Kejamnya Mertuaku

Kejamnya Mertuaku

bab 1

“Anjani, mana sarapan? Lama sekali!” bentak Bu Rina.

“Maaf, Bu. Ini sudah siap,” jawab Anjani, buru-buru menyajikan makanan.

Bu Rina mendengus. “Jangan lambat! Di rumah ini semua orang bekerja, bukan cuma makan saja!”

Dita menyeringai. “Iya, Kak. Jangan enak-enakan jadi istri Mas Adrian.”

Anjani menunduk, menahan perasaan. Ia melirik Adrian, berharap dibela, tapi suaminya tetap sibuk dengan ponselnya.

Pagi itu, setelah mencuci piring dan beres-beres rumah, Anjani duduk di dapur. Tangannya perih akibat sering kena deterjen tapi cucianya masih banyak.

Anjani, gadis desa sederhana yang tumbuh dalam keluarga penuh kasih sayang. Ayahnya hanya seorang petani, tetapi mereka hidup bahagia dengan kesederhanaan.

Parasnya begitu cantik—kulitnya putih mulus, rambutnya sedikit kemerahan, dan matanya berwarna biru jernih. Keindahan yang membuat banyak orang tak menyangka bahwa ia hanyalah gadis desa biasa.

Namun, kecantikannya justru menjadi awal dari perjalanan hidup yang penuh ujian. Ia menikah dengan pria yang dicintainya, berharap akan menemukan kebahagiaan.

Sayangnya, pernikahan itu tak seindah yang ia bayangkan.

Dita melempar baju tepat di depan wajah Anjani kaget. “Nih, Kak, cuci bajuku!” katanya dengan nada seenaknya.

Anjani menghela napas, menatap tumpukan baju yang masih harus ia selesaikan. “Dita, ini baju Ibu saja belum selesai. Kamu cuci sendiri, ya.”

Dita mendengus kesal. “Enak aja! Aku harus kerja, tahu! Mana sempat nyuci? Lagi pula, nanti tanganku bisa kapalan!”

Anjani terdiam. Hatinya semakin sesak. Di rumah ini, ia bukan hanya menantu, tapi juga dianggap seperti pembantu.

Tanpa bisa membantah, Anjani akhirnya mengerjakan cucian itu. Percuma melawan, karena tidak akan ada gunanya.

Ia hanya bisa menghela napas, menahan perasaan. Di rumah ini, suaranya tak pernah didengar.

Sore itu, Adrian pulang lebih cepat karena hari ini ia menerima gaji.

Anjani, yang ingin menyambut suaminya dengan baik, segera mandi dan berdandan sedikit. Ia memilih pakaian yang lumayan bagus agar terlihat rapi di hadapan Adrian.

Begitu Adrian tiba, Anjani segera menyuguhkan secangkir kopi hangat.

Adrian tersenyum dan menyerahkan sejumlah uang kepadanya. “Jani, ini bagian kamu.”

Hati Anjani terasa hangat. Setidaknya, hari ini suaminya masih mengingatnya. Namun, ia belum tahu bahwa kebahagiaan kecil ini tak akan bertahan lama.

“Terima kasih, Mas,” ucap Anjani dengan senyum bahagia.

Namun, sebelum ia sempat menyimpan uang itu, Bu Rina tiba-tiba datang dan langsung merampasnya dari tangan Anjani.

“Uang ini buat Ibu saja! Kamu sudah dikasih makan dan tempat tinggal di sini, jadi nggak perlu pegang uang!” katanya tajam.

Anjani hanya bisa terdiam, menahan rasa kecewa. Bahkan haknya sebagai istri pun tak dihargai di rumah ini.

"Mana bisa begitu, Bu? Jani juga punya kebutuhan," ucap Anjani, mencoba mempertahankan haknya.

Bu Rina mendelik tajam. "Kebutuhan apa? Kamu sudah dikasih makan dan tempat tinggal di sini! Jangan bilang kamu mau ngasih uang ini ke orang tuamu juga? Enak saja! Anak ibu yang kerja capek-capek, kamu dan keluargamu yang mau menikmati!"

Anjani terdiam, hatinya terasa semakin sesak. Ia hanya ingin sedikit kebebasan, tapi bahkan untuk memegang uang sendiri pun ia tak diizinkan.

Adrian segera berdiri dan merebut kembali uang dari tangan ibunya.

"Bu, jangan semuanya diambil," katanya dengan nada tegas. "Uang untuk Ibu sudah aku pisahkan."

Bu Rina mendengus kesal, wajahnya penuh ketidaksenangan. “Kenapa? Anjani itu nggak butuh uang! Dia di sini sudah dikasih makan, tinggal juga gratis! Jangan bilang kamu mau manjain dia?”

Adrian menghela napas, berusaha tetap tenang. "Bukan soal dimanjain atau enggak, Bu. Jani butuh uang buat belanja. Kalau dia nggak pegang uang, nanti kita makan apa?"

Anjani menatap Adrian dengan mata sedikit berkaca-kaca. Ini pertama kalinya suaminya membela dirinya di depan sang mertua.

Namun, Bu Rina tetap tak terima. “Belanja apa? Aku aja bisa belanja buat rumah ini! Atau jangan-jangan dia mau pakai uang ini buat ngirim ke keluarganya? Jangan mimpi, Jani! Anak laki-laki Ibu kerja banting tulang buat istri, bukan buat mertua!”

Anjani mengepalkan tangannya di balik punggung. Ia ingin membela diri, ingin menjelaskan bahwa ia tidak pernah berniat mengambil hak Bu Rina. Tapi ia tahu, percuma.

Adrian pun berusaha menenangkan ibunya. “Bu, sudahlah. Ini cuma uang belanja. Aku tetap kasih Ibu, kan?”

Bu Rina masih ingin berdebat, tapi akhirnya ia mendengus kesal dan mengambil bagian uang yang Adrian berikan padanya. “Huh! Dasar istri baru, sudah berani ambil hak mertua! Lihat aja, Anjani. Jangan macam-macam di rumah ini!”

Setelah ibunya pergi, Adrian menoleh ke arah Anjani. “Sudah, jangan dimasukkan ke hati.”

Anjani tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa sakit.

Tak lama, Dita muncul di depan pintu dengan wajah kesal. Tanpa basa-basi, ia langsung berteriak,

"Bang! Bagian Dita mana?"

Adrian menghela napas, merasa lelah dengan permintaan adiknya yang selalu sama setiap bulan. "Lo kan udah kerja, Dit. Kok masih minta Abang?"

Dita melipat tangan di dadanya, wajahnya cemberut. "Gaji Dita kecil, Bang! Mana cukup buat anak muda kayak aku? Aku harus tetap cantik, harus perawatan, harus beli baju baru! Masa aku kalah sama mbak Anjani?" katanya penuh keluhan.

Anjani hanya bisa menahan napas, menunduk tanpa ingin ikut campur.

Adrian menggeleng pelan, sebenarnya enggan menuruti keinginan adiknya. Tapi, melihat Dita terus merengek, akhirnya ia mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya dan menyerahkannya pada Dita.

"Udah, nih. Jangan boros," ucap Adrian dengan nada lelah.

Dita langsung merebut uang itu dengan wajah puas. "Makasih, Bang! Emang abangku paling baik!" katanya sambil tersenyum lebar, lalu melenggang pergi tanpa sedikit pun mempedulikan perasaan Anjani yang hanya bisa diam dan menerima keadaan.

Anjani menatap suaminya dengan kecewa. "Mas, uang segini mana cukup untuk sebulan?"

Adrian mendesah, lalu menatap Anjani dengan wajah datar. "Terserah Jani. Abang nggak mau tahu, segitu harus kamu cukupkan."

Anjani menggigit bibir, menahan rasa sedih yang mulai menggunung di dadanya. Dengan uang yang diberikan Adrian, ia harus mengatur segala kebutuhan rumah, sementara Dita dengan mudahnya meminta uang untuk keperluan pribadinya.

"Mas..." suara Anjani melemah. "Aku juga pengen beli baju baru. Selama menikah, aku belum pernah beli baju satu pun."

Adrian mengerutkan kening. "Baju kamu masih bagus, kan? Buat apa beli lagi?"

Anjani tersenyum pahit. Suaminya bisa dengan mudah mengeluarkan uang untuk adiknya, tapi saat istrinya meminta, alasan yang diberikan selalu sama: harus irit, harus cukup, harus mengalah.

Ia pun menunduk, menggenggam uang yang ada di tangannya erat-erat. Lagi-lagi, ia harus menerima kenyataan bahwa dirinya bukan prioritas bagi Adrian.

Untungnya, Anjani memang sudah cantik alami. Meskipun tidak pernah perawatan seperti Dita, wajahnya tetap glowing dengan kulit mulus dan bersih. Ia tidak butuh riasan tebal atau pakaian mahal untuk terlihat menawan.

Anjani menarik napas dalam, menatap uang di tangannya. Mungkin inilah takdirnya sebagai menantu di rumah ini.

Hari itu, Anjani bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Setelah selesai, ia bergegas mengambil uang belanja yang disimpannya di lemari kecil di kamar. Namun, saat membuka laci, hatinya langsung berdegup kencang.

Uangnya hilang.

Tangannya gemetar saat mengobrak-abrik laci, mencari di setiap sudut. Tapi hasilnya nihil. Anjani mulai panik. Itu satu-satunya uang yang diberikan Adrian untuk belanja sebulan penuh.

Dengan tergesa-gesa, ia keluar kamar dan mencari Adrian yang sedang bersiap berangkat kerja. "Mas, uang belanja Jani hilang!" suaranya bergetar.

Adrian menatapnya heran. "Hilang? Kok bisa?"

"Aku nggak tahu, Mas. Aku simpan di laci, sekarang nggak ada," jawab Anjani cemas.

Belum sempat Adrian merespons, tiba-tiba terdengar suara Dita dari ruang tamu. "Wah, ada yang mulai drama pagi-pagi!"

Anjani menoleh dan melihat Dita duduk santai di sofa, memainkan kuku yang baru saja dicatnya dengan warna merah terang.

"Kamu tahu sesuatu, Dit?" tanya Anjani curiga.

Dita mendengus, lalu berdiri. "Jangan asal tuduh ya !  kalau uang hilang,   kamu yang nggak hati-hati? Jangan-jangan itu hukuman karena terlalu boros!"

"Boros?" Anjani hampir tertawa miris. "Aku bahkan belum beli apa-apa!"

Bu Rina tiba-tiba muncul dari dapur dan ikut menyahut, "Udah, Anjani! Jangan ribut pagi-pagi! Kalau uang hilang, ya salah kamu sendiri. Makanya, kalau dikasih uang, langsung serahin ke Ibu biar aman!"

Anjani tercekat. Matanya memperhatikan wajah sang mertua, lalu beralih ke Dita. Ada firasat buruk di hatinya, tapi ia tidak berani menuduh secara langsung.

"Mas..." Anjani menoleh ke Adrian, berharap suaminya bisa membela dirinya.

Namun, Adrian hanya menghela napas panjang dan berkata, "Ya udahlah, Jani. Mungkin memang keteledoran kamu sendiri.

Anjani menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Lagi-lagi, ia yang disalahkan. Lagi-lagi, Adrian lebih percaya pada ibu dan adiknya dibanding dirinya.

Anjani menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh. Namun, di dalam hatinya, ada bara yang mulai menyala. Ini bukan pertama kalinya ia diperlakukan tidak adil, dan entah sampai kapan ia harus terus bersabar.

Dengan suara gemetar, ia berkata, "Mas, uang itu untuk belanja sebulan. Aku harus masak apa kalau uangnya hilang?"

Adrian mendesah, tampak tidak sabar. "Nanti aku kasih lagi, tapi jangan banyak nuntut, Jani. Aku juga harus bagi-bagi uang buat kebutuhan lain."

Anjani mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. "Kebutuhan lain? Maksud Mas buat Dita dan Ibu?"

Dita yang sejak tadi bersandar di sofa langsung mendengus. "Ih, mbak Anjani mulai kurang ajar, nih! Masa aku dan Ibu dibilang kebutuhan lain? Kalau nggak betah di rumah ini, ya pergi aja!"

Bu Rina menatap Anjani tajam. "Iya, Jani! Kamu tuh harus bersyukur punya suami yang baik. Jangan macam-macam deh, perempuan kok banyak maunya!"

Anjani tertawa kecil, tapi bukan karena senang. Tawanya penuh kepedihan dan amarah yang selama ini ia pendam.

"Jadi menurut Ibu dan Dita, aku ini apa? Pembantu yang tugasnya cuma nurut dan nggak boleh protes? Aku ini istri Adrian, bukan budaknya!" suaranya mulai meninggi.

Adrian langsung menegang “ Jani jangan mulai ‘’

"Tidak, Mas! Aku sudah terlalu lama diam! Aku selalu berusaha jadi menantu yang baik, istri yang sabar, tapi apa? Aku nggak pernah dihargai! Apa aku ini cuma tamu di rumah sendiri?"

Dita tertawa sinis. "Memangnya iya? Rumah ini rumah Mas Adrian, mbak. Kalau mau berkuasa, ya kerja! Jangan cuma mengandalkan uang suami!"

Anjani menoleh dengan mata merah. "Dita, kamu kerja tapi masih minta uang abangmu! Bukannya membantu, malah jadi beban! Kamu pikir uang Mas Adrian itu milikmu?"

"Jani!" Adrian membentak, suaranya tajam.

Tapi Anjani sudah terlanjur muak. "Mas selalu membela mereka! Kenapa Mas nggak pernah berpihak padaku? Aku ini istrimu, tapi kenapa aku selalu jadi yang terakhir?"

Terpopuler

Comments

Syhr Syhr

Syhr Syhr

Ingat, kau juga perempuan.

2025-07-04

0

Petir Luhur

Petir Luhur

bagus bikin geregetan

2025-04-23

1

lihat semua
Episodes
1 bab 1
2 bab 2
3 bab 3
4 bab 4
5 bab 5
6 bab 6
7 bab 7
8 bab 8
9 bab 9
10 bab 10
11 bab 11
12 bab 12
13 bab 13
14 bab 14
15 bab 15
16 bab 16
17 bab 17
18 bab 18
19 bab 19
20 bab 20
21 bab 21
22 bab 22
23 bab 23
24 bab 24
25 bab 25
26 bab 26
27 bab 27
28 bab 28
29 bab 29
30 bab 30
31 31
32 bab 32
33 bab 33
34 bab 34
35 bab 35
36 bab 36
37 bab 37
38 bab 38
39 bab 39
40 bab 40
41 bab 41
42 bab 42
43 bab 43
44 bab 44
45 bab 45
46 bab 46
47 bab 47
48 bab 48
49 bab 49
50 bab50
51 bab 51
52 bab 52
53 bab 53
54 bab 54
55 bab 55
56 bab 56
57 bab 57
58 bab 58
59 bab 59
60 bab 60
61 bab 61
62 bab 62
63 bab 63
64 bab 64
65 bab 65
66 bab 66
67 bab 67
68 bab 68
69 bab 69
70 bab 70
71 bab 71
72 bab 72
73 bab 73
74 bab 74
75 bab 75
76 bab 76
77 bab 77
78 bab 78
79 bab 79
80 bab 80
81 bab 81
82 bab 82
83 bab 83
84 bab 84
85 bab 85
86 bab 86
87 bab 87
88 bab 88
89 bab 89
90 bab 90
91 bab 91
92 bab 92
93 bab 93
94 bab 94
95 bab 95
96 bab 96
97 bab 97
98 bab 98
99 bab 99
100 bab 100
101 bab 101
102 bab 102
103 bab 103
104 bab 104
105 bab 105
106 bab 106
107 bab 107
108 108
109 bab 109
110 bab 110
111 bab 111
112 bab 112
113 bab 113
114 bab 114
115 bab 115
116 bab 116
117 bab 117
118 bab 118
119 bab 119
120 120
121 bab 121
122 bab 122
123 bab 123
124 bab 124
125 bab 125
126 bab 126
127 bab 127
128 128
129 bab 129
130 bab 130
131 bab131
132 bab 132
133 bab 133
134 Bab 134
135 bab135
Episodes

Updated 135 Episodes

1
bab 1
2
bab 2
3
bab 3
4
bab 4
5
bab 5
6
bab 6
7
bab 7
8
bab 8
9
bab 9
10
bab 10
11
bab 11
12
bab 12
13
bab 13
14
bab 14
15
bab 15
16
bab 16
17
bab 17
18
bab 18
19
bab 19
20
bab 20
21
bab 21
22
bab 22
23
bab 23
24
bab 24
25
bab 25
26
bab 26
27
bab 27
28
bab 28
29
bab 29
30
bab 30
31
31
32
bab 32
33
bab 33
34
bab 34
35
bab 35
36
bab 36
37
bab 37
38
bab 38
39
bab 39
40
bab 40
41
bab 41
42
bab 42
43
bab 43
44
bab 44
45
bab 45
46
bab 46
47
bab 47
48
bab 48
49
bab 49
50
bab50
51
bab 51
52
bab 52
53
bab 53
54
bab 54
55
bab 55
56
bab 56
57
bab 57
58
bab 58
59
bab 59
60
bab 60
61
bab 61
62
bab 62
63
bab 63
64
bab 64
65
bab 65
66
bab 66
67
bab 67
68
bab 68
69
bab 69
70
bab 70
71
bab 71
72
bab 72
73
bab 73
74
bab 74
75
bab 75
76
bab 76
77
bab 77
78
bab 78
79
bab 79
80
bab 80
81
bab 81
82
bab 82
83
bab 83
84
bab 84
85
bab 85
86
bab 86
87
bab 87
88
bab 88
89
bab 89
90
bab 90
91
bab 91
92
bab 92
93
bab 93
94
bab 94
95
bab 95
96
bab 96
97
bab 97
98
bab 98
99
bab 99
100
bab 100
101
bab 101
102
bab 102
103
bab 103
104
bab 104
105
bab 105
106
bab 106
107
bab 107
108
108
109
bab 109
110
bab 110
111
bab 111
112
bab 112
113
bab 113
114
bab 114
115
bab 115
116
bab 116
117
bab 117
118
bab 118
119
bab 119
120
120
121
bab 121
122
bab 122
123
bab 123
124
bab 124
125
bab 125
126
bab 126
127
bab 127
128
128
129
bab 129
130
bab 130
131
bab131
132
bab 132
133
bab 133
134
Bab 134
135
bab135

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!