangan panggil langsung nama. Kau bisa memanggilku pak Devan." ucap Devan kemudian, kaku sekali. Sifatnya yang itu memang tidak pernah berubah, masih sama persis dengan waktu mereka sekolah dulu.
Diana langsung mematung. Kalimat itu, pendek, datar, tanpa jeda, terasa seperti tamparan halus yang menyadarkan dirinya bahwa Devan tidak pernah berubah. Lelaki itu melangkah lagi, melewatinya begitu saja tanpa menunggu respons. Aroma parfum maskulin yang dingin dan rapi lewat bersama bayangannya.
Diana menghela napas pelan, mencoba menahan rasa malu yang merayap di wajahnya. Untuk tidak ada siapa-siapa di Koridor, kalau tidak, dia akan lebih malu lagi. Tapi Diana senang, setelah bertahun-tahun, dia bisa melihat cowok yang masih sering dia pikirkan itu.
Devan makin tampan. Dulu tampan, tapi sekarang jauh lebih tampan lagi, mungkin karena sudah jauh lebih matang dibanding dulu. Diana menghembuskan nafas panjang lalu melanjutkan langkahnya. Kelas terakhir dia mengajar adalah kelas XII⁴, kelas paling terkenal nakal di antara seluruh kelas dua belas yang ada di sekolah ini.
Ketua kelas tersebut segera memimpin aba-aba ketika dia masuk.
"Pagiii buuuu!" seru mereka kompak.
Mata Diana tidak lepas dari Ares dan sosok yang duduk di sebelah murid cowok itu. Diana menghela nafas.
"Ares, ibu sudah pernah bilang bukan jangan bawa-bawa yang bukan murid ke kelas saat ibu mengajar!" kata Diana dengan suara kencang dari depan kelas.
Ares yang duduk di barisan paling belakang menatap wanitu itu santai. Sesekali ia juga melirik ke Gauri yang sibuk memainkan karet gelang di sampingnya. Gadis itu tidak jadi ia antar ke rumah sakit karena tiba-tiba Gauri semangat lagi dan memaksa ingin ikut dengannya. Ya sudah, dia bawa ke kelasnya aja.
"Kenapa, selagi dia nggak gangguin ibu ngajar, nggak apa-apa kan? Kepala sekolah aja gak ngelarang." ujar Ares nggak ada takut-takutnya.
Gino usiiiilll mulutnya😄.
Sampai di hotel - proses check in selesai - Devan menerima satu amplop tebal.
Devan sabar dengan kondisi Gauri dengan segala ucapan dan kelakuannya. Dan sudah paham ketika Gauri mencium aroma susu di tubuh Devan - langsung tertidur.
Mama Gauri senang di atas sana - putrinya dijaga seorang pria yang tulus mendampingi Gauri dalam liburan.
Devan Ampe gak tenang disamping Gauri, terlalu banyak hal yg bikin degdegan ya Van 🤭
Tapi gimana Gauri ga tergantung sama bapak,, perhatiannya itu lho...,, Gauri ga tau sj kalo pak Devan sudah dag Dig dug ser....🤭