Sinopsis Satria Lapangan
Pahlawan Lapangan adalah kisah tentang perjalanan Bagas, seorang remaja yang penuh semangat dan berbakat dalam basket, menuju mimpi besar untuk membawa timnya dari SMA Pelita Bangsa ke Proliga tingkat SMA. Dengan dukungan teman-temannya yang setia, termasuk April, Rendi, dan Cila, Bagas harus menghadapi persaingan sengit, baik dari dalam tim maupun dari tim-tim lawan yang tak kalah hebat. Selain menghadapi tekanan dari kompetisi yang semakin ketat, Bagas juga mulai menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Stela, seorang siswi cerdas yang mendukungnya secara emosional.
Namun, perjuangan Bagas tidak mudah. Ketika berbagai konflik muncul di lapangan, ego antar pemain seringkali mengancam keharmonisan tim. Bagas harus berjuang untuk mengatasi ketidakpastian dalam dirinya, mengelola perasaan cemas, dan menemukan kembali semangat juangnya, sembari menjaga kesetiaan dan persahabatan di antara para anggota tim. Dengan persiapan yang matang dan strategi yang tajam,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon renl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 34
Misteri di Balik Buku
Pagi itu, setelah pertemuan singkat dengan Rendi dan April, Bagas merasa pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian semalam di rumah Stela. Buku catatan milik Stela yang tertinggal di mobilnya memberatkan langkahnya, seolah membawa tanda tanya besar. Tanpa membuang waktu, Bagas memutuskan untuk mencari Stela dan mengembalikan buku tersebut. Ia melangkah cepat menuju kelas di ujung lorong, tempat di mana Stela biasa duduk bersama teman-temannya.
Setibanya di sana, kelas itu tampak riuh oleh canda tawa siswa-siswa yang bersiap mengikuti pelajaran pertama. Bagas masuk dengan langkah mantap, matanya tertuju pada seorang gadis berkacamata yang sedang asyik membaca buku tebal. Gadis itu terlihat serius, namun menyadari kehadiran Bagas dan mengangkat kepalanya.
“Permisi,” ucap Bagas pelan namun jelas.
“Iya, kenapa?” jawab gadis berkacamata itu sambil meletakkan bukunya.
“Lo kenal Stela?” tanya Bagas, mencoba bersikap santai meski hatinya sedikit berdebar.
Gadis itu tersenyum tipis, menunjukkan deretan buku dan tas di bangku sebelahnya. “Oh, Stela? Iya, ini bangkunya,” katanya sambil menunjuk.
Bagas mengangguk dan melanjutkan, “Lo tau Stela di mana sekarang?”
Gadis berkacamata itu mengerutkan kening sejenak, berpikir. “Kayaknya nggak masuk deh. Soalnya jam segini dia belum nongol,” jawabnya sambil melirik ke arah bangku kosong itu.
“Oh, iya, udah. Makasih, ya,” kata Bagas sebelum beranjak pergi, meninggalkan kelas itu dengan perasaan semakin resah. Buku catatan itu masih ada di tangannya, dan tanpa Stela di sekolah, ia hanya bisa menunggu hingga mendapat kabar darinya.
Sesampainya di kelas, Bagas duduk di bangkunya dan mencoba menghubungi Stela lewat ponsel. Beberapa kali panggilannya tidak dijawab, dan pesan singkat yang ia kirim tak kunjung dibalas. Dengan berat hati, ia menyimpan ponselnya dan berusaha mengikuti pelajaran seperti biasa, meski pikirannya terus teralihkan oleh kekhawatiran akan Stela.
Hari itu berlalu tanpa kejadian yang berarti, dan suasana sekolah tampak berjalan normal. Namun, di dalam kepala Bagas, sebuah pertanyaan terus berputar: kenapa Stela absen dan mengapa buku catatan ini bisa tertinggal?
Jam pelajaran pun usai, dan bel pulang sekolah menggema di seluruh ruangan. Bagas mengemasi barang-barangnya dengan gerakan pelan, mencoba menenangkan pikirannya. Meski semua berjalan seperti biasa, Bagas merasa ada sesuatu yang berbeda. Dan ia bertekad untuk menemukan jawabannya.
Setelah pelajaran berakhir, Bagas berjalan dengan cepat menuju parkiran motor. Suasana sekolah yang semula ramai kini perlahan mulai sepi, menyisakan beberapa siswa yang masih berada di sekitar area. Dengan tergesa-gesa, Bagas memarkirkan motor sport hijaunya dan segera menyalakannya. Suara mesin yang menggelegar seolah menggema di seluruh penjuru sekolah, namun saat ia hendak menekan gas, tiba-tiba ada yang menepuk-nepuk jok motornya dari belakang.
"Tunggu, tunggu!" suara itu terdengar jelas, membuat Bagas terkejut dan langsung mengerem motornya mendadak.
Bagas menoleh ke belakang dan membuka kaca helmnya. "Apa, Pril?" tanyanya, sudah tahu siapa yang memanggilnya.
"Gue ikut lu, dodol," jawab April dengan senyum lebar.
"Lah, kenapa lo ikut?" tanya Bagas, sedikit bingung.
"Udah, pokoknya gue ikut," jawab April dengan tegas sambil sudah menaiki motor sport Bagas.
Bagas hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kelakuan April. "Dasar ya, ni anak," ujarnya, seraya menyerahkan helm yang ada di stang motornya.
April segera mengambil helm itu dan memakainya, siap untuk berangkat. "Oke, berangkat, gas!" serunya dengan semangat, mengayunkan tangan ke atas.
Namun, belum sempat Bagas mengegas motornya, tiba-tiba ada yang memanggil mereka lagi. "Kalian pada mau ke mana?" terdengar suara yang familiar dari belakang.
Bagas membuka kaca helmnya lagi dan menoleh. "Keluar bentar, Ren," jawabnya pada Rendi yang baru saja muncul dari arah parkiran.
"Inget, jam 3 udah pada kumpul di lapangan basket, hari pertama latihan," ujar Rendi dengan nada serius.
"Oke," jawab Bagas sambil mengacungkan tanda "O" dan tiga jari ke atas, menandakan bahwa dia mengerti.
Baru saja Bagas ingin melanjutkan perjalanan, Rendi memanggilnya lagi. "Gas," ujar Rendi memanggil perhatian Bagas sekali lagi.
"Apa lagi, Renn?" tanya Bagas, mulai merasa sedikit kesal.
"Lo masih inget kan peringatan gue pagi tadi?" Rendi memperingatkan dengan wajah yang serius.
"Iya, aman, gue inget. Gue pasti hati-hati," jawab Bagas, suaranya terdengar agak kesal, tapi ia mencoba menenangkan diri.
Rendi mengangguk dan pergi tanpa kata, meninggalkan Bagas dan April. Bagas dan April saling berpandangan sejenak, lalu tanpa banyak kata, mereka meluncur pergi menuju tujuan mereka—menjaga Stela dan memastikan bahwa semuanya baik-baik saja.
Suasana di jalanan Jakarta yang padat tak menghalangi mereka. Dalam hati Bagas, sebuah kekhawatiran semakin menguat. Ia harus memastikan bahwa Stela baik-baik saja, dan menemukan jawaban atas pertanyaan yang sejak pagi menggantung di pikirannya.
April dan Bagas melaju dengan santai menembus jalanan kota menuju rumah Stela. Meski waktu terus berjalan, keduanya tampak menikmati perjalanan mereka, meski diburu oleh waktu yang semakin mendekat ke jam 14.00. Pikirannya tertuju pada Stela, pada perasaan gelisah yang terus mengguncang, membuat setiap detik terasa lebih panjang.
Tiba-tiba, saat mereka berada di tengah kemacetan, terdengar suara deru mesin tiga motor yang datang mendekat. Mereka melaju dengan kecepatan tinggi, menghampiri Bagas dan April. "Berhenti!" salah satu dari mereka berteriak, mencoba menghalangi jalan mereka.
Namun, Bagas tetap tidak mengendurkan gas motornya. Dengan keterampilan yang mumpuni, ia menghindari mereka, melibas setiap halangan yang ada di depan, dan menyalip dengan kecepatan tinggi. Sebuah pertarungan sengit terjadi di jalan raya, di antara mereka yang berusaha mengejar dan Bagas yang tak ingin tertahan. Kecepatan motornya yang gesit membuat tiga motor itu tak mampu mengejar lagi.
Hingga akhirnya, setelah merasa aman, mereka melanjutkan perjalanan dengan sedikit lebih tenang. Bagas menyesuaikan kecepatan motornya, tak ingin buru-buru, namun juga tidak ingin terlambat sampai ke tujuan. Beberapa menit kemudian, mereka tiba di rumah Stela.
Rumah itu terlihat sangat estetik, dengan pagar tinggi yang tertata rapi dan bunga-bunga yang menghiasi halaman depan. Keindahan rumah itu menarik perhatian April, yang seketika merasa penasaran.
"Rumah siapa, Gas? Bagus banget," tanya April dengan rasa ingin tahu yang jelas di wajahnya.
Bagas hanya melirik sekilas ke arah April, lalu kembali fokus pada jalan di depan. "Stela," jawabnya singkat.
Tiba-tiba, seorang satpam keluar dari pintu gerbang, wajahnya terlihat sangar dan serius. Ia menghampiri mereka dengan langkah pasti. "Ada apa?" tanyanya dengan nada yang tegas namun lembut.
"Stela-nya ada, Pak?" tanya Bagas dengan sopan, berusaha menjaga ketenangan.
Satpam itu menatap Bagas dan April, lalu melunak sedikit. "Aden siapa?" tanyanya lebih lembut.
"Teman satu sekolahnya, Pak," jawab Bagas.
"Sebentar ya, Den," kata satpam itu, lalu ia pergi menuju pintu untuk memastikan keberadaan Stela di dalam.
Bagas dan April menunggu dengan sabar, merasa cemas dan tak sabar ingin segera bertemu dengan Stela. Keheningan sejenak melingkupi mereka, hanya suara angin yang terdengar di antara mereka dan gerbang rumah yang tertutup.
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya satpam membuka gerbang dan mengizinkan Bagas dan April masuk. Bagas pun membunyikan klakson motornya sebagai ucapan terima kasih pada satpam itu, yang kemudian menutup pintu setelah mereka melaju menuju teras rumah Stela.
April, yang belum pernah melihat rumah Stela sebelumnya, terus memandang sekeliling dengan kekaguman. "Gas, rumahnya nuansa Eropa banget," ujarnya, terkagum-kagum melihat arsitektur rumah yang sangat indah dengan sentuhan klasik yang elegan.
Bagas hanya diam, tidak menggubris kata-kata April. Ia tetap fokus pada tujuannya, tidak ada waktu untuk berlama-lama mengomentari hal-hal seperti itu.
Mereka berhenti tepat di depan pintu rumah, dan Bagas menurunkan diri dari motor. Ia melangkah menuju pintu rumah dan menekan tombol bel yang ada di dinding.
"Serius, Gas, ini rumah Stela?" tanya April sekali lagi dengan ragu, memastikan.
"Iya," jawab Bagas singkat.
"Serius, Gas?" April bertanya lagi, masih tidak percaya.
"Astagfirullah, ini anak, iya, Pril," jawab Bagas, merasa agak kesal karena pertanyaan April yang tak henti-hentinya.
April terkekeh mendengar jawaban Bagas. "Lah kok sewot, santai, Bray," ujarnya, sambil melirik Bagas dengan nada bercanda.
Tak lama setelah itu, mereka mendengar suara langkah kaki yang mendekati pintu. Pintu pun terbuka, dan seorang wanita tua muncul, yang ternyata adalah pembantu Stela.
"Bik, Stela keadaan nya gimana?" tanya Bagas dengan cemas.
"Neng Stela ada di kamar, Den, lagi istirahat di kamar," jawab pembantu Stela dengan lembut. "Masuk dulu, Den. Gak usah khawatir, cuma mau kembalikan buku, kan?"
Bagas mengangguk, namun belum sempat memberikan buku yang ia bawa, tiba-tiba terdengar suara jeritan dari kamar Stela. Suara itu membuat Bagas dan April langsung berlari menuju kamar Stela dengan perasaan panik.
Begitu mereka masuk, mereka melihat Stela tergeletak di lantai, pingsan. Tanpa berpikir panjang, Bagas dan April segera mengangkat Stela dan membaringkannya di atas kasur.
Stela perlahan membuka matanya dan mulai sadar. "Dah lama Lo, Gas?" tanya Stela, suaranya lemah.
"Baru stel, Lo gimana keadaan?" jawab Bagas, khawatir.
"Baik, Gas," jawab Stela dengan suara pelan, meskipun jelas ada yang tidak beres.
"Lo nggak bisa bilang 'baik' dengan keadaan Lo yang sekarang," ujar Bagas tegas, cemas. "Kita ke rumah sakit, ya?"
Stela menggoyangkan kepalanya perlahan. "Nggak, Gas. Cukup rawat di rumah, nanti juga sembuh kok," jawabnya lemah, mencoba meyakinkan Bagas.
Bagas menatap Stela dengan tatapan penuh kekhawatiran, tapi akhirnya ia mengalah. "Ya udah, kalau itu yang Lo mau," katanya dengan suara pelan, lalu menyerahkan buku yang tertinggal di mobilnya sewaktu mengantar Stela pulang.
"Oh, makasih ya, Gas," ujar Stela sambil tersenyum lemah, menerima buku itu. "Lo bakalan jadi teman terbaik gue," tambahnya dengan menepuk tangan Bagas, menandakan awal dari hubungan yang baru.
Momen itu menjadi titik balik yang tak terduga dalam hubungan mereka. Sebuah hubungan yang kini lebih dalam dari sebelumnya, sebuah ikatan yang tumbuh dari kepedulian dan perhatian, serta keinginan untuk saling menjaga.