Hancurnya Dunia Aluna Aluna Seraphine, atau yang akrab dipanggil Luna, hanyalah seorang siswi SMA yang ingin hidup tenang. Namun, fisiknya yang dianggap "di bawah standar", rambut kusut, kacamata tebal, dan tubuh berisi, menjadikannya target empuk perundungan. Puncaknya adalah saat Luna memberanikan diri menyatakan cinta pada Reihan Dirgantara, sang kapten basket idola sekolah. Di depan ratusan siswa, Reihan membuang kado Luna ke tempat sampah dan tertawa sinis. "Sadar diri, Luna. Pacaran sama kamu itu aib buat reputasiku," ucapnya telak. Hari itu, Luna dipermalukan dengan siraman tepung dan air, sementara videonya viral dengan judul "Si Cupu yang Gak Tahu Diri." Luna hancur, dan ia bersumpah tidak akan pernah kembali menjadi orang yang sama.
Akankah Luna bisa membalaskan semua dendam itu? Nantikan keseruan Luna...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1 : KADO DI TEMPAT SAMPAH
Langit di atas SMA Pelita Bangsa sore itu tampak muram, seolah-olah sedang bersiap untuk menumpahkan tangisan yang tertahan sejak pagi. Awan kelabu menggantung rendah, menciptakan suasana pengap yang mencekam di koridor-koridor sekolah yang mulai sepi. Di balik bayang-bayang gedung olahraga yang mulai meredup, seorang gadis berdiri mematung.
Namanya Aluna Seraphine. Namun, di sekolah ini, nama seindah itu telah lama terkubur oleh julukan-julukan rendah yang disematkan kepadanya. Bagi para penghuni sekolah, dia hanyalah "Luna si Itik Lumpur" atau "Si Cupu Bau Matahari".
Luna meremas ujung seragamnya yang sudah agak menguning dan terasa kekecilan di beberapa bagian. Tangannya yang kasar karena terlalu sering membantu bibinya mencuci piring di rumah, kini memegang sebuah kotak kado kecil. Kotak itu dibungkus dengan sangat rapi menggunakan kertas kado berwarna biru langit, warna favorit seseorang yang selama tiga tahun ini menjadi satu-satunya alasannya untuk tetap bertahan di tengah perundungan yang kejam.
"Dia pasti lewat sini," gumam Luna pelan. Suaranya bergetar, hampir tertelan oleh deru angin yang membawa aroma tanah basah.
Detak jantung Luna berpacu kencang saat mendengar suara tawa yang sangat ia kenal dari kejauhan. Suara langkah kaki yang berderap angkuh itu membuat perutnya mulas. Harapan yang nekat dan ketakutan yang mendalam berperang di dalam dadanya. Ia tahu risikonya. Ia tahu apa yang biasanya terjadi jika ia mencoba mendekati "Matahari" sekolah itu. Namun, hari ini berbeda. Hari ini adalah hari ulang tahunnya.
Dari arah koridor utama, sekelompok remaja muncul. Mereka adalah "penguasa" SMA Pelita Bangsa. Di tengah-tengah mereka, berjalan seorang pemuda dengan jaket basket yang tersampir gagah di bahunya. Reihan Dirgantara. Wajahnya adalah definisi kesempurnaan fisik—rahang tegas, mata elang yang tajam, dan senyum yang bisa meluluhkan hati siapapun dalam sekejap. Namun, bagi Luna, mata itu terkadang terasa sangat dingin.
"Reihan!" panggil Luna. Suaranya pecah di udara sore yang sunyi.
Langkah kelompok itu terhenti serentak. Reihan menoleh, alisnya bertaut tajam saat melihat sosok Luna yang berdiri kaku di pojok gedung. Di samping Reihan, Selin gadis dengan rambut pirang hasil salon mahal, melipat tangan di dada dengan tatapan jijik yang sangat terang-terangan.
"Oh, lihat. Siapa yang berani memanggil nama pangeran kita sore-sore begini?" Selin menyeringai, memicu tawa dari sepuluh orang di belakangnya. "Nggak tahu malu ya, masih berani muncul setelah kejadian di kantin kemarin?"
Luna tidak menjawab Selin. Ia melangkah maju dengan kaki yang terasa seberat timah. Ia menundukkan kepala, membiarkan kacamata tebalnya merosot di pangkal hidung yang penuh keringat dingin. Ia menyodorkan kado itu dengan kedua tangan yang bergetar hebat.
"Selamat... selamat ulang tahun, Reihan. Aku tahu ini tidak seberapa dibandingkan barang-barang mewahmu. Tapi aku membuatnya sendiri. Aku merajut syal ini setiap malam selama dua bulan terakhir... hanya untukmu," ucap Luna dengan nada memohon.
Suasana menjadi hening secara tidak wajar selama beberapa detik. Teman-teman Reihan saling pandang, seolah-olah baru saja mendengar lelucon paling konyol di abad ini.
"Syal rajutan?" Bima, si atlet kasar, mulai tertawa hingga bahunya terguncang. "Rei, lo dengar itu? Dia mau lo pakai barang rongsokan itu di leher lo! Apa dia nggak tahu harga jaket lo aja bisa buat beli rumah dia?"
Kevin, si admin grup gosip sekolah, sudah mengangkat ponselnya. Lampu kilat kamera menyambar wajah Luna yang pucat. "Wah, momen langka! Si Cupu menyatakan cinta lagi! Ini bakal jadi konten paling viral minggu ini!"
Reihan akhirnya melangkah mendekat. Ia menerima kado itu dari tangan Luna. Untuk sedetik, Luna merasakan kilasan harapan yang hangat. Ia mendongak, menatap mata Reihan, mencari setitik kebaikan yang pernah ia bayangkan ada di sana.
REEEEEKKKK!
Suara kertas kado yang robek itu terdengar seperti suara jantung Luna yang hancur berkeping-keping. Reihan menarik syal rajutan berwarna biru itu dengan kasar. Syal itu lembut, penuh cinta di setiap simpul yang dikerjakan Luna hingga jarinya lecet. Namun, di tangan Reihan, benda itu tampak seperti kain lusuh yang kotor.
"Rajutan tangan?" Reihan bicara dengan suara yang sangat rendah namun sangat tajam. "Luna, apa lo benar-benar nggak punya kaca di rumah? Atau lo emang nggak sadar diri?"
Reihan menjatuhkan syal itu ke tanah yang lembap. Tidak cukup sampai di sana, ia menginjaknya dengan sepatu basket mahalnya, memutar ujung sepatunya hingga rajutan itu kini tertutup lumpur hitam.
"Gue nggak butuh sampah ini. Dan gue nggak butuh cewek kayak lo di daftar fans gue," lanjut Reihan. Ia mencengkeram dagu Luna, memaksa gadis itu melihat pantulan dirinya sendiri di mata Reihan yang dingin. "Punya pengagum kayak lo itu sebuah penghinaan buat gue. Lo itu kotor, Luna. Lo itu bau. Pergi dari hadapan gue sekarang sebelum gue bener-bener muntah."
Selin tertawa nyaring, suaranya melengking menyakitkan di telinga Luna. "Aduh, Rei, kamu terlalu kasar. Dia kan cuma mau terlihat 'manis'. Sini, Luna, biar aku bantu mempercantik penampilan kamu!"
Dengan gerakan cepat yang tidak sempat dihindari, Selin merobek sebungkus tepung terigu yang entah sejak kapan ia siapkan. BYUURRR! Tepung putih itu menyelimuti kepala Luna, masuk ke matanya yang terbuka, ke dalam mulutnya yang ternganga karena syok.
Belum sempat Luna bernapas, Maya dan Vanya menyusul dengan menyiramkan botol-botol air mineral ke kepala Luna. Tepung itu berubah menjadi adonan kental yang lengket, menempel di rambut, kacamata, dan seragam Luna.
Luna berdiri mematung di tengah lingkaran tawa yang meledak-ledak. Ia terlihat seperti badut yang gagal total. Air mata mulai mengalir, menciptakan jalur bening di wajahnya yang putih penuh tepung. Ia ingin berteriak, ingin lari, tapi kakinya terasa terpaku ke bumi.
"Ayo guys, cabut! Bau adonannya bikin mual," ajak Reihan tanpa menoleh sedikit pun pada Luna yang hancur di belakangnya. Kelompok elit itu pergi sambil terus menghujat, meninggalkan suara tawa yang bergema panjang di koridor yang kini gelap.
Luna jatuh berlutut di atas aspal yang dingin. Ia mencoba memungut syalnya yang kini sudah tidak berbentuk, hancur oleh injakan kaki dan adonan tepung. Isak tangisnya pecah, tertahan oleh telapak tangannya sendiri. "Kenapa... kenapa harus sesakit ini..."
Tiba-tiba, hujan turun dengan derasnya. Dingin dan menusuk, seolah alam pun ikut menghujat keberadaan Luna. Namun, anehnya, Luna tidak merasakan tetesan air mengenai bahunya. Sebuah bayangan menutupi tubuhnya dari guyuran hujan.
Sebuah jaket sekolah yang hangat dan beraroma maskulin yang menenangkan tiba-tiba disampirkan ke bahunya yang kotor. Luna mendongak pelan dengan mata yang perih karena tepung.
Di sana berdiri seorang cowok.
Xavier.
Murid pindahan yang selama ini dikenal sama-sama "cupu" karena selalu memakai kacamata tebal, duduk di pojok kelas, dan tidak pernah bicara pada siapapun. Xavier berdiri tegak, memegang sebuah payung hitam besar. Ia tidak menatap geng Reihan yang sudah menjauh, melainkan menatap jalanan di depannya dengan tatapan yang sangat datar, seolah-olah seluruh keributan tadi hanyalah angin lalu.
Xavier berlutut di depan Luna, mengabaikan seragamnya yang ikut kotor karena genangan air dan sisa tepung. Ia mengambil kacamata Luna yang sudah buram, membersihkannya dengan kain dari sakunya, lalu memakaikannya kembali ke wajah Luna dengan gerakan yang sangat hati-hati—hampir terasa lembut.
"Jangan menunduk," ucap Xavier. Suaranya berat, dalam, dan punya aura otoritas yang sangat asing bagi Luna.
"Xavier... kenapa... kamu..." Luna terisak, bahunya berguncang hebat.
Xavier menyentuh dagu Luna, menyeka sedikit adonan tepung di pipinya dengan ujung ibu jarinya. Matanya yang tajam di balik kacamata tebal itu menatap langsung ke dalam mata Luna yang sembab.
"Berhenti menangisi orang yang bahkan tidak melihatmu sebagai manusia, Luna. Suatu hari nanti, mereka semua yang akan berlutut di hadapanmu, mencari pengampunan yang tidak akan pernah kau berikan."
Xavier membantu Luna berdiri. Ia menggenggam tangan Luna yang dingin dengan sangat erat, seolah menyalurkan sisa kehangatan yang ia miliki. "Ayo pulang. Bulan tidak akan selamanya tertutup awan hitam."
Di bawah guyuran hujan yang semakin menggila, Luna berjalan bersisian dengan Xavier, satu-satunya orang yang tidak menertawakannya hari itu. Luna tidak tahu siapa Xavier sebenarnya, dan ia tidak tahu bahwa di kejauhan, seseorang sedang mengamati mereka dari dalam mobil mewah yang terparkir di kegelapan.
Hari itu, Aluna yang lemah telah mati bersama kado yang membusuk di tempat sampah. Tanpa disadari siapapun, roda takdir mulai berputar ke arah yang mengerikan bagi mereka yang baru saja tertawa.