Ina dan Izhar memasuki kamar pengantin yang sudah disiapkan secara mendadak oleh Bu Aminah, ibunya Ina.
Keduanya duduk terdiam di tepian ranjang tanpa berbicara satu sama lain, suasana canggung begitu terasa, mereka bingung harus berbuat apa untuk mencairkan suasana.
Izhar keluar dari kamar mandi dan masuk kembali ke kamar setelah berganti pakaian di kamar mandi, sementara itu, Ina kesulitan untuk membuka resleting gaun pengantinnya, yang tampaknya sedikit bermasalah.
Ina berusaha menurunkan resleting yang ada di punggungnya, namun tetap gagal, membuatnya kesal sendiri.
Izhar yang baru masuk ke kamar pun melihat kesulitan istrinya, namun tidak berbuat apapun, ia hanya duduk kembali di tepian ranjang, cuek pada Ina.
Ina berbalik pada Izhar, sedikit malu untuk meminta tolong, tetapi jika tak di bantu, dia takkan bisa membuka gaunnya, sedangkan Ina merasa sangat gerah maka, "Om, bisa tolong bukain reseltingnya gak? Aku gagal terus!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Orie Tasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
"Assalamualaikum," ucap Izhar, saat memasuki apartemen miliknya.
"Wa'alaikumussalam," jawab Ina, yang sedang menonton TV sendirian.
Izhar menghampiri Ina dan duduk di sampingnya, sambil menghela nafas berat.
"Om capek banget ya? Sampai hela nafas aja berat banget," tanya Ina.
"Iya, lumayan capek," jawab Izhar, menyadarkan punggungnya di sofa.
"Emangnya, operasi itu menghabiskan tenaga?"
"Begitulah, gak semudah kelihatannya."
Ina tak bertanya lagi, dia pergi ke dapur untuk mengambilkan minum dan memberikannya pada Izhar.
"Makasih," ucap Izhar.
"Sama-sama."
Izhar meneguk airnya sekali habis, Ina terheran-heran melihat suaminya minum seperti orang yang sangat kehausan. Padahal, menurutnya operasi mungkin tak selelah itu.
Walaupun merasa heran, tapi Ina tak berani bertanya, takut Izhar marah karena di anggap sok tahu.
Izhar beranjak dari duduknya, "Saya mau mandi dulu, saya merasa gerah," ucapnya.
"Ya."
Izhar pergi ke kamarnya, Ina masih memperhatikan dirinya dari sofa. Sikap suaminya sedikit aneh, tapi Ina tak tahu apa penyebabnya.
Izhar keluar lagi dari kamarnya dengan membawa handuk dan masuk ke kamar mandi, Ina masih tetap memperhatikannya, seakan tak ingin kehilangan satu detik pun pandangan matanya dari sang suami.
Ina mengalihkan tatapannya pada layar TV lagi, karena Izhar sedang mandi, tak ada lagi model mengagumkan yang bisa di pandangnya.
***
Seorang gadis terbangun dari tidurnya yang panjang, kepalanya terasa pening dan sakit, hingga dia memegangi kepalanya. Sejenak, pandangan matanya seperti berputar-putar, dia tak mampu melihat dengan jelas.
Gadis berpakaian seragam sekolah SMA itu, menggeleng-gelengkan kepalanya untuk meringankan sedikit rasa peningnya.
"Aaarrrggghhhh... Kepala gue pening banget, rasanya gak enak!" keluhnya, sambil terus menggeleng-gelengkan kepala.
Ketika usahanya berhasil, matanya mulai bisa melihat dengan jelas sekelilingnya.
"Gue dimana?" ujarnya.
Langit gelap, dia berputar melihat sekitarnya. Dan baru menyadari bahwa dirinya berada di sebuah tempat yang asing, yang entah tahu dimana itu.
"Gue dimana?!" ujarnya panik, dia berdiri dan berputar-putar, tempat itu benar-benar asing untuknya.
"Mama, Papa!" jeritnya, penuh kepanikan.
Tempat itu sangat sepi, tak ada seorang pun disana,
hanya sebuah lampu bohlam berwarna kuning yang menggantung di langit-langit tempatnya berada.
Saat ini, posisinya berada di dalam sebuah pos ronda tua, yang sepertinya sudah lama tak digunakan. Pos nya terletak di tepi jalan yang sepi dan gelap, jalannya pun seakan tak pernah atau jarang di lewati.
"Mama, Papa!" jeritnya lagi, air matanya mulai mengalir deras.
Tak ada seorang pun yang mengetahui keberadaannya dan tak ada pula orang yang mendengar jeritannya.
"Ya Tuhan, gue dimana? Kenapa gue bisa ada disini?!"
Dia bertanya pada dirinya sendiri.
Rasa takutnya semakin besar, di tempat seperti itu adalah tempat yang sangat berbahaya bagi seorang gadis seperti dirinya.
Dia beranjak dari tempatnya berada, pergi menyusuri jalan dengan rasa takut yang besar. Suara lolongan anjing dari kejauhan, membuatnya merasa sangat takut dan ingin saja segera pergi jauh.
Langkahnya semakin cepat dan semakin kencang.
"Mama, Papa, tolongin Vina!" jeritnya keras, air mata pun semakin deras, dia berjalan cepat sambil terus menangis.
Dia hanya sendirian, tak ada apapun yang dibawanya, termasuk tas dan ponsel, semua sudah tak ada padanya.
Izhar tak menyisakan satu benda pun untuk membuatnya mudah berkomunikasi atau pulang.
***
"Om, Kak Hasna katanya besok mau datang. Aku boleh pulang ya, aku kangen mereka." Ujar Ina, pada Izhar yang duduk di sampingnya.
"Boleh, saya akan antarkan kamu besok."
"Om, boleh tanya?"
"Tanya apa? Biasanya kamu akan bertanya langsung, tanpi minta izin dulu."
Ina cengengesan, memang biasanya dia langsung bertanya tanpa meminta izin, bukan?
"Kanapa Om sama Isha perbedaan umurnya jauh banget? Padahal, adik kakak biasanya terpaut umur palingan 5 tahunan, ini kok sampai belasan tahun, aku sempat heran." Ini mengutarakan pertanyaannya.
"Ooh, soal itu. Dulu, mereka masih berada dalam tingkatan ekonomi yang rendah, Bapak cuma seorang karyawan biasa yang gajinya gak terlalu besar, rumah ngontrak, harus bayar biaya ini itu setiap bulannya, susah untuk nabung. Ketika di usia pernikahan ke-2 tahun, mereka memiliki saya, tapi karena kesulitan ekonomi akhirnya mereka menunda untuk memiliki anak lagi, karena takut nggak akan tercukupi secara materi. Ibu pakai KB IUD yang jangka waktunya sampai 10 tahun, setelah lepas itu, Ibu jadi susah hamil,"
"Sampai pada usia saya menginjak 13 tahun, Ibu kembali hamil Isha, lalu 6 tahun kemudian Ibu hamil Isyana dan saya punya adik bisa dibilang disaat saja remaja dan dewasa. Ibu sulit hamil gara-gara terlalu lama menunda dengan menggunakan KB, efeknya memang gak bagus, tapi alhamdulilah beliau punya 3 anak sekarang dan sepertinya gak akan bisa punya anak lagi karena usia Ibu udah kepala 5, Bapak juga usianya udah 57 tahun, gak akan bisa membuahi lagi."
Izhar mengakhiri ceritanya, setelah bercerita panjang lebar tentang asal usul dirinya dan Isha yang berbeda usia sangat jauh, padahal hubungan mereka adalah adik kakak.
Ina yang menyimak cerita suaminya sejak tadi, mangut-mangut paham, "Oooh, pantesan umur Om dan adik-adik Om jauh banget, ternyata emang agak kesulitan hamil ya Ibunya."
"Iya, malah Ibu saya pernah hampir putus asa karena meski umur saya udah dewasa, tapi beliau belum hamil lagi. Ibu pernah bilang, ikhlas meskipun cuma punya satu anak, tapi alhamdulilah nya Allah masih kasih beliau anak. Kalau nggak, saya pasti jadi anak tunggal sekarang."
"Umurku sama Kak Hasna juga bedanya cukup jauh, kita beda 6 tahun. Kak Hasna sekarang umurnya 23 tahun dan aku 17 tahun. Kata Mama, aku anak yang kehadirannya gak di inginkan, hehehe... Bukan gak di inginkan sih, tapi lebih tepatnya tanpa rencana, soalnya aku tiba-tiba ada di perut Mama setelah 4 bulan kehamilan. Katanya, Mama gak merasakan apapun saat hamil aku, malah gak ada mual atau ngidam sama sekali.
Pas kandungannya 4 bulan, Mama baru sadar ketika perutnya sedikit membesar, jadi Mama pergi ke bidan dan akhirnya di vonis positif hamil dan lahirlah aku yang cantik ini, heheheh..."
Ina bercerita dengan memuji kecantikannya sendiri.
Izhar tersenyum mendengar cerita istrinya, yang bahkan dengan 'pede' nya memuji kecantikan sendiri.
Izhar membelai kepala Ina, di tatapnya wajah mungil yang cantik itu, senyuman Ina selalu membuatnya ingin melakukan apapun demi senyuman itu tak pudar.
"Kamu tahu? Saya rela melakukan apapun, agar senyuman kamu gak pernah hilang, saya bahkan melakukan kejahatan demi kamu karena gak rela kamu menangis dan terluka. Ina, saya nggak tahu apa yang saya rasakan terhadap kamu, tapi saya sangat bahagia setiap melihat kamu bahagia, merasa sedih saat kamu sedih dan merasa terluka saat kamu terluka. Apakah saya telah mencintai kamu?"
Izhar membatin, perasaannya terhadap Ina semakin hari semakin dirasakannya berbeda. Izhar tak tahu apakah itu cinta atau bukan, namun Ratih masih masih membayangi hati dan pikirannya, sehingga Izhar tak mau terburu-buru menyakini bahwa itu adalah cinta.
Ina yang di tatap suaminya sambil di elus, juga merasakan rasa yang tak bisa, namun dia juga tak mau menganggap bahwa itu cinta. Ina tak mau terburu-buru mencintai Izhar secara terang-terangan, andai pun perasaan itu ada, karena Ina tak mau terluka. Dia yakin, bayangan Ratih masih menguasai Izhar, tak akan mudah baginya melupakan semua kenangan dengan Ratih.
Ina mendekati Izhar lebih merapat, lalu mendongakkan kepalanya dan menatap Izhar.
Ina meraih tengkuk Izhar dan menariknya, sehingga bibir keduanya menempel. Ina tidak ragu atau malu lagi untuk mencium sang suami lebih dulu, karena faktanya Izhar tak pernah menolak perbuatannya.
"Kamu nakal ya, saya kira kamu itu polos, ternyata agresif juga," ucap Izhar, setelah bibirnya terlepas dari Ina.
"Emangnya gak boleh kalau sama suami sendiri?"
"Boleh, cuma saya gak nyangka aja kalau kamu agresif juga."
"Aku kayak gini cuma sama Om kok, sama yang lain nggak. Aku selalu berusaha jaga diri aku dari melakukan hal seperti itu, Mama bilang sebagai wanita kita harus bisa memberikan kemurnian kita pada suami, jangan mudah terbujuk rayuan pacar katanya, nanti malah menyesal."
"Kenapa memangnya?"
"Kan gak jarang Om, malah mungkin banyak pasangan yang melakukan hubungan suami istri sebelum menikah, ujung-ujungnya dibuang juga setelah pasangannya puas. Makanya, aku gak pernah berani pacaran kebablasan, takut banget, udah di ambil sarinya ampasnya dibuang."
"Iya, makanya perempuan itu harus bisa menjaga dirinya dengan baik, rayuan laki-laki itu jangan mudah di percaya. Laki-laki yang baik, nggak akan pernah berani menjamah orang yang dicintainya tanpa ikatan pernikahan. Perempuan, harus bisa membedakan antara cinta yang tulus dan cinta karena nafsu."
"Apa Om pernah pacaran selain dengan Tanteku?"
tanya Ina.
"Nggak pacaran, lebih tepatnya kami ta'aruf, kami sudah bertunangan dan siap menikah. Tapi, tiba-tiba pihak wanita membatalkan, dengan alasan anaknya gak mau menikah dengan saya yang katanya kurang cocok dengan kriteria yang dia suka. Padahal saya sudah memberikan banyak untuknya, Seperti ke Tante kamu. Eh, setelah pernikahan kami gagal, dia malah menikah dengan orang lain dan sekarang sudah punya anak."
"Wahhh... Ini mah emang Om aja yang terlalu baik, masa sama cewek belum resmi jadi istri aja udah kasih segalanya, ujung-ujungnya Om di campakkan juga. Harusnya, Om jangan terlalu baik sama cewek, harus sedikit pelit."
"Ah ya, itu memang kebiasaan saya. Saya nggak bisa pelit ke orang, apalagi orang yang saya suka, saya selalu memberikan apa yang mereka mau tanpa berpikir ulang."
"Makanya, jangan terlalu baik, Om. Yang rugi 'kan, Om sendiri bukan orang lain. Udah habis berapa ratus juta tuh materi dari dua cewek itu, coba aja kalau dipakai buat bangun rumah, pasti Om sekarang punya rumah sendiri!" Ina agak sebal mendengar cerita Izhar, yang mudah sekali memberikan materi pada perempuan.
"Kalau kamu minta apapun, saya pasti akan memberikannya juga."
Ina kembali menatap suaminya, "Minta apa maksudnya?"
"Minta apa aja, saya akan memberikannya jika saya mampu."
"Ya udah, aku minta helikopter, jet pribadi, rumah lima lantai dan mobil mewah! Bisa kasih gak?!" Ina asal-asalan meminta.
"Saya akan memberikannya, bahkan kamu minta rumahnya 50 tingkat pun akan saya berikan. Tapi, biarkan saya korupsi 271 Triliun dulu ya, hahaha!" canda Izhar, lalu tertawa.
"Hish, jangan dong! Aku gak mau punya suami tukang korupsi, amit-amit!"
Izhar tertawa renyah, menggoda Ina menjadi kebiasaannya sekarang.
Ina juga gemas padanya, hingga mencubiti pipi Izhar dengan brutal. Izhar berteriak-teriak, karena dapat cubitan dari istrinya, membuat suasana malam mereka berisik.
...***Bersambung***...