Dibesarkan oleh keluarga petani sederhana, Su Yue hidup tenang tanpa mengetahui bahwa darah bangsawan kultivator mengalir di tubuhnya. Setelah mengetahui kebenaran tentang kehancuran klannya, jiwanya runtuh oleh kesedihan yang tak tertahankan. Namun kematian bukanlah akhir. Ketika desa yang menjadi rumah keduanya dimusnahkan oleh musuh lama, kekuatan tersegel dalam Batu Hati Es Qingyun terbangkitkan. Dari seorang gadis pendiam, Su Yue berubah menjadi manifestasi kesedihan yang membeku, menghancurkan para pembantai tanpa amarah berlebihan, hanya kehampaan yang dingin. Setelah semuanya berakhir, ia melangkah pergi, mencari makna hidup di dunia yang telah dua kali merenggut segalanya darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puvi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dingin yang Menguji dan Menerima
Di tengah kekacauan tarik-menarik yang absurd di dalam kabut, Su Yue merasa nalurinya berteriak. Ini bukan logika monster atau ular raksasa.
"Lanxi!" teriaknya, suaranya memotong ilusi dan teriakan para pemuda. "Tendang monster itu dengan sekuat-kuatnya! Sekali lagi!"
Lanxi, yang wajahnya basah oleh air mata ketakutan, mengangguk patuh. Dia mengumpulkan sisa keberanian dan kekuatan. Mengabaikan rasa aneh karena monster itu menjerit dengan suara yang terdengar terlalu manusiawi, dia menarik kakinya yang bebas dan kemudian mendorong dengan kaki yang masih dipegang, dia melayangkan tendangan terkuatnya, bertumpu pada pegangan Su Yue dan Xuqin.
Tendangan itu mendarat dengan keras, tepat di hidung si pemimpin yang sudah bengkak.
"ARRRGGGHHHHH! HANCUR!"
Jerit si pemimpin, rasa sakit yang tak tertahankan akhirnya memutuskan koneksi ilusi dan nalar bertahannya. Tangannya yang memegang pergelangan kaki Lanxi terlepas secara refleks.
Lanxi langsung merasa kakinya bebas. "Lepas!"
"LARI!" pekik Su Yue, tidak memberi waktu untuk berpikir.
Mereka bertiga berbalik dan melesat masuk lebih dalam ke kabut, meninggalkan jeritan kesakitan dan kekacauan di belakang. Mereka berlari tanpa arah, hanya mengikuti insting untuk menjauhi sumber masalah. Anehnya, setelah beberapa saat berlari, kabut tiba-tiba menipis, dan mereka menemukan diri mereka di jalur pendakian yang jelas lagi, jauh di atas area berkabut.
Mereka tidak berhenti. Kejadian di kabut telah menguras tenaga dan mental mereka. Mereka mendaki dengan sisa stamina, didorong oleh adrenalin. Tanah berbatu, akar menjalar, tanjakan curam, semua dilalui dengan napas tersengal dan tekad membara.
Lambat laun, pepohonan mulai menipis. Udara terasa lebih tipis dan dingin. Cahaya sore mulai berwarna jingga keemasan. Dan kemudian, mereka melihatnya sebuah dataran luas di puncak, dengan beberapa bangunan kayu sederhana, dan sekelompok orang berjubah biru-abu berdiri menunggu.
Mereka adalah yang pertama.
Dengan langkah terakhir yang hampir tersungkur, Su Yue, Xuqin, dan Lanxi melangkah ke dataran puncak. Tubuh mereka penuh keringat, lumpur, dan goresan. Wajah mereka pucat tapi mata mereka bersinar dengan pencapaian.
Zhang Tianhe, sang Pemimpin Sekte Qingyun, berdiri di depan para tetua lainnya. Wajahnya yang tenang menunjukkan secercah kejutan yang halus, lalu berubah menjadi kekaguman yang tulus.
"Kalian bertiga," ucapnya, suaranya hangat. "Aku tahu kalian memiliki potensi, tapi menjadi yang pertama sampai... itu luar biasa."
Dia melangkah mendekat. "Ujian kedua bukan hanya tentang kekuatan fisik, tetapi juga ketenangan mental untuk menghadapi ilusi dan kecerdikan untuk menyelesaikan masalah. Kalian telah menunjukkan keduanya, meski caranya... agak tidak konvensional." Matanya berkelip, seolah mengetahui kejadian di kabut.
Dia mengulurkan tangannya. Seorang tetua muda memberinya tiga token baru, terbuat dari batu biru pucat yang dingin saat disentuh.
"Token ini membuktikan kalian telah lolos ujian kedua. Simpan baik-baik."
Mereka menerima token batu dengan tangan gemetar. Perasaan lega dan bangga yang luar biasa membanjiri mereka, bahkan Su Yue yang biasanya dingin merasa dadanya hangat.
"Pergi dan istirahatlah di bawah pohon itu," kata Zhang Tianhe, menunjuk ke sebuah pohon besar yang teduh di tepi dataran.
"Tunggu peserta lain sampai. Ujian ketiga akan dimulai setelah semua yang lolos berkumpul."
Mereka membungkuk hormat, lalu berjalan tertatih ke bawah pohon. Begitu duduk, semua tenaga seakan menguap. Mereka bersandar pada batang pohon, menutup mata, menarik napas dalam-dalam udara puncak gunung yang segar namun dingin.
"Hampir saja kita mati karena monster batu itu," gumam Lanxi, masih ketakutan.
"Aku punya firasat itu bukan monster sungguhan," kata Xuqin, membuka matanya. "Suara jeritannya... seperti manusia."
Su Yue mengangguk pelan. "Itu ilusi. Tapi sangat kuat. Bisa memanipulasi sentuhan dan suara."
Mereka terdiam, menikmati istirahat yang berharga.
Sekitar setengah jam kemudian, suara langkah kaki berat dan erangan terdengar. Sekelompok peserta muncul dari jalur pendakian. Yang memimpin adalah kelompok lima pemuda dari tadi. Wajah pemimpinnya bengkak, merah, dengan mata yang satu mulai menghitam, tampak sangat memprihatinkan. Dia terlihat marah dan frustrasi.
Matanya langsung menatap ke arah Su Yue, Xuqin, dan Lanxi yang sedang duduk tenang di bawah pohon. Api kemarahan menyala di matanya.
"Mereka...!" geramnya. Dia pasti menghubungkan wajah bengkaknya dengan monster yang menendangnya di kabut.
Namun, sebelum dia bisa melakukan atau mengatakan apa pun, suara Zhang Tianhe menggema.
"Selamat kalian lolos ujian kedua. Terimalah token kelolosanmu."
Seorang tetua menghampiri para pemuda itu dan memberikan token batu. Si pemimpin terpaksa menerimanya, tapi tatapannya masih penuh dendam ke arah tiga gadis itu.
"Sekarang, diam dan istirahatlah. Jangan mengganggu peserta lain," perintah Zhang Tianhe dengan nada yang tidak membantah.
Si pemimpin akhirnya mengurungkan niatnya dan duduk dengan geram di sisi lain dataran, sambil sesekali memegang wajahnya yang sakit.
Peserta lain mulai berdatangan satu per satu, dengan kondisi yang beragam: ada yang hampir pingsan, ada yang menangis lega, ada yang hanya diam lesu. Banyak yang tidak datang. Mereka yang memecahkan token untuk penyelamatan telah dibawa pulang oleh penjaga ujian.
Setelah matahari mulai condong ke barat, Zhang Tianhe melangkah ke depan lagi. Dari sekitar dua ratus peserta awal, hanya tersisa sekitar tiga puluh orang yang berhasil mengumpulkan token batu.
"Selamat bagi kalian yang masih bertahan," katanya, suaranya serius. "Kalian telah membuktikan ketahanan fisik dan keteguhan mental. Namun, jalan kultivasi membutuhkan lebih dari itu. Dibutuhkan ketenangan batin, kemampuan untuk berdialog dengan alam, dan kekuatan untuk menerima serta menyesuaikan diri, bukan hanya melawan."
Dia berjalan mendekati tepi dataran yang menghadap ke sebuah ngarai. "Ujian ketiga akan dimulai sekarang, dan akan berlangsung sampai matahari terbit besok."
Semua peserta terdiam, menegakkan telinga.
"Kalian akan berendam di Air Terjun Embun Beku," lanjut Zhang Tianhe, menunjuk ke arah ngarai. Suara gemuruh air yang dahsyat memang sudah terdengar sayup-sayup.
"Airnya sangat dingin. Bukan dingin biasa, tapi dingin yang meresap hingga ke tulang sumsum dan jiwa. Ini bukan hanya ujian ketahanan. Ini adalah ujian ketenangan dan mental. Siapa yang tidak sanggup, boleh menyerah kapan saja. Hanya dengan keluar dari air, ujian berakhir untukmu."
Dia memandang mereka satu per satu, matanya berat. "Aku tidak berbicara main-main. Air terjun itu bisa membunuh. Jika kalian merasa nyawa kalian benar-benar terancam, jika inti kehidupan kalian hampir padam, KELUARLAH. Kehormatan lebih baik daripada kematian bodoh."
Lalu, nada bicaranya berubah, mengandung janji. "Tapi, bagi mereka yang bisa menyesuaikan diri, yang bisa menemukan ritme dalam dingin, yang bisa mendengarkan apa yang diajarkan alam... air terjun itu akan memberikan manfaat besar. Ia akan memurnikan akar spiritual kalian, menguatkan meridian, dan memberikan fondasi yang kokoh untuk langkah pertama kultivasi sejati. Ini adalah hadiah sekaligus ujian."
Antusiasme dan ketakutan bercampur di wajah para peserta. Manfaat besar? Itu yang didambakan setiap calon kultivator.
"Kini, ikutilah aku."
Zhang Tianhe dan para tetua memimpin mereka menyusuri jalan setapak di tepi ngarai. Perjalanan sekitar satu jam. Suhu semakin turun drastis. Bahkan sebelum melihatnya, mereka sudah menggigil. Lalu, mereka sampai di sebuah tebing yang luas.
Di hadapan mereka, terhampar Air Terjun Embun Beku. Sebuah tirai air raksasa yang jatuh dari ketinggian ratusan meter, menghantam kolam dan batu-batu di bawahnya dengan suara menggelegar yang menggetarkan dada. Kabut air yang tercipta bukanlah kabut biasa, tapi kabut es, berkilauan di cahaya senja yang mulai memudar. Udara di sekitarnya begitu dingin hingga napas mereka langsung membeku menjadi kristal kecil.
"Ambil posisi masing-masing di atas batu-batu datar di dasar air terjun," perintah Zhang Tianhe. "Duduk bersila, bermeditasi. Jangan melawan dinginnya. Rasakan alirannya. Pahami alamnya. Carilah ketenangan di dalam kegaduhan, kehangatan di dalam beku. Waktu mulai sekarang."
Para peserta, dengan wajah tegang, mulai turun menuju kolam. Sentuhan pertama air membuat banyak orang menjerit kesakitan. Dinginnya seperti pisau yang menusuk langsung ke sumsum.
Su Yue, Xuqin, dan Lanxi saling pandang. Mereka mengambil posisi di batu yang berdekatan, membentuk segitiga kecil.
"Kita bisa melewati ini," kata Xuqin, menggigit bibirnya yang sudah membiru.
"Sudah biasa dingin," sahut Lanxi, meski tubuhnya sudah gemetar tak terkendali.
Su Yue hanya mengangguk. Dia menyentuh token batu di sakunya, lalu Batu Hati Es Qingyun di dadanya. Keduanya terasa hangat kontras dengan dingin di sekeliling.
Mereka duduk bersila di atas batu, air terjun yang dahsyat menghantam punggung dan bahu mereka dengan kekuatan yang hampir menjatuhkan. Tapi itu bukan tekanan terbesar. Dingin. Dingin yang seolah ingin membekukan darah, meremukkan tulang, dan memadamkan nyawa.
Su Yue memejamkan mata. Dia merasakan serangan dingin itu. Tapi anehnya, dibandingkan dengan yang lain, dia merasa... berbeda. Dingin air terjun ini memang ganas, tapi es di dalam hatinya, es yang berasal dari kesedihan dan warisan aliran Es Musim Dingin, seolah merespons. Dingin luar tidak menyerangnya dengan liar; ia seperti mencoba berkomunikasi, mencari kesamaan frekuensi.
Dia mengingat kata-kata Senior Han Xing: "Untuk menguasai es, pertama tama kau harus membekukan hatimu. Hanya dalam kehampaan yang dingin, es akan mencapai kemurniannya."
Dia juga mengingat perintah Pemimpin Zhang: "Jangan melawan. Pahami alamnya."
Dia berhenti berusaha melawan rasa dingin. Dia membiarkannya masuk. Dan sesuatu yang ajaib terjadi. Di tengah rasa sakit menusuk itu, dia mulai merasakan butiran-butiran energi murni yang tak terhitung jumlahnya, tersembunyi di dalam air dingin itu. Energi langit dan bumi yang sangat padat dan bersifat air dan es. Saat air terjun menghantam tubuhnya, energi-energi murni itu juga ikut menembus pori-porinya, dipandu oleh dingin alami yang sudah ada dalam dirinya.
Rasa sakit tidak hilang. Tapi kini, ada rasa lain: sebuah penerimaan. Seperti dua kutub magnet yang sejenis, dingin dalam dirinya dan dingin dari air terjun saling tolak, tetapi dalam penolakan itu, mereka membentuk sebuah keseimbangan yang rapuh. Su Yue mulai mendengarkan. Dia mendengar gemuruh air bukan sebagai kegaduhan, tetapi sebagai irama. Dia merasakan dingin bukan sebagai musuh, tetapi sebagai guru yang keras.
Meridiannya yang sempit mulai terasa dibersihkan, diperluas secara halus namun pasti oleh aliran energi murni yang dingin itu. Dantiannya, kumpulan kecil Qi es berwarna biru pucat, mulai berputar lebih cepat, menyerap dan memurnikan energi yang masuk.
Di sebelahnya, nasib Xuqin dan Lanxi berbeda. Mereka bukan praktisi aliran es. Dingin ini adalah penyiksaan murni bagi mereka. Tapi, mereka memiliki kelebihan lain: mereka berasal dari Desa Gunung Senja, dimana musim dingin sangat panjang dan menusuk. Mereka terbiasa dengan kedinginan yang ekstrem, meski tidak sedahsyat ini.
"Xuqin... aku... kaku..." Lanxi menggigil, suaranya hampir tak terdengar di bawah gemuruh air.
"Tahan... jangan lawan... rasakan saja... seperti musim dingin di rumah..." jawab Xuqin, mencoba menerapkan nasihat pemimpin. Dia juga merasakan energi murni, tapi baginya seperti jarum es yang menusuk, bukan aliran yang bisa diterima.
Mereka berdua bertahan bukan karena keselarasan seperti Su Yue, tetapi karena ketahanan fisik dan mental yang sudah ditempa oleh kehidupan keras di desa. Mereka menerima rasa sakit itu sebagai bagian dari ujian, menelan setiap detik dengan gigi gemeretak.
Malam turun. Langit dipenuhi bintang, namun kabut es dari air terjun membuatnya samar-samar. Di kolam Air Terjun Embun Beku, tiga puluh lebih sosok duduk tak bergerak, diselimuti lapisan es tipis, berjuang antara hidup dan mati, antara penyerahan dan perlawanan, dalam ujian terberat mereka sejauh ini. Dan bagi Su Yue, di tengah kegaduhan dan beku, sebuah pencerahan kecil tentang jalannya sendiri mulai bersemi, setipis embun di daun yang membeku.