NovelToon NovelToon
Satria Lapangan

Satria Lapangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: renl

Sinopsis Satria Lapangan
Pahlawan Lapangan adalah kisah tentang perjalanan Bagas, seorang remaja yang penuh semangat dan berbakat dalam basket, menuju mimpi besar untuk membawa timnya dari SMA Pelita Bangsa ke Proliga tingkat SMA. Dengan dukungan teman-temannya yang setia, termasuk April, Rendi, dan Cila, Bagas harus menghadapi persaingan sengit, baik dari dalam tim maupun dari tim-tim lawan yang tak kalah hebat. Selain menghadapi tekanan dari kompetisi yang semakin ketat, Bagas juga mulai menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Stela, seorang siswi cerdas yang mendukungnya secara emosional.

Namun, perjuangan Bagas tidak mudah. Ketika berbagai konflik muncul di lapangan, ego antar pemain seringkali mengancam keharmonisan tim. Bagas harus berjuang untuk mengatasi ketidakpastian dalam dirinya, mengelola perasaan cemas, dan menemukan kembali semangat juangnya, sembari menjaga kesetiaan dan persahabatan di antara para anggota tim. Dengan persiapan yang matang dan strategi yang tajam,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon renl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 30

 Tanggung jawab tak terduga.

Hari Senin pagi di sekolah Pelita Bangsa terasa lebih hidup dari biasanya. Setiap langkah Bagas seolah disertai bisikan dan tatapan penasaran dari teman-teman sekelasnya. Pembicaraan tentang kemenangan tim basket Pelita Bangsa dua hari yang lalu masih terdengar di setiap sudut sekolah. Bagas, yang baru saja keluar dari ruang kelas menuju perpustakaan, bisa mendengar jelas beberapa siswa membicarakan penampilannya yang luar biasa selama pertandingan.

"Bagas tuh keren banget, ya! Gak nyangka dia bisa main sebaik itu," kata seorang siswa perempuan kepada temannya sambil tertawa.

"Iya, dia bener-bener ngebantu tim menang. Gue pikir dia cuma pemain biasa, tapi ternyata dia pahlawan tim!" sahut temannya yang duduk di sebelahnya.

Bagas hanya tersenyum kecil mendengar obrolan mereka. Ia sudah biasa dengan perhatian yang datang setelah pertandingan besar seperti itu, tapi kali ini, ia merasa tak ada yang istimewa dari semua itu. Baginya, kemenangan itu hanya hasil dari kerja keras tim yang solid. Ia tidak merasa layak mendapat begitu banyak pujian.

Saat ia melangkah lebih jauh, beberapa siswa lainnya tampak membicarakan pertandingan tersebut dengan semangat yang lebih besar.

"Lo lihat gak sih waktu Bagas berhasil ngelewatin Papa? Itu keren banget!" ujar seorang siswa laki-laki yang sedang berbicara dengan teman-temannya di koridor.

Bagas tidak merespon, hanya melanjutkan langkahnya tanpa peduli dengan pembicaraan itu. Semua perhatian yang ia dapatkan seperti angin lalu baginya. Ia tahu, perhatian itu hanya sementara, dan esok lusa semuanya akan kembali seperti biasa.

Di dalam ruang kelas, suasana juga tidak kalah ramai. Ketika guru memasuki kelas dan mulai mengajar, beberapa teman sekelasnya terus berbicara tentang kemenangan tim basket, terutama Bagas. Namun, ia tetap tidak terpengaruh. Ia lebih memilih fokus pada pelajaran, mencoba menahan godaan untuk terlibat dalam obrolan yang terus berlanjut di sekitarnya.

“Bagas, lo tahu gak sih, lu tuh jadi idola baru di sekolah ini!” seru Dion, teman sekelas yang selalu ingin tahu segala hal tentang kehidupan sosial Bagas.

Bagas hanya menanggapi dengan anggukan pelan. "Gak usah terlalu dipikirin, Dion. Kita harus fokus sama yang lebih penting."

Dion mengernyitkan kening. "Gak apa-apa sih, tapi lo gak takut jadi terlalu populer? Gimana kalo semua orang jadi nempel terus sama lo?"

Bagas tersenyum tipis. "Bukan itu yang aku cari, Dion. Fokusku di basket, dan itu yang harus aku jalani."

Di tengah pembicaraan itu, Daniel, teman lainnya, ikut bergabung. "Emang lo gak bangga, sih? Lo jadi sorotan sekarang. Lo harus tahu, banyak yang ngeliat lo sebagai inspirasi."

Bagas hanya mengangkat bahu, menatap jendela kelas yang terbuka. Angin sepoi-sepoi yang masuk ke dalam ruangan sedikit menenangkan pikirannya. "Gue sih biasa aja. Semua itu cuma sementara, Daniel. Yang penting kerja keras dan tetap rendah hati."

Di saat teman-temannya masih berdebat tentang pujian dan perhatian yang mereka terima, Bagas berusaha tetap tenang. Ia memilih untuk tidak terlalu mengambil pusing tentang semua pembicaraan yang beredar. Ia tahu betul bahwa popularitas yang datang karena prestasi akan datang dan pergi dengan cepat.

Saat bel masuk untuk istirahat berbunyi, Bagas memilih untuk pergi ke lapangan basket. Ia membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri, jauh dari hiruk-pikuk sekolah dan perbincangan yang semakin ramai tentang dirinya. Di lapangan, hanya ada dirinya dan bola basket. Ia merasa lebih bebas, lebih tenang.

Saat ia berlatih solo di lapangan yang sepi, Bagas memikirkan semua hal yang sudah ia capai. Tapi lebih dari itu, ia berpikir tentang perjalanan tim ke depan, tentang bagaimana mereka akan terus berkembang, bukan hanya sebagai individu, tapi sebagai tim yang solid.

Liburan sudah berlalu, dan kini waktu untuk mempersiapkan pertandingan besar yang lebih menantang. Bagas menyadari, ia harus lebih fokus pada tujuan utamanya, bukan popularitas yang datang dengan kemenangan. Ia merasa lebih yakin bahwa kemenangan yang sebenarnya bukan hanya tentang melempar bola ke ring, tetapi bagaimana ia bisa membawa timnya ke puncak, bersama-sama.

Namun, meski begitu, Bagas tahu bahwa ia tak bisa sepenuhnya mengabaikan perhatian yang datang. Sebagai pemain utama tim, perannya kini semakin besar, dan ia harus lebih bijak dalam menghadapi semua itu. Tapi saat ini, yang terpenting baginya adalah bagaimana menjaga semangat tim tetap menyala, dan bagaimana terus bekerja keras untuk mencapai tujuan bersama.

Dengan bola di tangannya, Bagas melepaskan tembakan basket yang melayang sempurna ke dalam ring. Ia tersenyum, merasa sedikit lega. Semua yang terjadi di luar lapangan adalah bagian dari perjalanan, tapi yang terpenting adalah apa yang terjadi di dalam dirinya—kerja keras, ketekunan, dan komitmen untuk terus maju.

“Ini baru permulaan,” gumamnya pada diri sendiri, siap menghadapi tantangan berikutnya.

Bagas tengah fokus mengatur nafasnya setelah beberapa tembakan berturut-turut, tubuhnya sudah mulai terasa lelah. Ia menarik napas dalam-dalam, melempar bola sekali lagi, namun kali ini, kelelahan sedikit mengurangi konsentrasinya. Bola yang ia lemparkan terlalu kuat, meleset jauh dari ring dan melambung tinggi, menuju pintu gedung olahraga yang terbuka.

"Astaga!" Bagas berteriak sambil berlari mengejar bola yang melayang jauh. "Awas!" serunya, berharap bola itu tidak menghantam siapa pun.

Namun, bola itu melaju dengan kecepatan yang tak bisa dihentikan. Begitu dekat dengan pintu, bola itu tepat mengenai kepala seorang gadis yang baru saja melewati pintu gedung olahraga. Gadis itu terjatuh dengan tubuh yang langsung limbung, seolah kehilangan kesadaran seketika.

"Aduh, Stela!" Bagas terkejut melihat gadis itu, mengenalinya sebagai Stela, teman sekelasnya yang juga anggota klub sains. Dia segera berlari menghampiri Stela yang tergeletak di lantai, tubuhnya tidak bergerak.

Bagas panik. "Stela! Stela!" Ia menggoyang-goyangkan tubuh gadis itu dengan terburu-buru, berusaha membangunkannya. Namun, tidak ada respons. Hatinya berdebar kencang. Dia tahu, ini bukan saatnya untuk panik.

“Stela, bangunlah!” teriaknya lagi, sambil mencoba meresapi situasi. Namun tak ada yang datang untuk membantu, semua siswa yang berada di sekitar area itu sepertinya terlalu terkejut dan terdiam. Bagas merasa sendirian dengan tanggung jawab yang tiba-tiba datang begitu besar.

Kepanikan menghampirinya. Ia tahu dia harus segera membawa Stela ke UKS, tetapi ruang UKS tidak berada di dekatnya. Dengan buru-buru, Bagas memutuskan untuk menggendong Stela meskipun tubuh gadis itu terasa sangat berat di tangannya.

Setiap langkahnya terasa semakin berat, keringat mengucur deras dari dahinya. Ia mencoba menenangkan diri, berpikir jernih. Stela harus segera mendapat pertolongan. Tanpa membuang waktu, Bagas berjalan tergesa-gesa menuju lift sekolah.

Namun, begitu sampai di depan lift, ia mendapati pengumuman bahwa lift sedang dalam perbaikan. Waktu Bagas terasa seperti terhenti, dan seluruh tubuhnya mendesak untuk cepat bertindak. Tak ada pilihan lain, ia harus melewati tangga menuju UKS yang ada di lantai dua.

Dengan tubuh Stela yang semakin berat di pundaknya, Bagas mulai menaiki tangga satu per satu. Setiap langkah terasa semakin melelahkan, seolah tubuhnya mulai kehilangan energi. Namun, ia tidak bisa berhenti. Ia tidak bisa membiarkan Stela tergeletak begitu saja.

“Gue pasti bisa,” gumamnya pada diri sendiri, meskipun nafasnya mulai terengah-engah.

Tangga demi tangga ia lewati, sesekali berhenti sejenak untuk menahan rasa lelah, mencoba mengatur nafas, dan memastikan agar Stela tetap aman dalam pelukannya. Suasana di sekitarnya terasa sepi, hanya suara napasnya yang bisa terdengar.

Akhirnya, setelah apa yang terasa seperti perjalanan yang tak berujung, Bagas tiba di depan pintu UKS. Ia mengeluarkan tenaga terakhir yang tersisa, membuka pintu dengan cepat, dan meletakkan Stela dengan hati-hati ke tempat tidur di ruang UKS.

Bagas duduk sejenak di kursi yang ada di dekat ranjang Stela, merasakan tubuhnya yang lelah, namun tetap khawatir. Ia menatap wajah Stela yang masih tampak pucat, berharap gadis itu segera sadar.

“Stela... maafkan gue. Gue gak sengaja,” kata Bagas pelan, dengan suara yang dipenuhi rasa bersalah.

Beberapa menit berlalu dengan hening. Bagas menggigit bibirnya, menunggu dengan cemas, sementara suara detak jantungnya seolah memenuhi ruang UKS. Tiba-tiba, Stela mulai menggerakkan jarinya, dan perlahan membuka matanya.

Bagas tersenyum lega begitu melihat Stela mulai sadar. “Stela, lo baik-baik aja?” tanyanya dengan nada cemas.

Stela mengerjap, mengingat apa yang terjadi. “Aduh... kepala gue... Apa yang terjadi?” tanyanya dengan suara pelan, bingung.

“Gue... Gue gak sengaja ngebuang bola basket dan kena kepala lo. Lo pingsan, jadi gue bawa ke sini. Maaf banget,” jelas Bagas dengan penuh penyesalan.

Stela sedikit mengerutkan dahi, tetapi kemudian ia tersenyum tipis, meskipun matanya masih sedikit kabur. "Gak apa-apa... gue cuma sedikit pusing," jawabnya dengan pelan, mencoba menghilangkan rasa cemas di wajah Bagas.

“Lo gak apa-apa, kan?” Bagas masih bertanya, memastikan.

“Gue baik-baik aja,” jawab Stela pelan, kini bisa duduk sedikit. “Terima kasih sudah nolongin gue.”

Bagas mengangguk, meskipun masih merasa sedikit cemas. Ia tahu, meskipun Stela sudah sadar, ia harus tetap memeriksa kondisi gadis itu lebih lanjut.

Beberapa saat kemudian, petugas UKS datang dan segera memeriksa keadaan Stela. Bagas, yang masih merasa sedikit bingung dengan kejadian tadi, duduk diam di sebelah ranjang, menunggu.

Namun, meski hatinya sudah sedikit tenang, dia tetap tak bisa melupakan kejadian tadi. Bagas tidak pernah mengira bahwa satu lemparan bola basket bisa mengubah begitu banyak hal.

1
Aimee
Baca ini karena lihat cover sama sinopsisnya, eh mau lanjut... sesimple itu
Dragon 2345: makasih kakak Uda mampir,
total 1 replies
Cute/Mm
Keren abis nih karya, besok balik lagi baca baruannya!
Dragon 2345: aman kak makasih dah mampir, tmbah semangat aq buat up makasih sekali lagi support nya
total 1 replies
Celeste Banegas
Tersentuh banget dengan kisah ini.
Dragon 2345: makasih kakak sudah mampir,
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!