Tak kunjung mendapat cinta dari suaminya, Delvin Rodriguez, Jingga memutuskan bercerai. Dia memilih membesarkan anak kembarnya seorang diri tanpa memberitahu kehadiran mereka pada sang mantan suami. Memilih menjauh dan memutus hubungan selamanya dengan keluarga Rodriguez.
Namun, alih-alih menjauh. 5 tahun kemudian dia kembali dan justru terlibat dengan paman mantan suaminya. Angkasa Rodriguez, pria yang terasingkan dan hampir tak di anggap oleh keluarganya sendiri.
Jingga seorang Single Mom, dan Angkasa yang seorang Single Dad membuat keduanya saling melengkapi. Apalagi, anak-anak mereka yang membutuhkan pelengkap cinta yang hilang.
"Aku Duda dan kamu Janda, bagaimana kalau kita bersatu?"
"Maksudmu, menikah?"
Bagaimana Jingga akan menanggapinya? Sementara Angkasa adalah paman mantan suaminya. Apa pantas keduanya bersama? Apalagi, seiring berjalannya waktu keduanya semakin mesra. Namun, kebencian Ferdi selaku ayah Jingga pada keluarga Rodriguez menghambat perjalanan cinta mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencuri kesempatan ala Angkasa
Jingga buru-buru membuka box itu setelah tahu jika barang itu dari Angkasa. Setelah di buka, dia melihat ada lipstik dan juga beberapa fotonya bersama Angkasa yang sudah di cetak. Juga, ada selembar surat. Tanpa pikir panjang, Jingga langsung membuka surat itu dan membacanya.
"Halo cantik, apa kabar? Pasti kamu sedang menangis karena merindukanku bukan?"
Jingga menangis, tapi dia sambil tertawa. Artan tak melihatnya, anak itu justru fokus pada permen yang ada di dalam box itu dan mengumpulkannya.
"Hariku tanpamu itu bagaikan kopi tanpa gula, hambar, hahaha! Bagaimana? Om Ferdi masih memarahimu yah? Aku tak bisa menulis banyak, dan ini nomorku. Catatlah, aku tahu Om Ferdi sudah menghapus nomorku dan membl0cknya."
Jingga buru-buru mencari nomor ponsel Angkasa yang baru dan menyimpannya. Nanti malam, saat semua sudah tidur dia akan menghubungi pria itu.
"Bunda cama ayah Nala pacalan yah?" Tanya Artan penasaran.
Jingga menunduk, tangannya mengelus pipi gembul putranya itu. "Artan mau gak kalau ayah Nara jadi ayahnya Artan juga?"
Artan mengangguk, "Mau, cama-cama ayah, bukan walia yang celing di lampu melah." Ucap Artan yang membuat Jingga menghela nafas pelan. Syukurlah, antara orang yang menantang hubungannya dengan Angkasa, masih ada Artan yang mendukungnya.
"Kalau Bunda cama Ayah Altan cama abang, nanti Bunda belcedih, Altan nda cuka. Tapi kalau cama Ayah Nala, Bunda nda belcedih, Altan cuka. Jadi, Bunda cama ayah Nala aja, Altan nda papa."
Jingga spechless mendengarnya, dia kaget saat tahu ternyata Artan mengerti perbedaan antara ayah sambung dan ayah kandungnya. Jingga pikir, Artan hanya sebatas mengerti Angkasa yang akan mengisi ruang kedudukan ayahnya yang tak ada di kehidupannya. Nyatanya, anak itu paham jika Angkasa hanya pengganti bukanlah ayah kandungnya.
Artan tiba-tiba menangkup wajahnya dengan kedua tangan gembulnya. Memang tangannya kecil, tapi Jingga merasa hangat di kedua pipinya. Matanya menatap dalam tatapan sendu putranya.
"Kalau abang mau cama ayah Jono yang nda pulang-pulang itu, nda papa. Altan tetep cama Bunda. Bunda jangan belcedih lia, kita cali banyak cugal ayah."
"Artan,"
Jingga bingung ingin tertawa atau menangis, ia memeluk sayang putranya itu yang selalu mengerti tentang perasaannya. Jingga tidak tahu, apa setelah mengerti nanti Artan memiliki pandangan lain atau tidak.
"Artan terus sama Bunda yah, jangan tinggalin Bunda."
Artan menepuk lembut punggung sang bunda, "Nda kok, Altan nda tinggal bunda. Kalau Bunda udah nda ada uang beli cucu Altan, kita cali banyak cugal ayah. Kata Oma, kalau mau banyak uang, cugal ayah colucinya."
"Hahahah, jangan sering sama Oma yah. Bahaya,"
"Heum, nda janji tapi."
.
.
.
Hari ini Jingga akan kembali ke perusahaan Mahendra, dia sudah siap dengan pakaian kantornya. Sudah lama, dia tak lagi menginjakkan kakinya di perusahaan milik sang papa. Tapi hari ini, mau tidak mau Jingga harus menginjakkan kakinya.
"Sebelum ke kantor, kamu datanglah dulu dalam acara rapat tender yang akan di adakan di gedung hotel Kayra. Setelahnya, baru kamu kembali ke kantor."
"Harus aku?" Tunjuk Jingga pada dirinya sendiri.
"Siapa lagi? Papa gitu? Kamu yang harus belajar." Ucap Ferdi tanpa menatap putrinya.
"Lah, terus Papa di rumah ngapain?!" Seru Jingga tak terima.
Ferdi mengangkat pandangannya, dia melirik kedia cucunya yang duduk di sebalahnya asik memakan buah semangka hingga wajah mereka basah karena buah itu. Merasa di tatap, keduanya menatap polos pada Jingga dan Ferdi secara bergantian.
"Waktu tua itu di gunakan untuk menemani cucu. Mumpung si kembar tidak sekolah, jadi yah ... Papa akan menemani mereka." Jawab Ferdi.
Jingga kesal, dia menghentakkan kakinya sebelum pergi. Ferdi hanya menggeleng singkat sebelum menonton kembali acara berita di ponselnya.
Sesampainya Jingga di parkiran gedung, dia turun dari mobil. Namun, asisten Ferdi terus mengikutinya seolah pria itu menjadi mata-kata sang ayah. Jingga jengah, dia merasa sebagai tahanan sejak beberapa waktu ini.
"Bisakah kamu pergi dulu, Reno? Aku ingin rapat, dan hanya atasan saja yang masuk." Ucap Jingga pada asisten papanya itu.
"Saya akan menunggu di luar Nona. Tuan Ferdi meminta saya untuk menjaga anda." Balas pria itu.
Jingga memutar bola matanya malas, dia tetap masuk ke dalam ruang rapat dan membiarkan pria bernama Reno itu menjaganya. Sesampainya di dalam, Jingga menyapa semuanya. Namun, matanya justru menangkap seorang pria yang beberapa waktu ini tidak bisa dia temui.
"Angkasa, dia ... disini?" Batinnya. Jingga melirik para petinggi perusahaan lain yang sedang menatapnya karena Angkasa yang belum dia jabat tangannya. Perlahan, Jingga mendekati pria itu dan mengulurkan tangannya.
"Senang bertemu dengan anda, Tuan Angkasa."
Angkasa tersenyum, menyambut uluran tangan Jingga dan menggenggamnya lembut. "Saya lebih senang bertemu dengan anda, Nona Jingga."
Angkasa mengelus tangan Jingga, dia sangat merindukan wanita itu. Takut yang lain menyadari keanehan keduanya, Jingga kembali menarik tangannya. Dia lalu duduk tepat di sebelah Angkasa dan meletakkan tasnya.
Baru saja duduk, tiba-tiba Angkasa menarik kursinya mendekat pada pria itu. Jingga panik, dia takut yang lain menyadarinya. Apalagi, hubungan keluarga keduanya sudah di kenal sangat bu.ruk.
"Nanti ada mata-mata Papa gimana." bisik Jingga.
"Memangnya kenapa? Apa kamu tidak rindu padaku? Kenapa semalam tidak meneleponku? Kamu sudah dapat nomorku kan?" Balas Angkasa berbisik pelan.
Acara rapat di mulai, semua utusan perusahaan mengajukan pendapat dan misinya. Berbeda dengan Angkasa dan Jingga yang justru saling menggenggam tangan di bawah meja tanpa terlihat. Membuat keduanya tidak fokus dengan apa yang jadi tujuan mereka.
Sampai, tiba giliran Angkasa. Terpaksa, pria itu harus melepaskan genggaman tangannya pada Jingga. Pria itu menjelaskan persentasinya dengan lugas dan berwibawa, Jingga merasa seolah dia menemukan sifat baru dari pria itu. Tak pernah ia duga, jika Angkasa dapat menguasai materi sebaik itu. Bahkan, dia saja sampai tak bisa berkata-kata.
Selesai dari acara rapat, para tamu pun satu persatu keluar dari ruang rapat. Begitu juga dengan Jingga dan Angkasa. Namun, tiba-tiba Angkasa menariknya ke sebuah lorong kecil. Membuat asisten Ferdi mencari nona nya yang hilang.
"Angkasa! Kalau Si Reno tahu, habis kamu sama Papa!" Bisik Jingga dengan penuh penenakan.
Angkasa tersenyum, dia memeluk pinggang Jingga untuk mendekat padanya. Wajah keduanya sangat dekat, membuat keduanya saling merasakan terpaan nafas mereka.
"Tunggu aku empat bulan lagi dan aku akan datang untuk melamarmu. Aku selesaikan semua urusanku agar nantinya papamu dapat menerimaku sebagai menantunya." Ucap Angkasa lembut.
Jingga menatap lekat kedua mata pria di hadapannya itu, "Kamu harus janji padaku,"
"Aku berjanji, sayang." Bisik Angkasa.
Jingga langsung melepaskan dirinya, dia keluar dan menemui Reno yang hampir memergoki mereka.
"Tuan menunggu di rumah,"
"Baiklah." Sahut Jingga atas perkataan Reno.
Sebelum pergi, Jingga melirik terlebih dahulu pada Angkasa yang masih bersembunyi. Keduanya melempar senyum, terlebih Angkasa mengedipkan satu matanya yang mana membuat Jingga tersipu malu. Pria itu lalu mengisyaratkan seperti orang berteleponan dan Jingga mengedipkan matanya sebagai jawaban.
"Tunggu aku sayang. Aku akan selesaikan semuanya agar kita cepat bersama." Lirih Angkasa menatap kepergian Jingga bersama asistennya.
__________
Nikah dulu baru peluk peluk dong om🤣
jangan di contoh yang kawan, nikah dulu baru peluk peluk 😆
Oh ya kalau ada typo atau salah sebut jangan sungkan komentarin, tandain pake komentar oke. Itu udah nolong aku banget yang koreksi selalu buru buru😆
Ga ada yg salah jika Jingga memberi penjelasan seperti ini, karena suatu saat jika Arga besar nanti pasti mengerti apa alasan terbesar orangtuanya tak bs bersatu lagi.