"Nak!" panggil Pak Basuki. "Masih belum rela, ya. Calon suami kamu diambil kakak kamu sendiri?"
Sebuah senyum tersungging di bibir Sashi, saat ini mereka sudah ada di sebuah restoran untuk menunggu seseorang.
"Ya sudah, mending sama anak saya daripada sama cucu saya," kata sang kakek.
"Hah?" kaget Sashi. "Cucu? Maksudnya, Azka cucu eyang, jadi, anaknya eyang pamannya Mas Azka?"
"Hei! Jangan panggil Eyang, panggil ayah saja. Kamu kan mau jadi menantu saya."
Mat!lah Sashi, rasanya dia benar-benar tercekik dalam situasi ini. Bagaimana mungkin? Jadi maksudnya? Dia harus menjadi adik ipar Jendral yang sudah membuangnya? Juga, menjadi Bibi dari mantan calon suaminya?
Untuk info dan visual, follow Instagram: @anita_hisyam TT: ame_id FB: Anita Kim
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesan Pertama Ibu Mertua
Suasana lorong yang semula dipenuhi bisik-bisik dan tawa terkekeh tiba-tiba membeku. Entah dari arah mana, Dokter Far, sosok dengan langkah tenang namun penuh wibawa, sudah berdiri di antara para bidan dan perawat yang semula bergosip. Sashi, yang melihatnya dari kejauhan, seketika melipir ke dinding paling dekat.
Dokter Far menatap satu per satu orang yang berdiri di hadapannya dengan pandangan tajam. Ia tidak meninggikan suara, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar lebih nyaring dari bel alarm kebakaran.
"Aku menikahkan anakku karena aku ingin punya menantu, bukan mencari tukang pamer," ucapnya dingin.
Tak ada yang bersuara. Beberapa bahkan menunduk dalam-dalam. Yang lain saling menyenggol pelan, wajah mereka merah padam seperti kepanasan.
"Dan aku tidak peduli profesi apa yang dijalani menantuku. Yang penting, dia perempuan baik, bersikap manis, dan mencintai putraku. Itu saja sudah cukup." Matanya menyapu ruangan, lalu berhenti sebentar seakan menekankan makna kalimatnya. "Urusan dunia? Kalau hanya itu, aku dan Dirga bisa memberikannya."
Setelah mengucap itu, Dokter Far berbalik, meninggalkan keheningan memalukan yang begitu menyesakkan. Langkahnya tenang, seperti biasa.
Sashi, yang tadi hanya diam di sudut lorong, tak bisa menahan senyum. Ada rasa hangat yang melingkupi dadanya. Di tengah semua cibiran, seseorang berdiri untuknya, dengan lantang. Itu... adalah ibu mertuanya sendiri.
Ia menunduk sebentar, lalu berlari ringan kembali menuju ruang bersalin, semangatnya kembali menyala. Dia hanya bersyukur karena di dunia ini ternyata masih ada orang-orang baik seperti mertuanya.
** **
Di dalam ruang bersalin, suasana tampak tenang. Pasien bernama itu berbaring dengan wajah berkeringat, napasnya berat. Perawat dan bidan bersiaga, tapi tidak satu pun tampak mengambil inisiatif.
Dokter Far masuk ke ruangan, mengenakan jas putihnya yang anggun. Ia menyapu seluruh ruangan dengan pandangan profesional.
"Bagaimana keadaan pasien?" tanyanya.
Tidak ada yang langsung menjawab. Salah satu perawat tampak gelagapan, sementara dua lainnya hanya saling menatap. Rupa-rupanya, mereka terlalu sibuk mengobrol saat Sashi keluar untuk mengurus sesuatu.
Dengan sigap, Sashi maju. Meskipun dia juga sangat gugup. Dokter Far ini terkenal dengan ketegasan dan kejeliannya.
"Setengah jam lalu masih bukaan tujuh, Dokter. Tanda-tanda vital stabil, dan pasien masih dalam kondisi terkontrol," lapornya, tenang meski suara jantungnya berdentum cepat.
Dokter Far mengangguk. "Baik. Pastikan dilakukan pemantauan lebih intensif. Jangan sampai kita kecolongan ...."
Namun belum selesai ia berbicara, tubuh Ibu itu tiba-tiba kejang hebat. Matanya membelalak, mulutnya terbuka menahan rasa nyeri luar biasa.
"Ya Allah!" jerit salah satu bidan.
"Kejang!" seru Sashi panik. "Pasien kejang, Dok!"
Dokter Far langsung bergerak cepat, memeriksa tekanan darah, pupil, dan tanda-tanda fisik lainnya. Dengan penuh kendali, ia bertanya kepada keluarga pasien yang berdiri di samping tempat tidur.
"Ada riwayat hipertensi sebelumnya?"
Keluarga terlihat ragu, seorang lelaki muda suami pasien mungkin, menunduk, lalu menggeleng.
"Jangan bohong!" kata dokter Far. "Kalau kalian tidak mengatakan semuanya, Kami tidak akan bisa membantu."
Pria itu tampak gelagapan dan takut. "Ada, Dok... kadang suka tinggi. Tapi kami pikir itu cuma kecapekan biasa."
"Kemungkinan eklampsia. Kita harus mempersiapkan ruang operasi sekarang."
Salah satu perawat mengangguk dan langsung berlari keluar untuk menyiapkan ruang operasi. Namun, keluarga pasien panik.
"Tidak, Dok! Kami... kami nggak punya uang. Kami nggak bisa bayar operasi...."
Mendengar itu, Sashi terpaku. Hatinya mencelos. Ia merasa bersalah, seharusnya ia lebih teliti sejak awal. Sekujur tubuhnya menegang, dia tampak begitu khawatir dan gugup.
Rindu tiba-tiba masuk ke ruangan, mungkin karena mendengar kegaduhan. Ia mendekat, mengambil posisi di sisi lain tempat tidur, bersiap membantu.
"Kalau pakai BPJS saja gimana, Dok?" tanya keluarga penuh harap.
"Tadi kalian bilang tidak punya BPJS," ujar Dokter Far. Suaranya masih tenang, tapi tekanannya jelas. "Kalau mau mengurus dari awal sekarang, itu tidak akan bisa cepat. Istri Bapak harus dioperasi segera. Kalau tidak, bukan hanya bayinya. Nyawanya juga terancam."
Lelaki itu terlihat makin bingung, wajahnya pucat pasi. Ia menarik-narik kerah bajunya sendiri sangat terlihat bahwa dia begitu cemas.
"Kalau begitu... kami cari pinjaman dulu, Dok... kami akan cari bantuan."
Dokter Far mengangguk. "Lakukan! Dan kami akan menangani istri Bapak."
Sementara keluarga pasien bergegas keluar, Sashi masih berdiri di tempat, menunduk, matanya sembab menahan air mata.
"Bukan salahmu, Sha." Rindu menepuk bahu Sashi ketika dokter Far mengurus pasien.
Kepala Sashi menggeleng, entah kenapa dia benar-benar sangat ingin menangis. Ini adalah hari pertama dia bertemu dengan mertuanya di ruang bersalin, tapi dia sudah meninggalkan kesan yang buruk. Entah di mana dia harus menaruh mukanya nanti, yang jelas dia benar-benar sangat kecewa pada dirinya sendiri.
** **
Sashi tetap bekerja seperti biasa. Tangannya lincah memeriksa tensi pasien lain, mencatat hasil pengukuran, dan menanggapi panggilan dari ruang perawat. Tapi di balik wajah tenangnya, ada gurat kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan. Hatinya masih tertinggal di ruang bersalin, pada ibu muda yang tadi kejang karena eklampsia, yang semestinya bisa ia tangani lebih sigap.
Sesekali, ia melirik ke arah lorong panjang rumah sakit. Ia menunggu... dan terus menunggu. Berharap kalau Ibu dan bayi yang tadi masuk ruang operasi dua-duanya selamat.
Hingga akhirnya, langkah Dokter Far tampak di ujung lorong. Beliau berjalan berdampingan dengan keluarga pasien. Ekspresi mereka tak semuram tadi. Ada lega, tapi juga lelah. Sepertinya... operasi telah dilakukan.
Sashi menunduk dalam-dalam saat dokter yang juga mertuanya itu lewat. Ia tidak punya keberanian untuk menatap. Ada rasa bersalah yang menyengat di setiap denyut nadinya.
Begitu keluarga pasien beranjak pergi, Sashi buru-buru menghampiri Dokter Far. Tubuhnya sedikit gemetar.
"Dok... saya minta maaf," ucapnya dengan suara lirih.
Dokter Far menghentikan langkah. Ia menoleh perlahan, menatap Sashi dalam. Matanya menelisik, seakan hendak menguliti semua alasan yang bersembunyi di balik permintaan maaf itu.
"Maaf untuk apa, Sashi?" tanyanya datar.
Ditanya seperti itu tentulah Sashi semakin gugup, Padahal dia yakin mertuanya juga tahu kesalahan dia ada di mana. "Untuk... kelalaian saya tadi."
"Menurutmu," ucapnya pelan, "kesalahanmu ada di mana?"
eng ing eng.... kagak sabar terbongkar nya semua orang rumah
bisa jadi penugasan dirga ada campur tgn ayah Azka.
bagaimana pun Bunda Far ..
istri kedua pak basuki...
jadi pasti mereka tidak suka pada Dirga..
❤❤❤❤
dan dikirim ke sashi oleh ika..
biar gak ketahuan dari Azka..
kan bisa pakai nomor lain..
bisa jadi emang kerja sama ika ama Azka..
❤❤❤❤❤
❤❤❤❤❤