Ini kisah cinta Sinaga, pria beristri yang jatuh cinta pada wanita yang mengandung anaknya. Mereka bukan kekasih, bukan musuh. Mereka hanya orang asing yang terjebak oleh keadaan. Karena satu malam, Moza hamil. Bagaimana Moza menjalani hidupnya? Apa Naga tahu, bahwa wanita asing itu mengandung benih yang tak sengaja ia tanam.
Follow akun Instagram Sept
Sept_September2020
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sept, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dendam Istri Pertama
18+ Istri Gelap #35
Oleh Sept
Sierra langsung menoleh saat mendengar suara Rona, ia kaget bukan main dan langsung melepas lengan Mateo yang semula mendekapnya dengan erat. Gawat! Kalau Rona sampai melapor pada suaminya, bisa-bisa ia akan dituduh selingkuh. Ia tidak mau Rona salah paham dan mengadu.
"Rona ... tunggu!" Sierra mengejar sekretaris suaminya yang pergi karena rasa malu.
Sementara Rona, sembari berjalan, mulut wanita yang memiliki rambut sebahu itu komat-kamit. Ia merutuk, harusnya tidak masuk ke ruangan Tuan Naga. Kalau sudah begini, mereka yang mersa-mesraan tapi dia yang malu besar. "Ah sial!" rutuknya sambil terus berjalan.
"Kau tak mendengarku!" bentak Sierra yang sudah berdiri di samping Rona.
"Iya Nyonya Sierra, maaf saya tidak lihat apa-apa tadi!" wanita itu menundukkan wajah.
"Saya tahu kamu lihat! Ingat pesan saya, kalau sampai Naga tahu, kamu saya pecat dan mutasi ke kantor cabang yang ada di pelosok!" ancam Sierra, ia mengancam karena juga merasa takut bila Rona ember dan mengadu pada Naga.
"Baik, rahasia ini akan saya bawa sampai liang lahat."
"RONA!!!" teriak Sierra kesal. "Teo hanya memeluk untuk menenangkan diriku! Jangan berlebihan! Aku tidak berselingkuh!" ujar Sierra. Ia tidak mau Rona memandang rendah padanya. Hanya karena dipeluk, bukan berarti selingkuh, pikir Sierra.
"Saya tidak bilang kalian berselingkuh!" Rona langsung mengantupkan bibir. Duh, sepertinya ia harus mengerem mulutnya. Harusnya ia diam saja.
"Aku tau apa yang kamu pikirkan, bila sampai kejadian tadi bocor. Pokoknya itu bersumber darimu!"
Rona pun hanya menundukkan wajah dengan dalam.
"Sudah, kamu boleh pergi!" titah Sierra pada sekretaris Naga.
Setelah Rona menjauh, dari belakang Mateo malah menyusul dirinya.
"Stop! Jangan dekat-dekat!"
Kontan saja Mateo mengerem mendadak langkah kakinya. "Jual mahal banget, persis 10 tahun silam!" batin Mateo.
"Aku hanya mau ke ruanganku!" sengaja ingin membuat Sierra kesal, Mateo pun berjalan melewati wanita itu.
Sierra sendiri tambah cemberut, datang ke perusahaan Sanrio hanya menambah masalah. Tidak ingin Mateo mengontaminasi pikirannya, Sierra memutuskan kembali pulang.
Ketika Sierra berbalik, di situ Mateo langsung keluar dari ruang kerjanya. Ia mengintip, menatap punggung wanita itu diam-diam. Punggung yang tadi berhasil ia peluk. Aromannya masih sama, Sierra memang sosok yang membuatnya berkesan saat ia muda dulu. Sebelum menikah dan kini jadi duda tanpa anak. "Ah sial! Mengapa kamu lebih suka Sinaga?" tanya Mateo pada bayangan Sierra yang lama-lama semakin menjauh dan hilang.
Ketika hari menjelang siang, di sebuah rumah dengan bau cat baru yang masih menyengat. Naga, Moza dan Sendy masuk ke dalam hunian yang sepertinya habis direnovasi tersebut.
"Rumah siapa ini?" Moza menatap penasaran pada rumah bergaya Eropa tersebut.
"Rumah kalian, setelah kejadian semalam. Aku langsung menyuruh orangku mencari rumah baru untuk kalian."
"Dalam waktu semalam?" Moza tidak percaya, lagi-lagi ia merasa Naga selalu membual pada dirinya.
"Kenapa? Apa kamu tidak suka?"
"Ini terlalu bagus, dan ini juga terlalu besar untuk ditinggali kita bertiga. Apalagi kamu pasti jarang di rumah," terang Moza.
"Kata siapa? Kamu tahu Moza, di sini ada 10 kamar. Tahu artinya apa?"
"Siapa lagi yang akan tinggal di sini? Dan lagi, aku tidak suka terlalu banyak asisten. Satu saja aku rasa cukup," ucap Moza yang memang sudah biasa hidup mandiri. Apa-apa ia kerjakan sendiri.
Naga menggeleng, "Bukan asisten, kamar yang banyak itu nantinya akan terisi oleh calon adik-adik Sendy!" ucap Naga dengan percaya diri. "Lihat ... jika kamu malu, pipimu selalu memerah," tambah Naga dengan senyum menggoda.
Ia hanya ingin mengajak Moza bercanda, sejak dalam perjalanan mereka semua masih nampak tegang. Kejadian semalam tidak mungkin bisa mereka lupakan begitu saja.
Untung saja Sendy tidak melihat mayat Madam dan para algojonya yang tergeletak bermandikan darah. Dan untuk Moza, pasti wanita itu masih shock. Kematian Madam Antony di tempat tinggal mereka yang lama pasti menimbulkan rasa ngeri, disadari atau tidak. Moza pasti kepikiran.
Makanya, Naga ingin sedikit mencairkan suasana dengan mengajak Moza sedikit bercanda.
"Tidak, di sini sangat gerah, aku hanya kepanasan!" elak Moza ketika Naga membahas pipinya yang memerah.
Saat keduanya asik mengobrol, Sendy malah terlihat sedang main ayunan. Rumah ini benar-benar cocok untuk anak kecil. Ada prosotan di taman samping rumah. Kolam renang dua tempat, satu anak-anak, satunya lagi dewasa. Rumah yang memanjakan bagi pemiliknya.
Entah berapa dana yang harus Naga keluarkan untuk memberi rumah mewah tersebut.
Malam hari.
"Moza ... aku pulang dulu, mengambil barang-barangku di rumah."
Kedua alis Moza menungkik tajam ke bawah, apa suaminya akan memilih tinggal di tempatnya secara permanent? pikir Moza.
"Mau pindah?" tanya Moza ragu-ragu.
"Kenapa? Apa kamu tidak menyukainya?"
"Em ... bagaimana dengan istrimu?"
"Aku akan menceraikan Sierra."
"Cerai?" ulang Moza. Ia tidak pernah meminta Naga menceraikan istri pertamanya itu. Lalu mengapa mendadak Naga akan menceraikan Sierra?
"Ya ... kami harus bercerai, apa kamu mau terus-terusan sembunyi seperti ini? Sendy bahkan makin lama semakin besar. Aku tidak mau anakku tidak memiliki status yang jelas."
"Tapi, mengapa harus menceraikan Sierra?"
"Mana mau dia mengijinkan Kita menikah resmi? Jalan satu-satunya adalah berpisah," ucap Naga sembari menghela napas panjang.
"Dia pasti terluka dan tidak terima!" Moza ingat bagaimana Sierra menyerang dirinya. Tanpa sadar, tangannya memegang pipi, mencari bekas cakaran dari Sierra.
"Lebih terluka lagi kalau seperti ini, Moza!"
"Tapi ...!"
Naga menatap kesal pada Moza, dari tadi kok sepertinya Moza tidak mendukung keputusan yang ia buat. Apa Moza lebih suka jadi istri simpanan?
"Kamu tidak suka pernikahan kita diresmikan secara hukum?" tanya Naga dengan tatapan yang tajam.
Moza menelan ludah, sepertinya Naga terlihat marah.
"Siapa yang tidak suka? Wanita mana yang menolak ketika hubungan mereka diakui oleh dunia. Hanya saja ... aku takut akan berimbas buruk padamu!"
"Apa yang kamu khawatirkan?"
"Semuanya! Pandangan dunia akan langsung berbeda padamu. Stigma buruk akan dicap padamu, Naga!"
"Apa peduliku? Duniaku saat ini adalah kalian. Bila mereka membenci, aku terima. Itu adalah konsikuensi atas apa yang aku pilih."
Mendengar Naga yang sudah mengambil keputusan, Moza tidak lagi mendebat suaminya. Ia pun akan mengikuti apa kata Naga.
"Ya sudah, aku pulang dulu!" pamitnya pada Moza, setelah itu mengintip ke dalam kamar. Dilihatnya Sendy sudah lelap.
"Jaga Sendy baik-baik!" pesannya lagi.
Moza mengangguk, melambaikan tangan melepas kepergian Naga.
Kediaman Naga.
Saat terdengar deru mobil di halaman, Sierra yang dari tadi tidak bisa tidur, langsung menghampiri Naga. Ia hafal betul suara mobil suaminya itu.
"Dari mana saja? Mengapa tidak pulang-pulang?" protes Sierra yang mengikuti jalan Naga menuju kamar.
"Sierra, maafkan aku. Tapi sepertinya kita tidak bisa lagi untuk tinggal bersama!" Naga meraih koper besar warna silver dari atas lemari.
"Mas mau pergi lagi? Hanya urusan bisnis, kan? Berapa hari?" Wajah Sierra sudah pucat, ia takut bila Naga benar-benar pergi dari rumah untuk selamanya.
"Sierra!"
"Pulanglah, tidak peduli berapa lama. Selesaikan dengan cepat ... aku akan menunggu!" ucap Sierra dengan bibir yang bergetar.
"Sierra ...!"
"Jangan jelaskan apapun, pergilah ... tapi tetaplah pulang!"
Sierra tak kuasa menahan tangis, apalagi menatap wajah Naga yang seperti memohon untuk melepasnya. Ini terlalu kejam bagi Sierra, ini tidak adik.
Akhirnya tangis Sierra pun pecah, "Apa bagusnya wanita murahan itu?" gumam Sierra. Masih dengan sesengukan, Sierra tidak terima ia kalah dengan wanita malam. Ia meraih koper dan mendorongnya jauh.
"Hentikan Sierra, ini hanya melukaimu!"
"Tidak usah peduli aku terluka apa tidak, cukup bertahan dan di sisiku. Aku bahkan sudah tak mengusiknya!" ratap Sierra di tengah tangisnya.
"Ini tidak semudah yang kamu ucapkan Sierra! Bertahan dengan orang yang tidak kamu cintai hanya membuatku seperti hidup di neraka!"
"Kamu jahat!!!"
Naga mengusap wajahnya, harus bagaimana lagi memberikan pengertian pada Sierra. Pernikahan tanpa cinta, hanya akan membawa luka.
"Maafkan aku Sierra." Naga mengulurkan tangan mencoba menyentuh pundak Sierra.
"Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu!" sentak Sierra dengan tatapan penuh kemarahan.
Wanita itu pun langsung meraih kunci di atas meja. Masuk ke dalam mobil dan mengendara dengan asal.
Hampir saja ia menabrak tiang reklame, untung kakinya mampu menginjak pedal rem dengan tepat.
Bunyi klakson bersautan di belakang mobil Sierra, wanita itu bergeming. Ia hanya menangis sambil meletakkan kepalanya di atas kemudi.
Sampai beberapa orang mengetuk kaca mobil dengan geram.
"Keluar!"
Sierra masih tengelam dalam tangisnya.
Tok Tok Tok
Karena yang mengetuk kaca semakin banyak, Sierra akhirnya membuka jendela mobilnya. Sembari mengusap pipinya, ia mengucapkan kata maaf.
Melihat wanita yang berderai air mata, para pengemudi lain pun akhirnya membiarkan Sierra. Wajah wanita itu terlihat putus asa dan kacau balau.
Akhirnya Sierra pun kembali menyalakan mesin mobilnya. Ia mengendara tanpa arah. Hingga tanpa sadar, Sierra berhenti di depan sebuah pagar warna coklat tua.
Ketika pintu pagar terbuka, Sierra pun masuk.
"Apa ada denganmu?"
Tidak menjawab pertanyaan dari pria di depannya. Sierra langsung memeluk tubuh tersebut dengan erat.
"Hancurkan mereka untukku!" ujar Sierra, suaranya terdengar tidak jelas karena disertai tangis. Bersambung.