Serka Davis mencintai adiknya, hal ini membuat sang mama meradang.
"Kamu tidak bisa mencintai Silvani, karena dia adikmu," cegah sang mama tidak suka.
"Kenapa tidak boleh, Ma? Silvani bukan adik kandungku?"
Serka Davis tidak bisa menolak gejolak, ketika rasa cinta itu begitu menggebu terhadap adiknya sendiri, Silvani yang baru saja lulus sekolah SMA.
Lalu kenapa, sang mama tidak mengijinkan Davis mencintai Silvana? Lantas anak siapa sebenarnya Silvana? Ikuti kisah Serka Davis bersama Silvani
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 Saling Merindu
Davis memacu motor menuju kediamannya. Ia sebetulnya merasa bersalah karena telah membuat sang mama menangis. Mama Verli terlalu mengkhawatirkan Davis, padahal Davis sudah dewasa. Tapi bagi Mama Verli, Davis masih sama saja seperti anak ABG yang masih perlu diproteksi.
"Aku ingin tahu sampai di mana mama bisa luluh dan akhirnya terjebak dalam perangkapku. Biarkan saja mama merasa khawatir denganku," ujarnya seraya melajukan motornya dengan santai.
Di kediaman Mama Verli, hari ini Mama Verli terlihat layu dan muram. Mama Verli kepikiran dengan ucapan Davis tadi malam.
"Kenapa kamu jadi berubah seperti itu, Dav? Mama tidak mau kamu sampai berubah dan kebablasan. Kenapa kamu justru berubah ketika mama melarangmu memiliki perasaan terhadap adikmu?" Wajah bermuram durja sang istri sudah diketahui Papa Vero.
Papa Vero paham apa yang dirasakan Mama Verli. Dia khawatir dengan Davis yang terlihat berubah. Intinya Mama Verli takut kalau Davis terjerumus ke hal-hal yang tidak diinginkan. Meskipun Davis sudah dewasa dan bisa menentukan mana baik dan buruk, tapi bagi Mama Verli juga Papa Vero, Davis tetap saja seperti anak kecilnya yang masih butuh pengawasan.
"Mama, kenapa Mama murung seperti ini? Sekarang Mama mau ke butik nggak? Biar Papa antar," tegur Papa Vero sembari memberikan segelas coklat espresso kesukaan sang istri.
"Mama khawatir dengan Davis, Pa. Dia berubah, mama takut dia terjerumus ke dalam hal-hal yang negatif. Gara-gara gadis itu, Davis berubah. Gadis itu malah membawa perubahan tidak baik untuk Davis. Papa dengar tadi malam apa yang dikatakan Davis, dia bilang mau menghabiskan malam dan kencan. Apa maksudnya coba? Mama tidak pernah melihat Davis seperti ini," curah Mama Verli sembari menyeruput coklat espresso yang diberikan suaminya itu.
"Mama tenang dulu. Sudah papa katakan mama harus tenang. Mama jangan terlalu kepikiran. Davis itu sudah dewasa, dia tahu baik dan buruk. Jika dia memilih jalan buruk diusia yang sudah dewasa ini, itu pilihannya sendiri. Berarti kedewasaannya tidak dilihat dari usia, artinya Davis bodoh tidak bisa menilai mana yang baik dan buruk," tekan Papa Vero tandas.
"Oleh karena itu, Pa. Mama takut Davis justru berpikir bodoh. Mama khawatir dengan ucapannya tadi malam."
"Kita doakan saja jalan yang ditempuh Davis lurus-lurus saja. Harusnya dia bisa memilah mana yang baik dan buruk, secara dia seorang anggota. Sangat keterlaluan apabila sampai terperosok ke dalam jalan yang salah," sambung Papa Vero.
"Itu dia, Pa. Mama takut."
"Kalau Mama takut, Papa ada ide." Papa Vero mendekatkan bibirnya di daun telinga Mama Verli.
"Apaan, Pa?" Mama Verli penasaran. Papa Vero segera membisikkan idenya yang menurutnya paling ampuh atau brilian untuk meredam kekhawatiran Mama Verli, dan untuk mencegah Davis berubah bodoh sehingga terperosok ke dalam hal-hal yang tidak diinginkan.
"Apa? Papa yakin? Kenapa Papa justru kini ada di pihak Davis?" Mama Verli tidak setuju dengan ide yang dibisikkan suaminya.
"Cuppp."
Tiba-tiba Papa Verli mencium pipi Mama Verli, entah gemas atau kesal. "Terserah Mama kalau masih teguh dengan pendiriannya. Papa angkat tangan dan tidak bisa lagi memberikan ide yang brilian lain. Sekarang Mama mau murung atau memikirkan Davis apapun itu terserah," ujar Papa Vero seraya beranjak meninggalkan sang istri yang tidak mau diberikan ide yang menurutnya brilian.
"Papaaaa. Setidaknya ide lain yang lebih smart, Papa ini bagaimana sih?" Mama Verli berteriak, sayang sekali Papa Vero tidak mau dengar teriakan istrinya yang dinilai egois.
Hari pun berlalu, sudah seminggu sejak kedatangan Davis ke rumah, Davis tidak lagi datang ke rumah. Sekedar mampir saja Davis tidak mau.
"Ya ampun, aku sangat rindu sama Davis," gumam Mama Verli seraya menghubungi seseorang.
"Danis, mama nanti sore ke rumah kamu bersama papa jenguk cucu mama," ucap Mama Verli di telpon.
"Iya, Ma. Datang saja, dengan senang hati," balas Danis yang kini sudah berada di kota ini, bersama bayi dan istrinya.
Di tempat lain. Davis uring-uringan. Ternyata pancing yang disodorkan pada sang mama belum juga nyangkut. Sudah seminggu sang mama tidak ada membahas sesuatu hal yang selama ini jadi harapannya.
"Masih belum nyangkut juga. Mama malah menyuruh aku ke rumah. Buat apa ke rumah kalau aku tidak boleh bertemu Silva? Mama ini egois. Atau aku nekad saja, bawa kabur Silva lalu aku nikahi secara siri biar dia benar-benar terikat?" Tiba-tiba pikiran picik itu datang dalam diri Davis.
"Tidak ada salahnya kami menikah siri dulu, sebelum kami mengurus nikah kantor. Silva kan anak adopsi, sebelum kami mengajukan nikah kantor, semua status Silva bisa diurus sama mama dan papa ke pengadilan untuk membatalkan status adopsi Silva," pikirnya simpel.
Sayangnya itu hanya dalam angan Davis saja, sementara pikiran sang mama tidak mungkin sepemikiran dengannya. Davis tahu seperti apa sang mama.
"Kenapa mama tidak mau ijinkan aku nikah dengan Silva saja sih? Sayang banget kalau Silva lepas dan dimiliki orang lain. Memangnya mama tidak percaya kalau aku bisa bahagiain Silva? Buat apa status anak angkat dipertahankan, toh sama juga setelah nikah pasti status Silva justru lebih dekat dan erat," desahnya.
Davis menghempas tubuh di atas dipannya dengan kasar. Sepertinya pancingan untuk mamanya gagal.
"Aku merindukan Silva. Bagaimana caranya agar aku bisa ketemu gadis itu?" lamunnya sedih.
Sore harinya di lain tempat, Mama Verli dan Papa Vero serta Silva, kini sudah berada di atas mobil menuju rumah Danis. Mereka akan menjenguk anggota keluarga baru di keluarga Danis, sekaligus cucu pertama bagi Mama Verli dan Papa Vero.
Tiba di rumah Danis, sebuah kejutan nampak di depan mata. Mama Verli tersenyum bahagia saat di halaman rumah Danis ada motor Davis.
Begitu juga yang dirasakan Silva, ia yang merindukan Davis, begitu senang saat melihat motor sang kakak berada di sini.
"Kak Davis," gumamnya bahagia.
"Papa, itu lihat motor Davis ada di sini. Sepertinya Davis sedang menengok keponakan pertamanya. Ayo, Pa. Cepat masuk," girang Mama Verli seraya berjalan lebih dulu menuju pintu rumah Danis.
"Assalamualaikum," salam Mama Verli kencang dan tidak sabar. Mama Verli kegirangan entah mau nengok bayi atau karena ada Davis di rumah Danis.
"Waalaikumsalam," jawab seseorang seraya menggendong bayi.
"Davis, anak siapa itu?" Mama Verli menatap heran saat yang membuka pintu rumah Danis, justru Davis yang tengah menggendong bayi.
"Ya bayi Davislah, Ma. Ayo, masuk, Mama dan Papa tidak mau masuk?" ajak Davis tanpa menyebut nama Silva. Padahal tadi Davis sangar merindukan Silva, tapi kini saat dia berhadapan, Davis cuek tanpa menyapa.
"Kamu jangan bercanda. Ini bayi kakakmu. Sini, mama gendong bayinya," rebut Mama Verli meraih bayi Danis dari gendongan Davis.
Davis merungut sebal, tapi dia membiarkan sang mama membawa bayi itu dari gendongannya.
"Dek, kamu mau berdiri di sana? Tidak akan masuk?" Lama-lama Davis tidak tahan membiarkan gadisnya tidak disapa. Semua itu hanya sebagai cara Davis agar sang mama bisa paham akan kode kekesalannya.
akhirnya direstui juga...
nunggu Davis tantrum dulu ya ma
berhasil ya Davis 😆😆😆👍👍