Aku tidak tahu jika nasib dijodohkan itu akan seperti ini. Insecure dengan suami sendiri yang seakan tidak selevel denganku.
Dia pria mapan, tampan, terpelajar, punya jabatan, dan body goals, sedangkan aku wanita biasa yang tidak punya kelebihan apapun kecuali berat badan. Aku si pendek, gemuk, dekil, kusam, pesek, dan juga tidak cantik.
Setelah resmi menikah, kami seperti asing dan saling diam bahkan dia enggan menyentuhku. Entah bagaimana hubungan ini akan bekerja atau akankah berakhir begitu saja? Tidak ada yang tahu, aku pun tidak berharap apapun karena sesuatu terburuk kemungkinan bisa terjadi pada pernikahan kami yang rentan tanpa cinta ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia Lebih Baik
"Darimana?"
Pertanyaan yang aku dapatkan ketika baru saja membuka pintu apartemen, bahkan aku masih dengan tas dan berkas mengajar. Selepas dari hotel pagi itu, memang aku langsung ke tempat mengajar tanpa tahu Mas Elham sudah di rumah entah sejak kapan.
Dia tepat berdiri di depanku dengan secangkir kopi yang dibawanya.
"Darimana, Moy? Kok gak jawab?" Dia mengaduk kopinya santai. Meski pertanyaannya disisipi dengan sedikit senyuman, tetapi terdengar mengintimidasi.
Tidak mungkin dia pulang sejak semalam kan? Tentu aku tidak ada jika dia pulang malam kemarin.
Dengan dibawa santai semampu yang kubisa tunjukan padanya. "Ouh, Mas. Mas pulang kapan? Kenapa tidak memberi kabar?" tanyaku, lalu melepas semua pernak-pernik yang menempel di tubuh: tas dan berkas aku letakkan di atas meja panjang di sebelah televisi.
Aku berjalan menuju dapur untuk mencuci tangan. Pandangannya mengintai kemana langkahku pergi. Ia mengikuti sampai dimana aku berhenti.
"Darimana?" tanya dia sekali lagi saat aku mencuci tangan dan menggunakan pengering hingga suaranya samar aku dengar.
"Kenapa?" tanyaku saat dia menatapku dengan lekat seperti menunggu sesuatu yang penting ada di diriku.
"Darimana?" Dan pertanyaannya tidak berubah sejak beberapa menit berlalu.
"Aku? Sepulang mengajar, darimana lagi?" jawabku sederhana dan apa adanya.
Namun tentu, bukan itu jawaban yang dia mau. Aku menduga seperti akan terkena masalah besar hanya karena sebuah kesalahan mengapa tidak mengikuti kata hati supaya semalan pulang saja ke rumah setelah pertemuan dengan teman-temanku.
Aku berjalan menuju ruang tengah. Di sana entah mengapa sofa terlihat berantakan, selimut yang bergulung dan menjuntai ke lantai, bantal-bantal sofa yang berada dimana-mana, dan gelas-gelas bekas air minum masih berceceran di sekitar meja, ada pula berserakan sampah bungkus makanan milik mas Elham yang seperti belum dibereskan sejak lama.
Aku mengambil sapu untuk menyingkirkan sampah-sampah dan debu di lantai yang terasa risih menganggu telapak kakiku saat berjalan.
"Kenapa disapu? Kan ada penyedot debu," ujarnya ketika aku tiba-tiba mengambil sapu yang seringnya teronggok di pojokan pintu.
Oh, ya! Aku terlupa. Penyedot debu kunyalakan dan biarkan dia bekerja sendiri menyusuri kolong-kolong meja dan kursi.
Di kamar, aku terlupa lantainya belum dipel sejak lama. Lantainya pasti lengket karena beberapa hari ini belum tersentuh kain pel.
Mas Elham masih mengikutiku hingga ke kamar yang biasa kami termpati bersama.
"Permisi, Mas," ujarku ketika kain pel menabrak kakinya.
"Kenapa tiba-tiba jadi sibuk begitu? Kamu sengaja menghindari pertanyaanku."
Aku diam tak mengindahkan. Selagi kakinya telah terangkat dari pintu masuk kamar ini, aku melanjutkan pekerjaanku.
Dia menahan tongkat pel di tanganku, lalu mengambil alihnya. Membawanya pergi bersama dengan seember air berisi campuran pembersih lantai.
Dia menahan lenganku yang hendak membuang sampah-sampah yang kutemukan di kamar ini untuk dibuang ke tempatnya.
"Moy."
"Hem. Iya? Kenapa?" tanyaku santai seperti biasa.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku yang mudah. Semalam kemana?"
Aku menelan air ludahku sendiri. Menghela napas panjang--ini yang aku khawatirkan.
Aku tetap berjalan menuju dapur untuk membuang sampah, lalu mengambil air dingin, entah tiba-tiba di dalam rumah ini terasa panas dan menguras banyak keringatku meski pendingin ruangan sedang dalam mode on.
"Memang Mas pulang kapan?" ujarku berbalik tanya padanya. Sama, dengan nada ramah dan penuh senyuman seolah semuanya sedang baik-baik saja.
"Pertanyaanku belum kamu jawab."
Langkahnya mendekat, memaksaku mundur hingga terpojokkan.
"Perlukah aku mengabari kapan aku pulang? Biar apa? Biar kamu bisa siap-siap seolah menjadi seorang istri yang patuh dan berada di rumah meski aku tiada? Padahal kamu sedang di luar dan tidur di tempat lain atau bahkan sedang dengan pria lain?"
Pergerakanku sontak terhenti.
"Benar, kan? ... Dengan pria lain?" bisiknya lirih seolah merenggut paksa udara di sekitarku hingga membuatku sesak napas.
"Aku gak seperti itu."
"Lalu, kemana saja semalam saat aku pulang kamu tidak ada?"
"Aku memang tidak di rumah."
"Iya, dimana? Kenapa sulit sekali mengatakan kamu berada di mana semalam?"
Aku menatapnya dengan seksama saat wajahnya memaksaku untuk berbalas menatapnya.
Jika aku mengatakan yang sejujurnya kalau semalam aku menginap di tempat lain dan ada kak Alan di sana, pasti dia akan marah atau sangat marah.
Sudah pasti responsnya tidak akan baik-baik saja dan tidak akan mendengarkan penjelasanku meski aku jelaskan di sana kami tidak hanya berdua dan alasan lainnya seperti sebuah bualan belaka baginya. Hanya akan ada kesalahan pada diriku.
Air dari teko aku tuangkan ke gelas yang sama. Air dingin langsung menerobos kerongkonganku dan membuat dingin seluruh urat nadi hingga ke puncak kepala.
Aku tidak lagi menjawabnya, ingin segera berkemas dan membersihkan diri lalu beristirahat. Begitu ekspektasiku menghabiskan malam ini.
Namun, itu hanya angan semata karena begitu diri ini baru melangkah meninggalkan lantai dapur, Mas Elham menarik lenganku dan menahanku di sudut dapur.
"Kenapa gak dijawab semalam kemana?" Matanya menatap netraku lurus dan tak teralihkan.
"Di rumah mamaku atau papamu sudah aku pastikan kamu tidak ada di sana."
Percobaanku menghindar sis-sia. Dia menarikku mundur ke tempat semula. Wajahnya menunduk. "Seperti itukah kamu jika tidak ada aku? Keluyuran? Mencari apa di luar sana? Kesenangan dengan yang lain?"
"Apa saja yang kamu lakukan selama aku tidak ada? Kencan buta? Selingkuh? Tidur dengan pria lain, Moy?"
"Tidak. Kamu menuduhku yang bukan-bukan!" Aku menghempaskan tangan yang menahan bahuku.
"Lalu, kemana? Bersama siapa? Barang kali kamu memang tidak cinta padaku, lalu kamu pergi dengan pria lain yang lebih menggoda untukku atau menjadi selingkuhanmu?"
"Tidak!" bantahku. Aku berjalan cepat meninggalkannya.
"Lalu tidur dimana semalam? Vila?" tanya dia mengintai.
"Bukan!" pintu kamar nyaris aku tutup, tetap dia berhasil ikut.
Brak! Pintu kamar tertahan oleh jari tangannya.
"Hotel?"
"---"
"Dengan seorang pria?"
Aku masih diam.
"Kalian bersenang-senang di sana?"
"Tidak." Aku masih mencoba menutup pintu. Tidur terpisah adalah jalan keluar untuk memutuskan semua pertanyaan-pertanyaan darinya.
"Kamu selingkuh, Moy?" lirih dia bertanya.
"Gak. Cukup, Mas. Awas."
"Dengan siapa semalam di hotel itu?"
Aku masih mencoba menutup pintunya.
"Kenapa gak jujur, Moy? Apa karena aku tahu siapa orangnya?"
"Gak."
"Karena dia yang lebih muda dan tampan menurutmu?"
"Gak."
"Siapa dia? Pacarmu?"
"Bukan! Mas, berhenti." Kami masih dorong mendorong pintu.
"Jawab dulu, siapa? Sama siapa? Jawab, Moy!" bentaknya sebelum pintu kamar ini benar-benar berhasil tertutup olehku. Namun, digagalkannya saat dia menendang pintunya, memaksanya terbuka dengan sangat lebar dan menyerangku hingga terasa terbang, lalu terbaring di atas tempat tidur.
"Kak Alan! Dengan kak Alan dan satu teman wanitanya," jawabku spontan.
Dia berhenti bertanya. Geming di posisinya, cengkeramannya di lenganku mengendur, lalu dia memundurkan langkahnya hingga menabrak dinding.
Wajahnya dia raup menggunakan telapak tangan. "Jadi, benar semalam itu kamu?"
"Gak, aku dan dia gak ada apa-apa. Bukan hanya kak Alan, tetapi ada juga temanku yang wanita." Alasan ini seperti tidak berguna untukku jelaskan karena dia pasti hanya akan mencerna jawaban yang pertama--bertemu kak Alan.
"Gak ada apa-apa? Aku lihat semuanya! Semuanya, Moy!"
"Apa?"
"Kamu pikir tidak sedang di sana? Aku melihatnya. Kamu dan dia, si brengsek itu. Kalian... argggh!"
Brak! Prang!
"Sudah kubilang berapa kali? Jauhi dia! Jauhi, jauhi, jauhi!"
"Kenapa masih bertemu?"
Tidak ada yang bisa aku hentikan dari apa yang sedang dia lakukan saat ini. Semua barang yang ada di depannya seakan menjadi sasaran pelampiasan amarahnya.
Aku sudah menduga apa yang akan terjadi saat dia mendengar nama saudaranya yang satu itu kusebut.
"Memang kenapa kalau aku bertemu dengan kak Alan? Dia baik dan selalu membantuku, dia temanku."
Langkahnya berbalik menghampiriku. "Teman?! Kamu sebut dia teman?"
"Dia yang telah menghancurkan hidupku, kamu malah berteman? Berapa kali aku peringatkan untuk tidak bertemu?"
Aku diam saat dia berteriak di depan wajahku.
"Damn," ujarnya lirih mengumpatiku.
"Dia selalu membantuku, tidak seperti kamu yang selalu ingin menang sendiri. Kak Alan jauh lebih baik daripada kamu, dia lebih peduli dan lembut saat bersikap padaku. Dia tidak malu saat bersamaku, tidak seperti kamu yang menyembunyikanku dan ...."
"Apa? Kamu mengatakan apa?"
"Dia lebih baik darimu dan dia selalu ada untukku," jawabku.
Dia diam. Tangannya berkacak pinggang, hanya dapat aku lihat tatapannya yang lurus padaku dan dadanya yang naik-turun itu. Apa dia akan membunuhku? Itu yang terlintas di benakku.
"Itu yang membuatmu berpihak padanya?"
"Ya, aku bicara fakta. Saat aku sendirian, dia ada dan membantuku kalau aku perlu. Tidak pernah enggan menolongku, dia tidak sepertimu yang sibuk dengan urusanmu sendiri. Kak Alan ada untukku sejak pertama kami bertemu, sedangkan yang aku rasakan padamu, hanya ada keegoisan yang selalu merasa benar sendiri bahkan kamu tidak pernah melihat kebaikan orang lain."
Aku berdiri. "Mas gak merasa ya kalau kamu itu tinggi hati alias congkak! Sewenang-wenang dan tidak punya perasaan bahkan membenci sama saudara sendiri."