Dalam diamnya luka, Alina memilih pergi.
Saat menikah satu tahun lalu, ia dicintai atau ia pikir begitu. Namun cinta Rama berubah dingin saat sebuah dua garis merah muncul di test pack-nya. Alih-alih bahagia, pria yang dulu mengucap janji setia malah memintanya menggugurkan bayi itu.
"Gugurkan! Aku belum siap jadi Ayah." Tatapan Rama dipenuhi kebencian saat melihat dua garis merah di test pack.
Hancur, Alina pun pergi membawa benih yang dibenci suaminya. Tanpa jejak, tanpa pamit. Ia melahirkan seorang anak lelaki di kota asing, membesarkannya dengan air mata dan harapan agar suatu hari anak itu tahu jika ia lahir dari cinta, bukan dari kebencian.
Namun takdir tak pernah benar-benar membiarkan masa lalu terkubur. Lima tahun kemudian, mereka kembali dipertemukan.
Saat mata Rama bertemu dengan mata kecil yang begitu mirip dengan nya, akhirnya Rama meyakini jika anak itu adalah anaknya. Rahasia masa lalu pun mulai terungkap...
Tapi, akankah Alina mampu memaafkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter - 34.
Gendis menelan ludah perlahan, ia terdiam, tak sanggup berkata-kata. Hatinya bergemuruh saat bayangan kelam tentang Galang dan pengkhianatan itu kembali menghantui pikirannya.
“Mas... sedang melamarku?” Suaranya nyaris bergetar.
Rama mengangguk mantap, sorot matanya teguh. “Ya. Gendis... maukah kamu menikah denganku?”
Sejenak keheningan menyelimuti mereka.
“Aku takut dikhianati lagi,” bisik Gendis lirih. Matanya berkabut, seolah sedang menantang ketakutan terbesarnya sendiri.
Namun Rama tersenyum. “Dulu, dalam pernikahanku... hanya ada kesalahpahaman. Aku memang bodoh, tapi aku tidak pernah mengkhianati mantan istriku. Salahku karena terlalu nyaman dekat dengan sahabat perempuan, tapi semua itu jadi pelajaran yang takkan pernah kulupakan. Jika Tuhan izinkan aku membangun rumah tangga bersamamu, aku janji akan selalu terbuka dan jujur. Dan yang terpenting... tak akan ada teman wanita.”
Gendis masih tampak ragu, ada dinding yang belum sepenuhnya runtuh.
Rama mengerti kegalauan Gendis, ia tetap tenang.
“Sekarang, aku dan mantan istriku sudah berdamai. Kalau kamu masih ragu, bicara saja langsung padanya. Tanyakan semua tentang aku, tentang baik dan buruk-ku. Aku nggak akan menutup-nutupi apa pun... tapi satu hal yang bisa aku jamin, aku ini tipe setia walau pernah dibodohi juga.”
Mendengar itu, Gendis akhirnya mengangguk pelan. Rama pun segera menekan layar ponselnya dan melakukan panggilan video pada Alina. Tak lama, wajah cantik wanita itu muncul di layar. Dua perempuan itu berbicara, dari hati ke hati. Tak ada yang ditutupi, hanya kejujuran yang dibagikan dalam sunyi.
Setelah sambungan berakhir, Rama menatap Gendis penuh harap.
Wanita itu menarik nafas panjang, bibirnya bergetar pelan sebelum akhirnya kata itu meluncur dengan penuh keberanian.
“Bismillahirrahmanirrahim... aku menerima lamaran Mas Rama.”
“Alhamdulillah...” bisik Rama dengan mata yang berkaca-kaca, ia segera meraih tangan Gendis dan menggenggamnya erat.
Dari balik pintu, Bu Laksmi dan suaminya yang ternyata menguping sejak awal, langsung berseru penuh syukur. Doa dan harapan mengalir dari mereka berdua, menyelimuti ruangan kecil itu dengan kebahagiaan yang hangat.
“InsyaAllah, Mas nggak akan mengecewakan kamu... Ndis,” ucap Rama penuh kesungguhan.
Dua hari kemudian...
Kabar bahagia itu sudah menjalar seperti udara segar ke seluruh penjuru keluarga Mahesa. Dengan penuh semangat mereka pun berangkat ke tempat tinggal Gendis, menjadi perwakilan Rama dalam prosesi lamaran resmi. Tak ada acara mewah, tak ada gemerlap dekorasi hotel berbintang. Semua berlangsung sederhana, hangat, dan penuh makna seperti yang diinginkan Gendis. Di rumah kecil itu, hanya keluarga inti yang hadir namun berharap doa yang dipanjatkan mencapai langit.
Rama bahkan memilih untuk tak memberitahu orang tuanya, Dita dan Prabu perihal rencana pernikahan keduanya.
Ia tak ingin ada luka baru yang mengancam pondasi rumah tangga yang akan ia bangun. Cukuplah, yang lalu menjadi pelajaran. Kali ini, ia ingin mencipta kebahagiaan... dari awal, dengan tangan yang lebih kuat dan hati yang lebih bijak.
.
.
.
Sementara itu, di rumah keluarga Galang.
Pria itu berdiri di depan cermin, merapikan kerah batik terbaiknya. Tatapannya kosong, namun dadanya bergemuruh. Hari ini, ia akan menghadiri lamaran wanita yang masih diam-diam ia doakan dalam setiap sujudnya. Bukan untuk merebutnya kembali, melainkan untuk memberi restu... meski hatinya perih.
Dengan langkah berat, Galang meraih jam tangan dan memakainya perlahan. Di belakangnya, Ratna sibuk memulas bedak di wajah, berusaha tampil sempurna dalam acara yang seharusnya bukan miliknya.
“Lang...“ suara Ratna memecah sunyi. “Beneran calon suaminya Gendis itu orang kaya dari Jakarta?”
Galang tak langsung menjawab. Ia hanya menghela nafas, kemudian berbalik dengan wajah datar.
“Iya, katanya begitu. Rama... seorang pengusaha. tapi aku nggak terlalu tahu rinciannya, itu urusan Gendis.”
Ratna mendengus, bibirnya mengerucut tak suka. “Kamu masih cinta sama Gendis, kan?”
Galang menghentikan langkahnya, suara pria itu terdengar tegas dan dingin saat menjawab. “Kalau kamu cuma ingin memancing pertengkaran, lebih baik diam!"
Pernikahan mereka memang sah di mata hukum, tapi tidak di hati Galang. Ia menikahi Ratna bukan karena cinta, melainkan karena paksaan keadaan dan karena anak yang kini digendong wanita itu. Juga, agar mulut Ratna tak terus menyebar aib yang dibuatnya sendiri.
Dari ruang tengah, terdengar suara Bu Ningrum. “Lang.... Ibu sama Bapak udah siap nih, buruan! Ibu pengen liat, beneran kaya gak tuh calon suami si Gendis, atau cuma omong kosong doang! Masa iya ada laki-laki kaya mau sama janda kayak dia. Wajah wanita itu kan... nggak cantik-cantik amat!”
Galang mengepalkan tangan, menahan gejolak di dadanya. Berkali-kali ia sudah menegaskan bahwa Gendis bukan perempuan buruk seperti yang dikira, bahwa Ratna lah yang menjadi penyebab rusaknya rumah tangganya dulu. Tapi Bu Ningrum, dengan gengsinya yang tinggi tetap memelihara kebencian yang seharusnya sudah lama padam.
“Sudah, Bu! Nggak usah ngomong sembarangan terus! Lagian aku nggak ngajak Ibu, jadi nggak usah ikut.”
“Alaaah, Ibu cuma mau liat muka calonnya doang. Paling juga nggak seganteng kamu, Lang.”
Galang sudah tak mau mendengarkan. Ia keluar rumah, menaiki motornya dengan cepat. Ratna pun tanpa bicara lagi naik ke jok belakang sambil menggendong bayi mereka. Sementara itu, Bu Ningrum dan suaminya mengikuti dari belakang dengan motor butut mereka.
Sesampainya di rumah Gendis, suasana tampak ramai. Keluarga dari pihak pria sudah hadir. Rumah itu tampak berbeda, lebih hidup dan lebih hangat. Namun justru itulah yang membuat Bu Ningrum dan Ratna terdiam sesaat di depan pintu.
Mata Ratna membulat saat melihat tamu-tamu yang hadir.
“Loh… Buk, itu… itu kayaknya Viola, deh. Sama keluarganya juga.”
Galang mengernyit.
“Mbak Viola?” gumamnya, ia tak menyangka akan melihat wajah yang begitu familiar.
“Iya, Lang. Mereka siapanya calon suaminya Gendis, ya?” tanya Ratna dengan nada penasaran bercampur cemas.
Galang menatap ke dalam, menyipitkan mata. Ia tak punya jawaban pasti. Yang ia tahu, Gendis hanya bilang bahwa Rama adalah seorang pengusaha dari Jakarta. Tak pernah disebutkan bahwa pria itu berasal dari keluarga terpandang... atau dari lingkaran Viola di Jogja.
Viola yang sedang berbicara dengan ayahnya di dalam rumah, mendadak menghentikan ucapannya. Matanya menangkap sosok-sosok tak asing yang berdiri di ambang pintu.
Wajahnya langsung berubah tajam. “Ish! Ngapain nenek lampir sama titisannya dateng ke sini?!”
Seketika ruangan sunyi, semua mata beralih ke arah pintu.
Rama berdiri, berbalik menatap sang kakak.
“Mbak... kenal mereka? Mereka adalah keluarga mantan suaminya Gendis, nama mantannya Galang. Dan wanita yang gendong anak kecil itu... dialah pelakor yang merebut Galang dari Gendis.“
Seketika udara terasa berat.
“APA?!” Viola memekik, suaranya mengguncang ruangan seperti petir yang menyambar di siang bolong. “Dia ngelakor lagi?! Jadi, si Raden bangsaaat itu dikemanain?! Sekarang wanita lampir itu pindah ranjang, gitu? Dari abang... turun ke adeknya?!“
Teriakan Viola mengguncang ruangan, nafas semua orang tercekat.
Wajah Ratna sudah memerah padam, sementara tangannya menggenggam erat ujung kain gendongannya. Sementara Bu Ningrum, merasa kakinya lemas tak bisa berpijak. Ia mundur setapak, berlindung di balik tubuh suaminya karena rasa malu.
Eh, tapi gatau deng ehehe
Mau serumit apapun kalau berjodoh ya akan bersanding