Anjani, gadis manis dari kampung, menikah dengan Adrian karena cinta. Mereka tampak serasi, tetapi setelah menikah, Anjani sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Adrian terlalu penurut pada ibunya, Bu Rina, dan adiknya, Dita. Anjani diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan, tanpa bantuan, tanpa penghargaan.
Hari-harinya penuh tekanan. Namun Anjani bertahan karena cintanya pada Adrian—sampai sebuah kecelakaan merenggut janin yang dikandungnya. Dalam keadaan hancur, Anjani memilih pergi. Ia kabur, meninggalkan rumah yang tak lagi bisa disebut "rumah".
Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Identitas asli Anjani mulai terungkap. Ternyata, ia bukan gadis kampung biasa. Ada darah bangsawan dan warisan besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Kini, Anjani kembali—bukan sebagai istri yang tertindas, tapi sebagai wanita kuat yang akan menampar balik mertua dan iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 34
Anjani menatap keluar jendela ruang kerjanya di Megantara Grup. Sudah lama ia meninggalkan kehidupan lamanya sebagai menantu yang dihina di rumah Adrian. Sekarang, ia adalah wanita mandiri yang bekerja di bawah kepemimpinan William.
Namun, hari ini pikirannya kembali terusik. Sejak ia ditemukan oleh keluarga kandungnya—Marco, Elisabet, dan Kevin—hidupnya memang berubah drastis. Ia bukan lagi gadis yatim piatu yang dianggap miskin dan rendah oleh Bu Rina dan Dita. Ia adalah putri seorang pengusaha Italia ternama.
Tapi kenapa, meskipun sudah jauh dari mereka, rasa sakit itu masih ada?
Pikirannya buyar ketika ponselnya bergetar. Nama William muncul di layar.
"Kamu sibuk?" suara pria itu terdengar lembut.
Anjani tersenyum tipis. "Tidak terlalu. Ada apa?"
"Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu di lobi."
Anjani mengernyit. "Siapa?"
William ragu sejenak sebelum menjawab, "Adrian."
Dada Anjani menegang. Ia tidak pernah mengira mantan suaminya akan muncul di tempat ini.
"Baik. Aku akan turun."
Dengan langkah tegap, Anjani berjalan ke lobi. Ketika pintu lift terbuka, matanya langsung menangkap sosok pria yang dulu pernah mengisi hidupnya. Adrian masih sama—rapi dengan jas kantornya, tetapi ada sesuatu di wajahnya yang tampak berbeda.
"Anjani," suaranya terdengar penuh penyesalan.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Anjani tanpa basa-basi.
"Aku ingin bicara. Aku ingin minta maaf."
Anjani menahan tawa sinis. "Minta maaf? Setelah aku menemukan keluarga kandungku? Setelah aku tidak lagi menjadi menantu miskin yang kalian hina?"
Adrian menunduk. "Aku tahu aku salah. Aku membiarkan Mama dan Dita memperlakukanmu dengan buruk. Aku menyesal, Anjani."
Anjani menatapnya dingin. "Penyesalanmu tidak mengubah apa pun, Adrian. Aku sudah selesai dengan masa lalu. Aku bukan lagi istrimu, bukan lagi wanita yang bisa kalian hina sesuka hati."
Adrian terlihat ingin mengatakan sesuatu lagi, tetapi sebelum ia sempat berbicara, suara lain menyela.
"Anjani, semuanya baik-baik saja?"
William berdiri di sampingnya, tatapannya tegas ke arah Adrian.
Anjani tersenyum tipis. "Ya, aku hanya selesai berbicara dengan seseorang dari masa laluku."
Ia menoleh ke Adrian untuk terakhir kali. "Kuharap kamu juga bisa melanjutkan hidup, Adrian. Seperti yang sudah aku lakukan."
Dengan langkah percaya diri, Anjani meninggalkan Adrian dan berjalan berdampingan dengan William. Masa lalunya telah berakhir. Kini, ia memilih kebahagiaannya sendiri.
Adrian berdiri mematung di lobi Megantara Grup, menyaksikan Anjani berjalan menjauh bersama William. Ada sesuatu di dadanya yang terasa kosong, tetapi ia tidak bisa menyalahkan siapapun selain dirinya sendiri.
Ia menghela nafas panjang. Dulu, ia mengabaikan Anjani, membiarkannya dihina oleh Bu Rina dan Dita. Ia memilih diam saat istrinya diperlakukan dengan buruk. Sekarang, semuanya sudah terlambat. Anjani bukan lagi wanita yang dulu bergantung padanya—ia telah menemukan tambatan hati yang lain.
Tapi setidaknya, ia sudah meminta maaf.
Adrian merasakan sedikit kelegaan di hatinya. Ia tahu Anjani mungkin tidak akan pernah memaafkan atau kembali padanya, tetapi setidaknya ia telah mengakui kesalahannya. Itu yang terpenting.
Dengan nafas berat, ia melangkah keluar dari gedung.
Hari ini, ia menutup satu lembaran cerita dalam hidupnya. Kini, ia harus belajar menerima Anggun—wanita yang mungkin bisa menjadi bagian dari masa depannya.
Meski terlambat untuk menebus kesalahannya pada Anjani, setidaknya ia tidak akan mengganggu kebahagian Anjani lagi.
*********
Mereka tiba di sebuah restoran elegan dengan suasana tenang. William menarikkan kursi untuk Anjani sebelum duduk di hadapannya.
"Apa kau masih memikirkan Adrian?" tanyanya langsung.
Anjani menghela napas. "Bukan dia yang kupikirkan, lebih ke arah… perasaan yang dulu. Dulu, aku selalu berharap ada yang membelaku, tapi aku malah berjuang sendirian."
William menatapnya dengan penuh pengertian. "Sekarang kamu tidak sendirian, Anjani. Kamu punya keluarga, adik yang menyayangimu, dan…" ia berhenti sejenak, menatap mata Anjani lebih dalam, "aku."
Anjani sedikit terkejut, tapi ia tidak mengelak. Ia tahu William selalu ada untuknya.
"Terima kasih, William."
William tersenyum. "Jadi, kita lupakan masa lalu dan nikmati makan siang ini, bagaimana?"
Anjani tersenyum kecil dan mengangguk. "Setuju."
Anjani masih menikmati makan siangnya bersama William ketika pria itu tiba-tiba mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya. Ia membuka kotak itu perlahan, memperlihatkan sebuah cincin yang elegan dan berkilau.
Anjani terkejut, menutup mulutnya refleks. "William…"
William menatapnya dengan penuh keyakinan. "Anjani, sejak pertama kali aku bertemu denganmu, aku tahu kau bukan wanita biasa. Kau kuat, kau mandiri, dan kau berani menghadapi masa lalumu tanpa lari. Aku tidak ingin hanya menjadi seseorang yang mendukungmu dari jauh. Aku ingin selalu ada di sisimu, dalam setiap langkah hidupmu."
Anjani menatap William, hatinya dipenuhi perasaan campur aduk. Ini begitu cepat, tapi disisi lain, ia tahu William adalah pria yang tulus. Selama ini, William ada di sisinya—tanpa menuntut, tanpa memaksanya melupakan masa lalu, hanya memberinya ruang untuk menjadi dirinya sendiri.
William tersenyum kecil. "Aku tidak akan memaksamu menjawab sekarang. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku serius. Aku ingin menjadikanmu bagian dari hidupku, Anjani."
Anjani menghela nafas dalam. Berbagai pertimbangan berputar di kepalanya. Masa lalunya, keluarganya, kehidupannya yang baru… Tapi di depan matanya ada pria yang mencintainya dengan tulus.
Ia mengangguk perlahan, matanya berbinar. "Ya, William. Aku menerimanya."
Wajah William seketika bersinar dengan kebahagiaan. Dengan hati-hati, ia mengambil cincin itu dan menyematkannya di jari manis Anjani. "Terima kasih sudah mempercayaiku, Anjani."
Anjani tersenyum, merasakan kehangatan mengalir di hatinya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa tenang. Masa lalunya sudah tertutup, dan kini, ia siap untuk menatap masa depan bersama seseorang yang benar-benar mencintainya.
Setelah lamaran dadakan itu, hidup Anjani seakan kembali berwarna. Ada rasa bahagia yang sulit diungkapkan. William, pria yang selama ini selalu ada disisinya, kini benar-benar menjadi bagian dari masa depannya.
Setelah menyelesaikan makan siang, William mengantar Anjani pulang ke mansion. Saat mereka tiba, suasana rumah begitu sepi. Kevin belum pulang, dan tidak ada siapapun di ruang tamu selain mereka berdua.
William masuk ke dalam, mengantar Anjani hingga ke sofa. Saat Anjani hendak duduk, tiba-tiba William menariknya dengan lembut hingga tubuh mereka menempel.
Anjani terkejut, jantungnya berdebar kencang. Ia menatap William, dan dalam sekejap, pandangan pria itu turun ke bibirnya.
Tanpa kata-kata, William menutup jarak di antara mereka. Bibirnya menyentuh bibir Anjani dengan lembut, memberikan ciuman yang penuh kehangatan. Anjani membeku sejenak, namun perlahan ia mulai menikmati momen itu. Lumatan lembut berubah menjadi lebih dalam, seolah-olah mereka menuangkan semua perasaan yang selama ini terpendam.
Tangan William melingkar di pinggang Anjani, menariknya lebih dekat. Anjani bisa merasakan detak jantung pria itu yang berpacu cepat, seirama dengan jantungnya sendiri. Ciuman mereka semakin dalam, penuh gairah dan ketulusan yang selama ini tersimpan.
Ketika akhirnya mereka melepaskan diri, Anjani menatap William dengan napas sedikit tersengal. Wajahnya memerah, dan matanya berkilat dengan emosi yang sulit dijelaskan.
William tersenyum kecil, mengusap pipi Anjani dengan lembut. "Aku mencintaimu, Anjani. Aku tidak akan pernah membiarkanmu merasa sendiri lagi."
Anjani menggigit bibirnya, lalu tersenyum. "Aku tahu, William. Dan aku juga mencintaimu."
Di saat itu, mereka tahu bahwa tidak ada lagi yang perlu diragukan. Masa lalu telah berlalu, dan kini mereka siap untuk menatap masa depan bersama.
******
Adrian menatap rumah besar di hadapannya dengan sedikit gugup. Hari ini, Anggun membawanya untuk bertemu dengan kedua orang tuanya. Ini adalah langkah besar dalam hubungan mereka, dan meskipun ia telah berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia siap, ada perasaan tak nyaman yang masih mengganjal di hatinya.
Anggun meremas tangannya dengan lembut, seolah memahami kegelisahannya. “Jangan tegang, Adrian. Mereka hanya ingin mengenalmu lebih jauh,” katanya dengan senyum menenangkan.
Adrian mengangguk, mencoba menenangkan diri.
Saat mereka masuk ke ruang tamu, kedua orang tua Anggun, Pak Surya dan Bu Renata, sudah menunggu di sana. Pak Surya memiliki aura yang tenang tetapi penuh wibawa, sementara Bu Renata menatap Adrian dengan sorot mata tajam yang sulit ditebak.
"Silakan duduk, Adrian," ujar Pak Surya, suaranya terdengar dalam dan penuh penilaian.
Adrian duduk dengan sopan, berusaha menjaga sikap. Namun, tatapan Bu Renata membuatnya merasa seperti sedang diinterogasi.
"Kami sudah banyak mendengar tentangmu dari Anggun," kata Bu Renata, suaranya terdengar ramah tetapi ada ketegasan di dalamnya. "Tapi tentu saja, kami ingin mendengar langsung darimu."
Adrian menarik napas sebelum menjawab. "Saya sangat menghormati Anggun, Bu. Dan saya serius dengan hubungan ini."
Pak Surya menatapnya tajam. "Adrian, kau baru saja bercerai. Apa kau benar-benar sudah siap untuk memulai hubungan baru? Atau ini hanya pelarian?"
Adrian terdiam sejenak. Pertanyaan itu menusuk tepat ke dalam pikirannya.
"Saya tidak ingin putri saya menjadi tempat seseorang mencari pelipur lara," lanjut Pak Surya dengan nada tegas. "Anggun adalah satu-satunya anak perempuan kami. Jika kau masih belum bisa melupakan masa lalumu, lebih baik mundur sekarang sebelum menyakitinya."
Adrian merasakan jantungnya berdebar. Ia tahu, Pak Surya dan Bu Renata tidak hanya menguji keseriusannya, tetapi juga mempertanyakan apakah ia benar-benar sudah move on dari Anjani.
Ia menatap Anggun, yang tampak cemas menunggu jawabannya.
"Saya mengerti kekhawatiran Bapak dan Ibu," ujar Adrian akhirnya. "Saya memang punya masa lalu, tapi saya tidak ingin hidup di dalamnya selamanya. Saya ingin menatap masa depan, dan saya ingin masa depan itu bersama Anggun."
Bu Renata masih menatapnya dalam diam, lalu melirik suaminya. Pak Surya tidak langsung merespons, tetapi jelas bahwa ia masih menilai Adrian.
Namun, di dalam hati Adrian sendiri, ada pertanyaan yang belum bisa ia jawab sepenuhnya. Apakah ia benar-benar mencintai Anggun? Ataukah ia hanya mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sudah melupakan Anjani?
Apakah pak Surya dan Renata mau menerima keadaan Adrian …????
jng krn cinta trus ngorbanin keadilan yg jelas buat kakakmu.
wanita macam Alana mudah di cari bnyak pun, tp keadilan tidak bisa di cari kl kita tdk menegakkan. ingat jng lemah.
pa lagi Williams bnyak pikiran pasti mudah jenifer njebak.
smp hapal bner krn tiap penulis selalu bikin konflik bgini, jarang ada lelaki yg gk bisa di jebak pasti kebanyakan masuk jebakan 😂😂😂😂😂
hrs berani lawan lahhh