Irene, seorang gadis cantik yang gampang disukai pria manapun, tak sengaja bertemu Axelle, pria sederhana yang cukup dihindari orang-orang, entah karna apa. Sikapnya yang dingin dan tak tersentuh, membuat Irene tak bisa menahan diri untuk tak mendekatinya.
Axelle yang tak pernah didekati siapapun, langsung memiliki pikiran bahwa gadis ini memiliki tujuan tertentu, seperti mempermainkannya. Axelle berusaha untuk menghindarinya jika bertemu, menjauhinya seolah dia serangga, mendorongnya menjauh seolah dia orang jahat. Namun anehnya, gadis ini tak sekalipun marah. Dia terus mendekat, seolah tak ada yang bisa didekati selain dirinya.
Akankah Irene berhasil meluluhkan Axelle? Atau malah Axelle yang berhasil mengusir Irene untuk menjauh darinya? Atau bahkan keduanya memutuskan untuk melakukannya bersama setelah apa yang mereka lalui?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sam Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bryan's Story
Axelle menghentikan motornya di sebuah gedung kosong yang tak terpakai itu, ia nekad datang sendiri ke tempat yang hampir tak pernah dilewati orang itu. Axelle memeriksa sekelilingnya, meyakinkan hatinya sekali lagi untuk masuk atau segera pergi dari sini.
"Wah, jagoan kita beneran datang kesini rupanya."
Axelle menatap tajam pria yang datang menghampirinya itu, Axelle memutar matanya saat beberapa orang pria berada dihadapannya.
"Dimana Irene?" Tanya Axelle, dingin.
"Gak sabaran banget sih, main-main dulu kek. Kita temen, kan? Ya, sampai loe bunuh Bryan sih."
"June, gw harus bilang berapa kali. Gw bukan pembunuh, gw cuman kebetulan ada disana. Buktinya gw ada disini, tanpa masuk penjara."
"Loe boong, tau gak? Gw tau persis loe siapa, loe licik, Axelle. Loe iri sama Bryan karna deket sama Rose, loe suka Rose juga kan?"
"Yaampun, June, loe gak ngerti ya? Gw gak pernah suka sama siapapun, Rose sama gw gak ada hubungan sama sekali."
"Terus kemarin loe ketemu dia mau ngapain? Loe mau deketin Rose kan, setelah Bryan gak ada."
"June, loe yang suka sama Rose. Kenapa jadi gw yang dituduh bunuh Bryan? Emang loe pikir gw sepicik apa sampai harus bunuh temen gw cuman karna cewek?"
"Loe sepicik itu, Al. Buktinya loe bisa keluar dan cuman jadi saksi, jelas-jelas loe ada disana. Loe milih tempat itu karna gak ada CCTV yang bisa rekam loe sama Bryan, loe pikir gw bego?"
"June, percaya sama gw!! Gw gak akan nyakitin Bryan kayak gitu, emang loe pikir selama ini yang dia takutin siapa? Loe, kan?"
"Temen itu musuh yang lebih berbahaya dari keliatannya. Tangkap dia, bawa ke dalam."
"Irene dimana?" Teriak Axelle, mulai tak sabar.
"Irene ada didalam, seharusnya loe cepat."
"Apa maksud loe?" Tanya Axelle, bingung. Tapi ia terdiam, saat yang lain mulai mengepungnya.
"Lumpuhkan dia, lalu bawa dia kedalam!!"
"Baik, Boss!!"
***
Irene ditarik ke sebuah ruangan terbuka, gadis itu menatap sekelilingnya yang dijaga ketat oleh orang-orang berbadan cukup besar.
"Hei, Rene!!" Sapa Joy, membuat Irene menatap gadis itu.
"Dimana ini? Kenapa gw dibawa kesini?" Tanya Irene, penasaran.
"Seger ya disini, dibanding di ruangan tadi, sumpek." Ujar Joy, tersenyum.
Irene hanya diam, membuat Joy menatapnya lagi. "Buat apa gw disini?"
Joy menghela nafas, tatapannya tertuju ke hutan dibawah sana. "Gw punya adek, Rene. Gw gak pernah akur sama dia, karna gw benci sama dia. Keluarga gw gak pernah ngehargain gw, tapi dia dapetin semuanya." Ujarnya, pelan. "Tapi anehnya, waktu gw kehilangan dia, gw gak bisa berhenti nangisin dia. Waktu dia direnggut dari gw, dari keluarga gw, gw gak bisa terima, Rene."
"Maksudnya?"
"Dia meninggal, dua tahun yang lalu, dibunuh."
Irene menutup mulutnya, kaget. "Kok loe baru cerita sekarang?"
"Anehnya, gw gak bisa nemuin satu bukti apapun atas kejadian itu. Semua orang yang terlibat seolah disuruh tutup mulut, bahkan bokap gw sendiri gak pernah bahas kejadian ini. Gw akhirnya berusaha sendiri, Rene, nyari bukti, nyelidikin, sogok sana-sini, hingga akhirnya gw ketemu pelakunya."
Irene menatap Joy yang meneteskan air matanya, tapi gadis itu segera menghapusnya.
"Dan pelakunya sedang menuju kemari, jemput loe." Jawab Joy, membuat Irene terdiam.
"A-apa?"
"Gw gak akan nyakitin loe, Rene, kalo aja loe gak berhubungan sama dia. Bukannya dari awal gw udah bilang, bahkan Gisel juga udah kasih peringatan, kalo cowok itu gak baik. Tapi liat loe sekarang, loe jalan sama dia, loe lupain gw sama Gisel, loe... Temenan sama pembunuh adek gw."
Irene masih saja diam, berusaha mencerna semua informasi mendadak ini. "Loe... kakaknya Bryan?"
"Loe tau adek gw? Oh, pasti anak itu cerita kan? Pantesan loe sesimpati itu sama dia, loe pasti lebih percaya sama cerita versi dia, kan?"
"Nggak, loe salah, Axelle gak pernah cerita sama sekali soal Bryan. Dia tertutup masalah itu, Joy, John yang cerita semuanya."
"John? Temannya?"
"Ya, ia cerita sedikit tentang Bryan yang memang teman Axelle." Ujar Irene, pelan. "Tapi loe salah, bukan Axelle pelakunya. John tau itu, dia sendiri yang bawa Axelle keluar dari sana."
"Dan loe percaya? Pelaku gak akan pernah ngaku, Rene. Mereka gak akan pernah ngaku, kecuali kalo diancam."
"Emang gitu adanya, Joy. Loe salah paham, apa karna rumor itu?"
"Rumor? Gw yang bikin rumor itu, Rene. Gw gak mau dia berteman sama siapapun, jadi gw berusaha ngejauhin dari yang lain."
"Biar apa, Joy? Kehilangan Bryan itu pukulan besar buat Axelle, dan loe tega bikin dia dijauhin dari orang-orang? Loe gak tau, Axelle kayak gimana orangnya."
"Loe yang gak tau apa-apa, loe suka sama dia, jadi loe terus bela dia. Rene, sadar kenapa sih? Dia itu udah bunuh adek gw, adek kesayangan gw."
"Joy, loe salah paham. Loe..."
Seseorang tiba-tiba menginterupsi obrolan mereka, membuat keduanya menatap kearah yang sama.
"Hei, Winter..."
***
John terus menghubungi Axelle yang sejak tadi tak bisa dihubungi, pria itu tadi langsung pergi begitu saja saat mendengar suara ketakutan Irene. John beneran gak habis pikir pada pria itu, kenapa sih selalu nekad nyari sendiri? Nanti kalau kejadiannya sama kayak Bryan, gimana coba?
John kini berada dalam perjalanan menuju tempat ponsel Axelle terdeteksi, sebelum pria itu mematikan ponselnya.
"Gimana, John?" Tanya ayah Axelle yang memaksa ikut untuk menyelamatkan putranya itu, membuat John menggelengkan kepalanya. Harusnya ayah Axelle ini beristirahat saja di rumah, tapi pria paruh baya itu tak bisa tenang jika tak menyelamatkan putranya yang bisa saja bernasib sama seperti dua tahun yang lalu. Kalau saja ia tak bertindak bodoh, mungkin Axelle takkan seperti ini.
Tiba-tiba mobil berhenti, membuat John terdiam. Seseorang dari mobil depan tampak turun, lalu berjalan menuju mobil yang ditumpangi John. "Lokasinya hilang disini, Bang." Ujarnya sambil menatap ponselnya, membuat John menatap sekelilingnya yang cukup gelap itu.
"Tunggu dulu, coba gw liat lokasinya." Ujar John, membuat pria besar itu menyerahkan ponselnya. "Ini lokasi villa kosong keluarga Bryan kan? Kenapa Axelle harus kesini?"
"Lalu, kita harus gimana?"
"Kita cari kesana, siapa tau ada petunjuk." Ujar John, membuat yang lain segera masuk kedalam mobil kembali. Kali ini John yang memimpin, karna hanya ia yang tau lokasi tempat villa itu berada.
"Keluarga Wijaya itu, kenapa mereka gak bisa melepaskan keluargaku sih?"
John menatap tuannya itu kaget, tentu saja dia takkan salah dengar atas apa yang baru saja didengarnya.
"Keluarga Wijaya? Oom kenal keluarga Bryan?"