Di tengah gelapnya kota, Adira dan Ricardo dipertemukan oleh takdir yang pahit.
Ricardo, pria dengan masa lalu penuh luka dan mata biru sedingin es, tak pernah percaya lagi pada cinta setelah ditinggalkan oleh orang-orang yang seharusnya menyayanginya.
Sementara Adira, seorang wanita yang kehilangan harapan, berusaha mencari arti baru dalam hidupnya.
Mereka berdua berjuang melewati masa lalu yang penuh derita, namun di setiap persimpangan yang mereka temui, ada api gairah yang tak bisa diabaikan.
Bisakah cinta menyembuhkan luka-luka terdalam mereka? Atau justru membawa mereka lebih jauh ke dalam kegelapan?
Ketika jalan hidup penuh luka bertemu dengan gairah yang tak terhindarkan, hanya waktu yang bisa menjawab.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Selina Navy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Adira Terbunuh
Adira akhirnya tak bisa menahan senyum kecil di bibirnya, meskipun masih berusaha menyembunyikan betapa senangnya dia.
Tapi matanya sudah bersinar lembut, menunjukkan bahwa dalam hatinya, mawar biru itu sudah memecahkan kebekuan yang dia rasakan selama ini.
"Suka kok, ya sudah aku terima sogokan nya,"
kata Adira pelan, meski dalam hatinya sudah luluh, tak lagi bisa marah lalu menciumi buket itu sambil memeluk erat, seolah mencari kenyamanan dalam kelopaknya yang lembut.
Ricardo menyusul duduk di samping Adira, begitu dekat hingga tak ada jarak sejengkal pun di antara mereka.
“Tiga hari lagi kau akan pulang kembali ke negaramu,”
ucap Ricardo tiba-tiba, suaranya rendah namun tegas.
Kata-kata itu langsung membuat Adira yang tadinya meleleh, kembali membeku. Ia menoleh ke Ricardo, matanya penuh pertanyaan.
Sebelum sempat memprotes, Ricardo melanjutkan dengan cepat,
“Kau bilang cuma sebentar saja, kan? Tiga hari sudah cukup lama rasanya, Adira.”
Adira menyerah, tak jadi melontarkan protes yang sudah di ujung lidahnya.
Sebaliknya, ia hanya bertanya,
“Apa kita bisa bertemu lagi?”
Ricardo tak langsung menjawab. Dia hanya menatap ke depan dengan ekspresi yang sulit diartikan, kemudian berkata,
“Aku akan melakukan yang terbaik agar kau bisa selamat sampai tujuan. Dan ketika kau sudah sampai ke asalmu, aku ingin kau berjanji padaku, Adira.”
Adira menatapnya dengan penuh tanya, menunggu kata-kata berikutnya keluar dari mulut Ricardo.
“Berjanjilah padaku,”
Ricardo melanjutkan, suaranya berubah lebih serius,
“Kau tak akan pernah menginjakkan kakimu di Amerika lagi. Kota apa pun itu.”
Ricardo berhenti, lalu diam seribu bahasa, menikmati pemandangan indah wajahnya Adira seperti ini akan menjadi yang terakhir kali nya.
Sementara Adira menatap balik Ricardo dalam kebingungan, rasa campur aduk memenuhi pikirannya.
Ricardo tiba-tiba bertanya,
"Apa kau bisa berenang?"
Adira mengerutkan kening, bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba muncul.
“Tidak, aku tak bisa berenang,”
jawabnya, masih bingung ke mana arah pembicaraan ini.
“Seberapa lama kau bisa menahan napas di dalam air?”
tanya Ricardo lagi, kali ini suaranya lebih dalam.
Adira semakin bingung, menatap Ricardo dengan pandangan penuh tanya.
“Hah? Berapa ya… Kurang dari semenit, mungkin.”
Ricardo hanya menatap jendela dengan pandangan kosong, diam tak bersuara.
Adira ikut terdiam, tak mengerti apa yang sedang dipikirkan Ricardo.
Mereka berdua tenggelam dalam keheningan yang hanya diisi oleh cahaya bulan yang menerobos masuk lewat jendela.
Merasa tidak nyaman dengan diamnya Ricardo, Adira akhirnya bertanya lagi,
“Apa kita bisa bertemu lagi?”
Ricardo, yang tak ingin memberikan harapan kosong, berdiri perlahan. Dia menarik lembut tangan Adira agar ikut berdiri, lalu mendorongnya dengan lembut ke arah kasur.
“Istirahatlah, kau pasti lelah,”
katanya dengan suara lembut, tetapi tanpa memberi jawaban yang diinginkan Adira.
Merasa kesal karena tak mendapatkan jawaban yang jelas, Adira mendengus pelan.
Namun, tubuhnya yang letih akhirnya menyerah, dan ia menuruti perintah Ricardo dengan berbaring di kasur.
Ricardo, dengan tenang, mengambil buket bunga dari dekapannya dan meletakkannya di meja di samping tempat tidur.
Setelah itu, dia duduk di tepi kasur, mengelus kepala Adira dengan lembut.
Adira, yang kelelahan setelah perjuangannya bertahan hidup dari Salvatore, perlahan memejamkan mata.
Sentuhan lembut Ricardo dan rasa aman yang datang darinya membuat Adira dengan cepat tertidur.
Ricardo tahu bahwa waktu bersama Adira sudah hampir habis.
Dengan perasaan berat, dia memutuskan untuk memanfaatkan setiap momen yang tersisa.
Ricardo yang kini masih duduk di samping Adira, menatap wajahnya yang damai tertidur.
Setiap detil wajah Adira, mulai dari lengkung halus alisnya, bulu matanya yang lentik, hingga senyuman tipis yang menghiasi bibirnya saat ia tidur, dihafal Ricardo dengan seksama.
Dia ingin mengukir semuanya di dalam ingatan, seolah menyadari bahwa ini mungkin terakhir kalinya ia bisa melihat Adira sedekat ini.
Setelah memastikan Adira benar-benar tertidur, Ricardo menghentikan elusan lembut di kepalanya.
Perlahan, ia meraih tangan Adira yang tergeletak di samping tubuhnya.
Jari-jari Adira yang langsing dan panjang diperhatikannya satu per satu, seolah ingin memahami setiap detail kecil dari wanita yang akan membuat hatinya merindu.
Ricardo tersenyum tipis saat menyadari ada sebuah tahi lalat kecil di jari manis tangan kiri Adira, sesuatu yang baru ia perhatikan malam itu.
Ia membandingkan telapak tangan Adira yang kecil dengan tangannya yang jauh lebih besar.
Perbedaan itu membuatnya tersenyum getir. Ada perasaan kontras yang mendalam, di mana kehangatan dari tangan Adira terasa sangat rapuh di antara kekuatan tangan Ricardo yang terbiasa menghadapi dunia yang keras.
Lelah yang sudah menghampiri Ricardo tak bisa ditampik. Sudah dua hari tak bisa tidur karna perasaan campur aduk yang menghantui pikirannya, Ricardo akhirnya bangkit dari tempat tidur dengan hati-hati.
Dia berjalan menuju kursi di meja kerjanya, merasa tak sanggup untuk berbaring di samping Adira lagi.
Tidur di sampingnya hanya akan membuatnya semakin sulit untuk membiarkan Adira pergi, dan Ricardo tahu, dia harus tetap pada keputusannya.
Ricardo menatap Adira dari kejauhan, matanya dipenuhi kerinduan yang sulit dijelaskan.
......................
Ricardo membuka mata, dan meskipun tidurnya hanya duduk di atas kursi, tubuhnya terasa segar kembali.
Di saat yang bersamaan, Adira juga terbangun dan merenggangkan badannya, lalu keduanya saling bertatapan.
“Selamat pagi,”
kata mereka serentak, disusul dengan tawa kecil yang melegakan suasana.
Adira bangkit dari tempat tidur dan berjalan menghampiri Ricardo dengan langkah ringan.
Dengan nada manja, dia meminta,
"Sarapan pagi ini masakan Indonesia lagi ya?"
Ricardo tersenyum, namun jawabannya sedikit menggoda,
“Kan kau akan pulang sebentar lagi, kau bisa menikmatinya setelah sampai.”
Adira mengerutkan kening, kesal dengan jawaban Ricardo yang mengingatkannya pada perpisahan mereka yang semakin dekat.
Perasaan campur aduk memenuhi dadanya, antara ingin menikmati momen yang tersisa atau melawan kenyataan bahwa mereka akan segera terpisah.
Tatapan Adira melembut, tetapi di baliknya, ada kesedihan yang tak bisa ia sembunyikan.
Lalu ia menatap Ricardo, tersenyum nakal,
"Kalau gitu aku mau makan spaghetti carbonara buatanmu lagi ya?"
Ricardo tertawa kecil,
"Bercanda Adira..kau boleh makan apa pun yang kau mau."
Tawa mereka pun pecah bersama, momen pagi itu terasa begitu sempurna. Udara hangat yang menyelimuti ruangan seolah ikut merasakan kebahagiaan mereka.
Ricardo mendekat, menyentuh lembut pipi kiri Adira dengan tangannya. Mata mereka saling bertaut, dan dengan penuh perasaan, Ricardo berkata,
"I love you, Adira."
Adira tampak terkejut mendengar kata-kata itu.
Namun, di balik kejutannya, ia tak bisa menutupi rasa senang yang meluap di hatinya.
Dengan senyum yang merekah di wajah, ia membalas,
"I love you too, Ricardo."
Mereka berdua tersenyum, merasakan kedekatan yang semakin erat.
"Aku jadi nggak mau pulang..."
bisiknya pelan, suara penuh keraguan dan ketidakpastian.
Ricardo, yang baru saja melihat Adira tersenyum bahagia, tahu bahwa perasaan ini bukan sekadar ketakutan sesaat.
Tanpa berkata apa-apa, Ricardo menepuk-nepuk lembut kepala Adira, seolah ingin menguatkan dan menenangkan kegelisahan yang merundungnya.
Namun Ricardo tiba-tiba diam membisu, instingnya merasakan ada banyak langkah kaki yang mendekat.
Dengan cepat Ricardo menoleh ke arah pintu, naluri perlindungannya langsung mengambil alih. Dia menarik Adira dengan cepat ke belakangnya, tubuhnya seolah menjadi tameng yang kokoh untuk melindunginya.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka dengan keras, dan segerombolan orang bersenjata masuk, senjata api mereka langsung diarahkan ke Ricardo.
Ricardo tetap berdiri tegak, wajahnya dingin namun pikirannya berputar cepat mencari jalan keluar.
Ketika seseorang maju dan dengan kasar merebut Adira dari belakangnya, Ricardo pasrah...tidak ingin memprovokasi mereka agar tidak melukai Adira.
Adira yang panik meronta-ronta kini di dirikan tepat di hadapan nya.
Ricardo menyaksikan wajah panik Adira yang terlihat jelas dari setiap gerakan dan ekspresinya.
Napasnya terengah-engah, tersendat-sendat, bibirnya bergetar, mencoba berkata sesuatu, namun suara tidak keluar.
Tangannya gemetar, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman dua orang yang menahannya.
Wajahnya dipenuhi ketakutan mendalam, seolah waktu bergerak terlalu cepat sementara ia tidak bisa melarikan diri dari kengerian yang menyelimutinya.
"Apa yang kalian inginkan?”
tanyanya dengan suara tegas, mencoba tetap tenang meskipun ancaman sudah begitu dekat.
Tanpa jawaban, tiba-tiba terdengar letusan pistol yang memekakkan telinga.
Dunia seakan berhenti. Waktu melambat, dan tatapan Ricardo yang penuh keterkejutan tertuju pada Adira.
Tubuh Adira terhuyung, darah mengalir dari luka di kepalanya.
Dalam sekejap, Ricardo berlari dengan seluruh kekuatan yang tersisa, menjerit tanpa suara.
Jeritannya tak terdengar, tapi matanya penuh dengan kehancuran yang tak terlukiskan.
Dia menangkap tubuh Adira yang jatuh lemas ke pelukannya.
Ricardo jatuh berlutut, memeluk Adira erat-erat, menatap wajahnya yang tak lagi berdaya.
Tangannya gemetar, menempelkan wajahnya ke rambut Adira yang basah oleh darah.
Nafasnya putus-putus, terisak-isak tak tertahan.
Ricardo menangis sejadi-jadinya, tangisannya mengguncang tubuhnya yang kokoh.
Tangannya meremas baju Adira dengan penuh rasa sakit, seolah berusaha menghidupkannya kembali.
Dia mengguncang-guncang tubuh Adira yang lemah, berharap ini semua hanya mimpi buruk yang bisa diakhiri dengan bangun.
Tapi kenyataan menamparnya dengan kejam.
"Tidak... Adira... tidak..."
bisiknya berulang kali di antara isak tangisnya.
Air matanya mengalir deras, menyatu dengan darah yang mengotori wajah Adira.
Kepedihan dalam hatinya tak terlukiskan.
Merasaan kehilangan yang mendalam, seakan dunianya telah runtuh.
Dengan teriakan pilu, Ricardo memeluk tubuh Adira semakin erat, jiwanya hancur berkeping-keping.
Jeritannya menggema, penuh putus asa, seakan seluruh rasa sakit yang selama ini ia pendam tumpah di saat itu.
Tubuhnya terhuyung lemas, tangannya terkulai, hingga akhirnya semuanya menjadi gelap dan Ricardo jatuh pingsan, dengan Adira masih di pelukannya.
😭😭😭
...
(ehemmm/Shhh//Shy/)