Kejamnya Mertuaku
“Anjani, mana sarapan? Lama sekali!” bentak Bu Rina.
“Maaf, Bu. Ini sudah siap,” jawab Anjani, buru-buru menyajikan makanan.
Bu Rina mendengus. “Jangan lambat! Di rumah ini semua orang bekerja, bukan cuma makan saja!”
Dita menyeringai. “Iya, Kak. Jangan enak-enakan jadi istri Mas Adrian.”
Anjani menunduk, menahan perasaan. Ia melirik Adrian, berharap dibela, tapi suaminya tetap sibuk dengan ponselnya.
Pagi itu, setelah mencuci piring dan beres-beres rumah, Anjani duduk di dapur. Tangannya perih akibat sering kena deterjen tapi cucianya masih banyak.
Anjani, gadis desa sederhana yang tumbuh dalam keluarga penuh kasih sayang. Ayahnya hanya seorang petani, tetapi mereka hidup bahagia dengan kesederhanaan.
Parasnya begitu cantik—kulitnya putih mulus, rambutnya sedikit kemerahan, dan matanya berwarna biru jernih. Keindahan yang membuat banyak orang tak menyangka bahwa ia hanyalah gadis desa biasa.
Namun, kecantikannya justru menjadi awal dari perjalanan hidup yang penuh ujian. Ia menikah dengan pria yang dicintainya, berharap akan menemukan kebahagiaan.
Sayangnya, pernikahan itu tak seindah yang ia bayangkan.
Dita melempar baju tepat di depan wajah Anjani kaget. “Nih, Kak, cuci bajuku!” katanya dengan nada seenaknya.
Anjani menghela napas, menatap tumpukan baju yang masih harus ia selesaikan. “Dita, ini baju Ibu saja belum selesai. Kamu cuci sendiri, ya.”
Dita mendengus kesal. “Enak aja! Aku harus kerja, tahu! Mana sempat nyuci? Lagi pula, nanti tanganku bisa kapalan!”
Anjani terdiam. Hatinya semakin sesak. Di rumah ini, ia bukan hanya menantu, tapi juga dianggap seperti pembantu.
Tanpa bisa membantah, Anjani akhirnya mengerjakan cucian itu. Percuma melawan, karena tidak akan ada gunanya.
Ia hanya bisa menghela napas, menahan perasaan. Di rumah ini, suaranya tak pernah didengar.
Sore itu, Adrian pulang lebih cepat karena hari ini ia menerima gaji.
Anjani, yang ingin menyambut suaminya dengan baik, segera mandi dan berdandan sedikit. Ia memilih pakaian yang lumayan bagus agar terlihat rapi di hadapan Adrian.
Begitu Adrian tiba, Anjani segera menyuguhkan secangkir kopi hangat.
Adrian tersenyum dan menyerahkan sejumlah uang kepadanya. “Jani, ini bagian kamu.”
Hati Anjani terasa hangat. Setidaknya, hari ini suaminya masih mengingatnya. Namun, ia belum tahu bahwa kebahagiaan kecil ini tak akan bertahan lama.
“Terima kasih, Mas,” ucap Anjani dengan senyum bahagia.
Namun, sebelum ia sempat menyimpan uang itu, Bu Rina tiba-tiba datang dan langsung merampasnya dari tangan Anjani.
“Uang ini buat Ibu saja! Kamu sudah dikasih makan dan tempat tinggal di sini, jadi nggak perlu pegang uang!” katanya tajam.
Anjani hanya bisa terdiam, menahan rasa kecewa. Bahkan haknya sebagai istri pun tak dihargai di rumah ini.
"Mana bisa begitu, Bu? Jani juga punya kebutuhan," ucap Anjani, mencoba mempertahankan haknya.
Bu Rina mendelik tajam. "Kebutuhan apa? Kamu sudah dikasih makan dan tempat tinggal di sini! Jangan bilang kamu mau ngasih uang ini ke orang tuamu juga? Enak saja! Anak ibu yang kerja capek-capek, kamu dan keluargamu yang mau menikmati!"
Anjani terdiam, hatinya terasa semakin sesak. Ia hanya ingin sedikit kebebasan, tapi bahkan untuk memegang uang sendiri pun ia tak diizinkan.
Adrian segera berdiri dan merebut kembali uang dari tangan ibunya.
"Bu, jangan semuanya diambil," katanya dengan nada tegas. "Uang untuk Ibu sudah aku pisahkan."
Bu Rina mendengus kesal, wajahnya penuh ketidaksenangan. “Kenapa? Anjani itu nggak butuh uang! Dia di sini sudah dikasih makan, tinggal juga gratis! Jangan bilang kamu mau manjain dia?”
Adrian menghela napas, berusaha tetap tenang. "Bukan soal dimanjain atau enggak, Bu. Jani butuh uang buat belanja. Kalau dia nggak pegang uang, nanti kita makan apa?"
Anjani menatap Adrian dengan mata sedikit berkaca-kaca. Ini pertama kalinya suaminya membela dirinya di depan sang mertua.
Namun, Bu Rina tetap tak terima. “Belanja apa? Aku aja bisa belanja buat rumah ini! Atau jangan-jangan dia mau pakai uang ini buat ngirim ke keluarganya? Jangan mimpi, Jani! Anak laki-laki Ibu kerja banting tulang buat istri, bukan buat mertua!”
Anjani mengepalkan tangannya di balik punggung. Ia ingin membela diri, ingin menjelaskan bahwa ia tidak pernah berniat mengambil hak Bu Rina. Tapi ia tahu, percuma.
Adrian pun berusaha menenangkan ibunya. “Bu, sudahlah. Ini cuma uang belanja. Aku tetap kasih Ibu, kan?”
Bu Rina masih ingin berdebat, tapi akhirnya ia mendengus kesal dan mengambil bagian uang yang Adrian berikan padanya. “Huh! Dasar istri baru, sudah berani ambil hak mertua! Lihat aja, Anjani. Jangan macam-macam di rumah ini!”
Setelah ibunya pergi, Adrian menoleh ke arah Anjani. “Sudah, jangan dimasukkan ke hati.”
Anjani tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa sakit.
Tak lama, Dita muncul di depan pintu dengan wajah kesal. Tanpa basa-basi, ia langsung berteriak,
"Bang! Bagian Dita mana?"
Adrian menghela napas, merasa lelah dengan permintaan adiknya yang selalu sama setiap bulan. "Lo kan udah kerja, Dit. Kok masih minta Abang?"
Dita melipat tangan di dadanya, wajahnya cemberut. "Gaji Dita kecil, Bang! Mana cukup buat anak muda kayak aku? Aku harus tetap cantik, harus perawatan, harus beli baju baru! Masa aku kalah sama mbak Anjani?" katanya penuh keluhan.
Anjani hanya bisa menahan napas, menunduk tanpa ingin ikut campur.
Adrian menggeleng pelan, sebenarnya enggan menuruti keinginan adiknya. Tapi, melihat Dita terus merengek, akhirnya ia mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya dan menyerahkannya pada Dita.
"Udah, nih. Jangan boros," ucap Adrian dengan nada lelah.
Dita langsung merebut uang itu dengan wajah puas. "Makasih, Bang! Emang abangku paling baik!" katanya sambil tersenyum lebar, lalu melenggang pergi tanpa sedikit pun mempedulikan perasaan Anjani yang hanya bisa diam dan menerima keadaan.
Anjani menatap suaminya dengan kecewa. "Mas, uang segini mana cukup untuk sebulan?"
Adrian mendesah, lalu menatap Anjani dengan wajah datar. "Terserah Jani. Abang nggak mau tahu, segitu harus kamu cukupkan."
Anjani menggigit bibir, menahan rasa sedih yang mulai menggunung di dadanya. Dengan uang yang diberikan Adrian, ia harus mengatur segala kebutuhan rumah, sementara Dita dengan mudahnya meminta uang untuk keperluan pribadinya.
"Mas..." suara Anjani melemah. "Aku juga pengen beli baju baru. Selama menikah, aku belum pernah beli baju satu pun."
Adrian mengerutkan kening. "Baju kamu masih bagus, kan? Buat apa beli lagi?"
Anjani tersenyum pahit. Suaminya bisa dengan mudah mengeluarkan uang untuk adiknya, tapi saat istrinya meminta, alasan yang diberikan selalu sama: harus irit, harus cukup, harus mengalah.
Ia pun menunduk, menggenggam uang yang ada di tangannya erat-erat. Lagi-lagi, ia harus menerima kenyataan bahwa dirinya bukan prioritas bagi Adrian.
Untungnya, Anjani memang sudah cantik alami. Meskipun tidak pernah perawatan seperti Dita, wajahnya tetap glowing dengan kulit mulus dan bersih. Ia tidak butuh riasan tebal atau pakaian mahal untuk terlihat menawan.
Anjani menarik napas dalam, menatap uang di tangannya. Mungkin inilah takdirnya sebagai menantu di rumah ini.
Hari itu, Anjani bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Setelah selesai, ia bergegas mengambil uang belanja yang disimpannya di lemari kecil di kamar. Namun, saat membuka laci, hatinya langsung berdegup kencang.
Uangnya hilang.
Tangannya gemetar saat mengobrak-abrik laci, mencari di setiap sudut. Tapi hasilnya nihil. Anjani mulai panik. Itu satu-satunya uang yang diberikan Adrian untuk belanja sebulan penuh.
Dengan tergesa-gesa, ia keluar kamar dan mencari Adrian yang sedang bersiap berangkat kerja. "Mas, uang belanja Jani hilang!" suaranya bergetar.
Adrian menatapnya heran. "Hilang? Kok bisa?"
"Aku nggak tahu, Mas. Aku simpan di laci, sekarang nggak ada," jawab Anjani cemas.
Belum sempat Adrian merespons, tiba-tiba terdengar suara Dita dari ruang tamu. "Wah, ada yang mulai drama pagi-pagi!"
Anjani menoleh dan melihat Dita duduk santai di sofa, memainkan kuku yang baru saja dicatnya dengan warna merah terang.
"Kamu tahu sesuatu, Dit?" tanya Anjani curiga.
Dita mendengus, lalu berdiri. "Jangan asal tuduh ya ! kalau uang hilang, kamu yang nggak hati-hati? Jangan-jangan itu hukuman karena terlalu boros!"
"Boros?" Anjani hampir tertawa miris. "Aku bahkan belum beli apa-apa!"
Bu Rina tiba-tiba muncul dari dapur dan ikut menyahut, "Udah, Anjani! Jangan ribut pagi-pagi! Kalau uang hilang, ya salah kamu sendiri. Makanya, kalau dikasih uang, langsung serahin ke Ibu biar aman!"
Anjani tercekat. Matanya memperhatikan wajah sang mertua, lalu beralih ke Dita. Ada firasat buruk di hatinya, tapi ia tidak berani menuduh secara langsung.
"Mas..." Anjani menoleh ke Adrian, berharap suaminya bisa membela dirinya.
Namun, Adrian hanya menghela napas panjang dan berkata, "Ya udahlah, Jani. Mungkin memang keteledoran kamu sendiri.
Anjani menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Lagi-lagi, ia yang disalahkan. Lagi-lagi, Adrian lebih percaya pada ibu dan adiknya dibanding dirinya.
Anjani menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh. Namun, di dalam hatinya, ada bara yang mulai menyala. Ini bukan pertama kalinya ia diperlakukan tidak adil, dan entah sampai kapan ia harus terus bersabar.
Dengan suara gemetar, ia berkata, "Mas, uang itu untuk belanja sebulan. Aku harus masak apa kalau uangnya hilang?"
Adrian mendesah, tampak tidak sabar. "Nanti aku kasih lagi, tapi jangan banyak nuntut, Jani. Aku juga harus bagi-bagi uang buat kebutuhan lain."
Anjani mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. "Kebutuhan lain? Maksud Mas buat Dita dan Ibu?"
Dita yang sejak tadi bersandar di sofa langsung mendengus. "Ih, mbak Anjani mulai kurang ajar, nih! Masa aku dan Ibu dibilang kebutuhan lain? Kalau nggak betah di rumah ini, ya pergi aja!"
Bu Rina menatap Anjani tajam. "Iya, Jani! Kamu tuh harus bersyukur punya suami yang baik. Jangan macam-macam deh, perempuan kok banyak maunya!"
Anjani tertawa kecil, tapi bukan karena senang. Tawanya penuh kepedihan dan amarah yang selama ini ia pendam.
"Jadi menurut Ibu dan Dita, aku ini apa? Pembantu yang tugasnya cuma nurut dan nggak boleh protes? Aku ini istri Adrian, bukan budaknya!" suaranya mulai meninggi.
Adrian langsung menegang “ Jani jangan mulai ‘’
"Tidak, Mas! Aku sudah terlalu lama diam! Aku selalu berusaha jadi menantu yang baik, istri yang sabar, tapi apa? Aku nggak pernah dihargai! Apa aku ini cuma tamu di rumah sendiri?"
Dita tertawa sinis. "Memangnya iya? Rumah ini rumah Mas Adrian, mbak. Kalau mau berkuasa, ya kerja! Jangan cuma mengandalkan uang suami!"
Anjani menoleh dengan mata merah. "Dita, kamu kerja tapi masih minta uang abangmu! Bukannya membantu, malah jadi beban! Kamu pikir uang Mas Adrian itu milikmu?"
"Jani!" Adrian membentak, suaranya tajam.
Tapi Anjani sudah terlanjur muak. "Mas selalu membela mereka! Kenapa Mas nggak pernah berpihak padaku? Aku ini istrimu, tapi kenapa aku selalu jadi yang terakhir?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Petir Luhur
bagus bikin geregetan
2025-04-23
1