NovelToon NovelToon
Renjana Senja Kala

Renjana Senja Kala

Status: tamat
Genre:Romantis / Contest / Romansa / Tamat
Popularitas:19.2M
Nilai: 5
Nama Author: Sephinasera

SEGERA TERBIT CETAK

"Renjana Senja Kala" adalah spin off dari "Beautifully Painful".

***

Tama dan Kinan memiki karier cemerlang, rising star di bidang masing-masing. Namun karakter juga sikap kaku Tama, luka batin masa kecil Kinan, serta kehadiran Pramudya, dokter spesialis jantung kharismatik menghancurkan segalanya. Tama dan Kinan sepakat untuk berpisah. Meninggalkan Reka, putra semata wayang mereka yang tumbuh dalam kebencian terhadap sosok seorang ayah.

Tapi terkadang, perpisahan justru jalan keluar terbaik. Ibarat mundur selangkah untuk melesat jauh ke depan.

Kinan mulai menyembuhkan luka bersama Pramudya. Tama berhasil menemukan cinta yang selama ini dicari dalam diri Pocut, wanita sederhana nyaris tanpa ambisi. Dan Reka mulai memahami bahwa semenyakitkan apapun kehidupan yang harus dijalani, selalu ada kebaikan serta harapan di sana.

Hasrat cinta yang kuat di akhir masa penantian.
Renjana Senja Kala.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 34. You Can't Always Get What You Want

You Can't Always Get What You Want

(Kau tak bisa selalu mendapatkan apa yang kau inginkan)

-diambil dari judul lagu milik The Rolling Stones, band rock asal Inggris-

***

Jakarta

Kinanti

Hari pertama menginjakkan kaki di rumah duka, ia sudah disuguhi pemandangan yang tak biasa. Saat melihat Mas Tama bersama dengan seorang wanita di halaman belakang rumah.

Terasa begitu istimewa baginya, karena matanya berhasil menangkap gesture (sikap) berbeda saat dua insan tersebut saling berbicara. Mas Tama bahkan terang-terangan memperlihatkan sparks (percikan -api cinta-), yang lama tak dijumpainya. Telah hilang dari genggaman. Hingga ia menemukannya kembali pada diri orang lain, Mas Pram.

Tapi ia tak lantas gegabah mengambil kesimpulan. Selain karena terlalu dini juga hampir mustahil. Sebab wanita yang bersama dengan Mas Tama terlihat berbeda. Jauh dari yang dibayangkannya.

Wanita itu jelas tak memenuhi kriteria modis dan penuh percaya diri. Terlalu biasa untuk ukuran mereka. Meski harus diakui ada satu sifat universal yang tak terbantahkan, true beauty (kecantikan sejati).

Ia langsung melupakan sosok wanita di halaman belakang. Terlebih dengan kehadiran sederet high class woman (wanita kelas atas) yang secara khusus datang ke rumah. Hanya untuk menjumpai Mas Tama. Ingin menyampaikan rasa bela sungkawa. Definisi dari always get what you want (selalu mendapatkan apa yang kau inginkan). Alias harta, tahta, wanita sudah berada dalam genggaman seorang Wiratama Yuda.

Namun alpanya gesture dan sparks saat Mas Tama berbincang dengan para high class woman, membuatnya kembali teringat pada wanita di halaman belakang rumah.

Dan sekarang, ia mendapati Mas Tama sedang duduk di meja makan. Bersama wanita yang secara ajaib kembali menyalakan sparks di mata Mas Tama. Berhasil memancing rasa ingin membuktikan yang menggebu. Apakah tebakannya harus berhenti hanya menjadi asumsi tak berdasar. Atau justru satu kenyataan yang tertunda?

Tiba-tiba saja ia merasa takut kehilangan.

Takut kehilangan sesuatu yang bahkan sudah bukan miliknya lagi.

Takut kehilangan hal paling berharga yang ia lepaskan dengan sukarela di masa lalu.

Ia tersenyum. Memandang wanita sederhana di sampingnya yang terlihat begitu gugup dan cemas. Kemudian beralih menatap Mas Tama, yang hanya memasang ekspresi datar.

"Mas nggak mau ngenalin kita berdua?" Ia masih tersenyum. Menatap Mas Tama yang air mukanya berubah mengeras.

"Udah kan?" Mas Tama balik bertanya. "Pocut, ini Kinan. Mantan istri saya. Kinan, ini Pocut ...."

"Sebagai ...." Ia sengaja menggantung kalimat.

Tapi Mas Tama justru menggeleng, "Not now (jangan sekarang)."

Ia tersenyum pahit. Saat mendapati kebenaran di mata Mas Tama. Jika ada seseorang yang tampil di hati Mas Tama. Tapi itu bukan dirinya.

"Maaf ... saya ke bela ..."

"Nggak ada yang perlu dikhawatirkan, Pocut," sergah Mas Tama cepat. Menahan wanita di sebelahnya agar tak beranjak.

"Duduk di sini saja. Temani saya makan."

Tawa sumbangnya hampir pecah. Demi mendengar tutur sederhana berbalut semanis madu yang diucapkan oleh Mas Tama. Hal yang sangat jarang diterimanya dulu. Bahkan hampir tak pernah.

"Ada yang harus saya lakukan di belakang," Pocut bersikeras.

Begitu juga dengan Mas Tama, "Nggak ada yang harus kamu lakukan di belakang."

"Kamu sudah duduk di meja ini sebelum kami. Seharusnya kami yang malu karena membuat kamu merasa nggak nyaman," lanjut Mas Tama seraya menatap Pocut dengan penuh kesungguhan. Kemudian beralih memberi pandangan memperingatkan padanya.

Ia tersenyum pahit, "Kesempatan seperti ini nggak datang dua kali."

"Bahkan mungkin nggak akan terjadi lagi," lanjutnya kian tertantang untuk membuktikan. "Apa Mas nggak ingin memanfaatkan momen ini untuk mengenalkan kami berdua."

"Ada Reka juga," sambungnya semakin tak terbendung. "Mungkin kita bisa duduk berempat dan membicarakan hal yang seharusnya."

"Aku tahu Mas, momen seperti ini pasti akan terjadi," ia berusaha tersenyum. "Aku sudah menunggu sejak lama."

"Don't be silly (jangan konyol)," Mas Tama menatapnya tajam. Ada pancaran ketaksetujuan di sana. "Sekarang masih dalam suasana duka."

"Dan kamu ingin kita membahas hal seperti ini?" Mas Tama menggeleng tak percaya.

"Kita bicarakan yang lain," ketus Mas Tama seraya meletakkan sendok dan mendorong piring yang masih berisi makanan menjauh. "***** makanku langsung hilang."

Ia menghela napas. Sadar jika terlalu menggebu. Seperti ada dorongan kuat tak terbantahkan yang menuntunnya berlaku demikian.

Tak pelak suasana canggung dan kaku semakin menguar. Memasung mereka bertiga di tempat duduk masing-masing. Tak ada seorangpun yang berminat mengurai kesunyian.

Yang tersisa hanyalah sayup-sayup orang saling berbicara. Denting suara piring, sendok, dan garpu yang beradu. Kesibukan petugas catering dan sejumlah pekerja rumah tangga. Tamu yang terus berdatangan. Sedangkan mereka bertiga tetap terdiam tanpa kata.

Ia yang penasaran ingin membuktikan. Mas Tama yang merasa kesal dengan kengototannya. Pocut yang sepanjang waktu terlihat gugup dan gelisah.

Hingga seruan yang cukup keras akhirnya berhasil membuyarkan kebisuan yang menyiksa.

"WOW! AMAZING (luar biasa)!"

Mereka bertiga sontak menoleh ke arah suara.

"Lagi pada reuni di sini ternyata ...." Sada menyeringai dengan gaya menggoda. Memperhatikan wajah mereka satu persatu dengan penuh selidik. Lalu menepuk bahu Mas Tama dengan cukup keras.

"Dicari komandan di depan," ujar Sada yang masih menyeringai. "Acara udah mau mulai. Ini malah mojok bertiga."

Mas Tama sempat meraih gelas berisi air putih. Meneguknya hingga tandas. Kemudian mengerling ke arah Pocut. Sebelum akhirnya beranjak pergi. Melewatinya begitu saja.

"Silakan dilanjut ...." Seloroh Sada yang langsung mengekori langkah sang kakak. Meninggalkan mereka berdua dalam suasana canggung.

"Maaf ...."

"Maaf ...."

Ia dan Pocut mengucapkan kata yang sama dalam satu waktu.

Ia tersenyum.

Begitu juga dengan Pocut.

"Pisah juga?" Tebaknya tak ingin kehilangan momen.

Pocut mengernyit.

"Dengan suami?" Sambungnya lebih jelas.

"Oh ...." Pocut mengembuskan napas panjang. "Suami saya sudah meninggal."

Ia menatap dengan perasaan menyesal, "Maaf."

Pocut tersenyum mengangguk.

Ia menghela napas sebelum mulai berkata, "Saya dan Mas Tama sudah resmi berpisah."

"Kami memiliki satu putra. Yang tadi duduk di sini."

Pocut menatapnya dengan ekspresi gugup.

"Kehidupan rumah tangga kami jauh dari sempurna." Kepalanya tertunduk. Memandangi piring di hadapannya yang telah kosong.

"Saya tidak berhak mendengar semua ini," ucap Pocut dengan raut tak nyaman.

Ia tersenyum, "Tapi saya ingin cerita."

Pocut menggeleng.

Ia masih tersenyum berusaha meyakinkan, "Saya selalu penasaran ... siapa sosok yang bisa mengambil hati Mas Tama."

"Wanita mana yang membuat Mas Tama tertarik. Siap untuk membuka lembaran baru. Melupakan kegagalan masa lalu."

"Sekarang saya lega karena sudah bertemu ...." Ia meraih tangan Pocut.

"Mungkin ke depannya akan sedikit sulit. Apalagi hubungan kami sebelumnya cukup rumit. Karena sama-sama menuruti ego."

Pocut hanya bisa terpana menatapnya.

"Saya tunggu kabar bahagianya ...." Pungkasnya dengan penuh kelegaan.

Sudut hatinya terasa nyeri saat melihat bagaimana cara Mas Tama memandang Pocut. Begitu dalam, penuh harap, bahkan terkesan memuja. Kemewahan yang tak pernah ia terima selama ini.

Memantik sejumput rasa cemburu dan tak rela yang cukup mengganggu. Menjadikannya bertanya-tanya, mengapa justru sosok sesederhana ini yang berhasil membuat Mas Tama tertarik. Apakah memang sesimple ini selera Mas Tama?

Ia bahkan lebih bisa menoleransi jika Mas Tama memilih satu di antara sederet high class woman yang datang berkunjung. Tapi kenyataannya, Mas Tama justru tak memedulikan kehadiran mereka. Mas Tama terlihat lebih hidup hanya saat berhadapan dengan wanita sederhana ini.

Entahlah. Ketertarikan memang selalu menjadi misteri. Dan rasa tak bisa dipaksakan.

Mungkin Mas Tama telah berhasil menemukan mutiara terpendam yang selama ini dicari dalam sosok sederhana ini. True beauty outside inside (kecantikan sejati luar dalam).

Sama seperti dirinya. Yang telah lebih dulu menemukan ketentraman pada diri Mas Pram. Menemukan kebahagiaan yang selama ini dicari.

Ah, ia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Kini hati dan perasaannya mulai ringan dan benderang. Tak lagi terbebani oleh kekeliruan di masa lalu.

Semoga disegerakan bahagiamu, Mas.

***

Tama

Prioritas utamanya saat ini hanyalah mendampingi mama. Agar bisa bangkit dan kembali melanjutkan hidup. Selain itu masih bisa menunggu. Termasuk Pocut.

Sebab ada begitu banyak hal yang harus dibereskannya terlebih dahulu. Sebelum memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Reka jelas menjadi pekerjaan rumah yang utama.

Sebab Reka tak juga luluh dengan permintaannya. Tetap bergeming pulang ke Surabaya bersama Kinan di hari ketiga. Iming-iming dan permohonan mama bahkan tak dihiraukan Reka.

"Maaf, Mas," Kinan menatapnya penuh penyesalan.

Ia hanya diam tak menjawab. Toh marah juga tak ada gunanya. Reka tetap menolak untuk mengabulkan keinginannya.

Baiklah, Reka. Jika pendirianmu sekeras batu. Kita lihat ke depan, apa yang bisa membuat hati batumu melunak.

Dan dengan berkumpulnya keluarga besar, hampir bisa dipastikan muncul bermacam kisah. Ada yang hidupnya gemah ripah loh jinawi. Ada yang diuji sakit menahun. Ada yang kehidupan rumah tangganya di ujung tanduk. Ada yang berhasil meraih pencapaian fantastis dalam karier.

Termasuk topik hangat tentang om Raka yang sedang berjuang mendapat restu.

"Cucuku Shaina itu ... perlu perawatan intensif. Harus punya ibu sambung yang cerdas. Bisa apa orang yang nggak pernah makan bangku kuliah ngurus menu, kegiatan, terapi yang njelimet begitu ...." Tutur tante Harti, ibunda om Raka.

"Ma ...." Protes om Raka.

"Cari istri yang sepadan Raka .... Jelas bibit, bebet, bobotnya. Nggak asal main baik dan cantik langsung tertarik."

Ia hanya menggelengkan kepala. Bahkan di usia anak yang sudah matang pun orangtua masih ikut campur dalam urusan jodoh.

"Mama ini sudah tua. Sebentar lagi nyusul Mas Setyo. Tolong buat sisa hidup Mama tenang. Dengan kamu pilih istri yang bisa dibanggakan. Bisa diandalkan."

Ia kembali menggelengkan kepala. Tak habis mengerti dengan jalan pikiran Tante Harti. Mungkin jika Tante Harti tahu kualitas sederet wanita yang mendekati Om Raka. Yang sebagian besar hanya mengincar status sosial dan harta untuk bergaya hedon. Tante Harti bisa langsung jantungan. Bisa langsung taubat dan ingin segera melamar Pocut saat ini juga. Wah, bahaya.

"Kuping panas?" Seloroh Sada yang tiba-tiba sudah duduk di sebelahnya.

"DAS!" Sada mempraktekkan gaya memotong sesuatu. "Satu rival gugur secara otomatis. Nikmat mana lagi yang kau dustakan?"

Ia hanya menyeringai. Tak berminat menanggapi.

Masih memusatkan konsentrasi pada mama. Yang setia memeluk kesedihan. Seolah enggan untuk melepaskan.

Ia bahkan masih tinggal di rumah. Menemani mama. Menunggu sampai mama sendiri yang memintanya pergi.

Seperti saat ini, ketika ia pulang jelang waktu Subuh. Usai memimpin operasi di lapangan. Mama tengah duduk menunggunya di ruang tengah.

"Mama udah bangun atau belum tidur nih?" Tanyanya curiga. Sementara suasana rumah sepi. Semua masih terlelap di balik selimut.

"Dulu ... Mama menunggu papa pulang rasanya khawatir, deg-degan, takut terjadi sesuatu," gumam mama dengan mata menerawang.

"Sekarang ... Mama nunggu kamu pulang rasanya masih sama," mama menatapnya dalam-dalam.

"Sudah makan belum? Atau mau langsung tidur?"

Ia mengembuskan napas panjang. Meraih mama ke dalam pelukan.

"Mama tidur aja. Nggak usah nunggu Tama pulang," bisiknya di balik punggung mama.

"Urusan makan sama tidur gampang. Mama nggak usah khawatir."

Mama tak menjawab. Hanya menepuk-nepuk punggungnya beberapa kali.

Tapi ia tahu jika mama sudah berlinang air mata di balik punggungnya.

Rasa kehilangan yang begitu besar memang terkadang sulit untuk diabaikan. Bukan tentang sikap tidak ikhlas atau meratapi nasib. Tapi tentang rasa memiliki yang seolah enggan pergi. Bahkan menetap di hati.

"Mama harus dibuat sibuk, Mas," begitu kata Dara melalui sambungan telepon. Oh, well, sepertinya Dara sudah resmi menjadi penasehat spiritualnya.

"Dicarikan kegiatan yang menyenangkan. Aktivitas yang bisa menjadi katarsis," lanjut Dara.

"Punya ide?" Ia balik bertanya. "Sesama wanita mungkin lebih tahu apa yang diinginkan."

"Menikmati hobi aja, Mas," jawab Dara. "Mama kan hobi berkebun, memasak, berta ...."

"Memasak!" Sambarnya cepat. "Good idea!"

"Tapi nggak pakai modus ya, Mas," Dara mengingatkan.

Ia hanya mengangkat bahu, "Ya ... tipis-tipis ...."

"Main cantik dong, ah!" Satu suara lain tiba-tiba ikut bergabung, Sada. "Ke gap ama Cakra bisa jadi Baratayudha."

Ia terkekeh, "Everything under control (aman terkendali)."

Ia sendiri yang datang menemui Pocut di Selera Persada.

"Saya pikir kamu udah resign waktu akhir bulan?"

"Diperpanjang tujuh hari," jawab Pocut yang pastinya merasa keheranan dengan kemunculannya.

"Ada beberapa pekerjaan yang belum saya selesaikan," lanjut Pocut dengan kegugupan yang seolah menjadi trade mark tiap kali mereka berbicara.

Ia hanya menyeringai. Jelas alasan paling masuk akal untuk merayu seseorang dengan alasan pekerjaan. Well, itu artinya modus sudah melanda siapapun tak pandang bulu.

"Bisa minta waktu sebentar?" Ia tentu tak boleh kehilangan sopan santun. "Ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu."

Pocut terlihat ragu. Tapi ia pantang menyerah.

"Tentang mama saya ...." Jika tak ingin mendapat penolakan, tentu ia harus memberi alasan paling masuk akal yang cukup meyakinkan.

"Saya pikir nggak usah jauh-jauh pergi ke Mall seperti ini," keluh Pocut ketika ia membelokkan kemudi ke sebuah pusat perbelanjaan.

"Kita perlu tempat yang nyaman untuk bicara," jawabnya singkat. Tak sedang menerima keluhan.

"Dan kita sudah sepakat kalau kamu nggak akan menghindar dari saya ...." Sambungnya dengan penuh ketenangan.

Ia tahu Pocut merasa tak nyaman. Tapi harus ada yang memulai bukan? Siapa lagi kalau bukan dirinya.

"Seperti apa rasanya kehilangan?" Tapi ia justru membuka percakapan dengan hal yang sensitif.

Pocut menggeleng.

"Seberapa dalam luka yang ditinggalkan?"

Pocut menghela napas, "Sangat dalam."

Ia tersenyum, "Kamu masih sering teringat dengan ... suami kamu? Memikirkannya?"

Pocut terlihat gugup, "Setiap hari ...."

"Kamu nggak ingin melupakannya atau ...."

"Semua ingatan datang sendiri," jawab Pocut setengah menunduk. "Saya tak kuasa untuk menolak."

"Berapa lama?"

"Maaf?" Pocut mengernyit.

"Sudah berapa tahun suami kamu pergi?"

Pocut terlihat tak nyaman, "Tiga hampir empat ...."

Ia mengangguk mengerti. Masa yang belum terlalu lama. Sangat wajar jika masih terbayang.

"Saya pikir ... kita akan membicarakan tentang bu Niar?" Pocut mengernyit.

Ia tersenyum, "Iya. Mama saya masih merasa sedih."

"Bisa ... saya minta tolong sama kamu?" Tanyanya berharap.

"Apa?"

"Setelah resign ... bisa sesekali datang ke rumah? Menemani mama saya mencoba resep baru mungkin ... atau ya ...."

"Ada Anjani?"

"Anja sibuk kuliah," ia menggeleng. "Mama sering bengong sendiri di siang hari. Ujung-ujungnya sedih berlarut-larut."

"Ada Dekgam ... maksud saya ... Aran ...."

"Iya," ia mengangguk. "Aran banyak membantu mama melupakan kesedihan. Tapi itu belum cukup."

"Mama masih punya waktu luang yang mengingatkan pada kesedihan dan kesendirian," sambungnya lagi.

"Tapi mama enggan keluar rumah," ia mengangkat bahu. "Pergi ke pabrik, kantor, mengecek ke sana-sini seperti biasanya ... sudah tak menarik lagi bagi mama."

"Mama nggak mau melakukan kegiatan, atau berkunjung ke suatu tempat, atau bertemu dengan orang-orang yang mengingatkan pada papa ...."

"Mungkin dengan tetap di rumah tapi sibuk memasak atau melakukan hal lain dengan seseorang yang dikenal ... bisa sedikit membantu mama melupakan kehilangan ...."

"Saya akan berterima kasih sekali ...." Ia tersenyum.

***

Keterangan :

Katarsis. : pelepasan emosi dan ragam perasaan negatif dari dalam diri dengan cara yang positif.

***

1
Naumi
anak tua ya saa 😂 🤣
Lugiana
eakkk...eaaakk /Facepalm//Facepalm/
Athalla✨
penjahat pencuri hati dan pikiran kak 🥰
Furia
Karya Luar Biasa 😍😍
Ri_viE
aku slalu melewati bab yg Reka dan sasa di culik itu 🥺🥺 ngga tega bgt. kenapa konfliknya sekeras itu.
Athalla✨
nah ini support system datang juga akhirnya
Athalla✨
kak Pocut serasa lagi diomongin gk sih 😅
Athalla✨
untung gk ada mas Sada,, udah di ceng²in yang ada nanti 🤣🤣
Yah bit bukan favorit Sasa lagi 🤭
Athalla✨
harus dong, biar nggak salah paham kedepannya kan repot jadinya
Athalla✨
cegil juga nih samara
Athalla✨
jadi penasaran sama cerita temen²nya mas Tama hmm
Athalla✨
jadi salah paham kan 🤦🏻‍♀️
Athalla✨
bukan lagi gosong malah
Athalla✨
nantangin ini namanya... cuz halalin dong mas 🤭
Athalla✨
panas dingin campur salting pastinya kak Pocut
Athalla✨
tuh kan mana mau mas Tama nolak, orang dapet rejeki nomplok wkwk
Athalla✨
udah jelas ini mah mas Tama mau lah tanpa paksaan 🤣
Athalla✨
udah dapat lampu hijau dari mamak
Athalla✨
feeling mamak emang kuat
Athalla✨
btw udah akrab aja nih mas sama umay 😁
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!