NovelToon NovelToon
The Painters : Colour Wars

The Painters : Colour Wars

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Sci-Fi
Popularitas:451
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Rahmad Ajie, seorang mekanik body & paint di Jakarta, tak pernah mengira hidupnya berubah drastis karena ledakan cat radioaktif. Tubuhnya kini mampu mengeluarkan cat dengan kekuatan luar biasa—tiap warna punya efek mematikan atau menyembuhkan. Untuk mengendalikannya, ia menciptakan Spectrum Core Suit, armor canggih yang menyalurkan kekuatan warna dengan presisi.

Namun ketika kota diserang oleh Junkcore, mantan jenius teknik yang berubah menjadi simbol kehancuran lewat armor besi rongsoknya, Ajie dipaksa keluar dari bayang-bayang masa lalu dan bertarung dalam perang yang tak hanya soal kekuatan… tapi juga keadilan, trauma, dan pilihan moral.

Di dunia yang kelabu, hanya warna yang bisa menyelamatkan… atau menghancurkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Laboratorium Dadakan dan Cat Ajaib

“Gue gak percaya kita bakal ngelakuin ini di bekas pabrik es krim,” kata Ajie sambil menatap sekeliling.

Gudang besar itu memang penuh jejak masa lalu. Ada poster-poster kartun kucing lucu di dinding yang mengelupas, rak kosong bekas tempat freezer, dan satu tangki stainless steel besar bertuliskan "Vanilla King." Di sudut ruangan, Melly sedang memasang sejenis panel listrik portabel, sementara di dekatnya ada meja panjang penuh alat ukur, kabel, dan satu helm las yang masih ada sisa permen karet menempel.

“Eh, daripada lo ngeluh, mending tolongin gue pasang sensor ini,” sahut Melly sambil melemparkan satu ikat kabel ke arah Ajie.

Ajie menangkapnya dengan enggan. “Sensor ini bakal bantu ngapain?”

“Nangkap reaksi kimia dari tubuh lo setiap kali cat keluar. Gue sambungin ke tablet ini biar bisa dicatat. Gue mau lo nguji satu-satu warnanya.”

Ajie mengangguk—meski setengah masih skeptis.

Ia berdiri di tengah ruangan, di atas satu garis lingkaran yang sudah ditandai cat semprot. Melly duduk di balik meja, helm las di kepala dan laptop terbuka.

“Oke, kita mulai dari warna merah. Lo bilang itu muncul pas lo marah, kan?”

“Yap.”

“Oke. Coba ingat-inget sesuatu yang bikin lo pengen nimpuk orang.”

Ajie menghela napas, lalu menutup mata.

“Muka Pak Darto waktu nahan gaji lembur gue tiga bulan,” gumamnya.

Melly cekikikan. “Itu udah cukup valid.”

Ajie mengepalkan tangan. Detik berikutnya, dari lengannya, semburat merah keluar. Mengalir dari pori-pori seperti kabut cair, lalu berubah menjadi semburan seperti semprotan cat mobil bertekanan tinggi. Cairan merah menghantam dinding gudang, menimbulkan letupan kecil dan bau hangus.

“Oke! Cat merah \= ledakan tekanan tinggi. Dicatat!” teriak Melly sambil mengetik cepat.

Ajie menggoyangkan tangan. “Panas banget, sumpah. Kayak... bakar kulit sendiri.”

“Normal. Arahkan ke luar lain kali, bukan ke dinding dekat tangki gas!”

“Lo yang suruh gue marah di tempat sempit!”

“Gue gak nyuruh lo meledak literal juga, Bodoh!”

Ajie nyengir. “Yah, sekarang kita tahu merah bukan buat interior design.”

Mereka berdua tertawa kecil.

“Oke, berikutnya... biru,” kata Melly. “Lo bilang itu muncul pas takut?”

Ajie menelan ludah. “Gue gak suka ketinggian.”

“Bagus! Naik ke sana!”

Melly menunjuk ke tangga besi tua yang mengarah ke balkon sempit di lantai dua gudang.

“Lo serius?”

“Sangat.”

Ajie mendengus, tapi menurut juga. Langkah demi langkah, ia naik. Tangga itu berderit tiap kali diinjak. Begitu sampai atas, angin sepoi-sepoi membuat balkon itu sedikit bergoyang.

“Demi apa gue ngelakuin ini...” gerutu Ajie.

“Lompati palang besinya,” sahut Melly dari bawah.

Ajie melihat ke bawah, ke lantai beton sejauh tiga meter di bawahnya. “Lo mau gue mati?!”

“Gak, gue mau lo takut. Fokus.”

Ajie menahan napas. Ia berdiri di pinggir, kaki gemetar. Dadanya berdebar.

Lalu...

Cat biru mulai muncul. Tapi bukan dalam bentuk semburan. Warnanya menyelimuti tubuhnya seperti kabut pendingin, lalu... zzzztt! udara sekitar jadi dingin. Uap putih tipis mengembun di besi tangga.

“Whoa!” seru Melly. “Cat biru punya efek penurun suhu! Kayak pendingin cryo!”

Ajie segera turun. “Rasanya... kayak seluruh badan disiram air es.”

“Noted. Biru \= dingin. Buat kabur, mungkin. Atau buat ngerusak mesin lawan.”

Ajie mengangguk sambil menggigil. “Next time gue bawa jaket.”

Setelah menyalakan pemanas portable, Melly berseru, “Kuning sekarang! Lo bilang itu muncul saat panik?”

Ajie mengangguk. “Apa yang lo siapin buat mancing rasa panik gue?”

Melly mengeluarkan seekor tikus dari kotak transparan. Tikus itu tampak jinak... tapi punya rambut jabrik seperti kena sengatan listrik.

“Ini siapa?!”

“Namanya Dorce.”

“Kenapa tikus lo kelihatan kayak vokalis punk?”

“Eksperimen pribadi. Lo gak usah tahu.”

Tikus itu melompat ke lengan Ajie.

Ajie refleks menjerit. “AH GILA—”

Braak!!

Cat kuning keluar seperti percikan listrik. Bukan cairan, tapi semacam sinar kilat zigzag yang menyambar ke segala arah. Dorce melompat selamat, tapi salah satu lampu neon meledak.

Melly mengangkat alis. “Kuning \= efek listrik, tegangan acak. Gawat juga kalau gak dikontrol.”

Ajie mengeluh. “Tikus punk dan petir bukan kombinasi menyenangkan.”

“Gue tulis: jangan bawa Dorce waktu lo lagi panik.”

Ajie menatapnya tajam. “Gue curiga lo sebenernya nikmatin semua ini.”

“Gue montir, bro. Liat cowok bisa nyembur listrik dari pori-pori kayak terminal korslet? Hiburan sejati.”

Sesi berlanjut ke warna hijau, yang keluar saat Ajie ngerasa terjebak. Kali ini, Melly ‘mengurung’ Ajie pakai tumpukan kursi dan kabel bekas. Saat Ajie mulai sesak dan panik, cat hijau keluar sebagai kabut lengket. Dan anehnya—kabut itu bikin segala benda jadi licin, seakan lapisan sabun melapisi permukaannya.

“Hijau \= pelumas ekstrem,” catat Melly. “Cocok buat kabur atau jebak lawan.”

“Juga cocok buat bikin orang kepleset kayak di kartun.”

Mereka tertawa lagi.

Saat mereka istirahat, Ajie duduk di dekat tangki bekas es krim.

“Jadi... ada berapa warna lagi?”

Melly menyender di dinding, wajahnya agak serius sekarang. “Lo belum keluarin ungu, oranye, atau putih. Dan ada kemungkinan warna-warna lain yang belum terpicu.”

Ajie menatap tangannya. “Gue kayak pelangi berbahaya, ya.”

“Lebih kayak bom cat emosional.”

Hening sesaat. Lalu Ajie bertanya, pelan, “Lo kenapa nolongin gue, Mel?”

Melly menatapnya. “Karena lo satu dari sedikit orang yang pernah anggap gue bukan rusak.”

Ajie terdiam.

“Dulu lo satu-satunya yang nggak takut lihat gue ngebongkar motor 250cc sendirian. Malah lo yang ngajak ngopi pas tangan gue penuh oli.”

Ajie tersenyum samar. “Itu karena lo gak pernah takut bikin tangan gue penuh luka juga.”

Mereka tertawa, sedikit lebih tulus.

Tiba-tiba, laptop Melly berbunyi. Sinyal masuk—bukan email, bukan notifikasi biasa. Tapi transmisi radio frekuensi pendek.

Melly cepat-cepat buka frekuensi.

Suaranya terdistorsi, tapi cukup jelas.

> “Unit 5 melaporkan: target Catman terdeteksi di koordinat sektor barat. Perintahkan penyergapan. Siapkan Sentry Drone. Tembak di tempat.”

Melly menoleh ke Ajie.

“Waktunya main sembunyi-sembunyian udah selesai.”

Ajie berdiri.

Matanya menyala samar... merah.

“Kalau mereka nyari gue... gue kasih mereka warna yang gak bakal mereka lupain.”

1
lalakon hirup
suka di saat tokoh utama nya banyak tingkah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!